Sebuah perjalanan membawa saya ke Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tujuan saya yakni mencari makam keluarga Belanda, Europeesche Familiegraafplaats Andre-Mac Gillavry. Makam tersebut berada satu kompleks dengan makam Islam Jawa di Pemakaman Umum Kemudo, di sebelah barat Balai Desa Kemudo.

Setelah sekitar 30 menit berkeliling Desa Kemudo, nampak dari kejauhan seorang petani yang sedang berladang. Saya memutuskan mendekat dan menanyakan keberadaan makam. “Pak, mohon maaf mengganggu. Anda paham makam Belanda di Dukuh Tegalsari Kemudo?” begitu sekiranya pertanyaan saya. Dengan ramah, beliau menjawab dan menunjukan arah makam yang saya maksud.

Meski sudah mengikuti petunjuknya, saya tetap saja kebablasan saat memasuki gang di perkampungan. Tapi inilah seni petualang, saya malah bisa bertegur sapa dengan warga yang tinggal di sana.

Entah tidak sengaja atau kebetulan, tanpa disadari, makam keluarga Andre-Mac Gillavry sudah saya lalui sebelumnya. Makam tersebut berada di belakang masjid tempat saya istirahat dan salat.

“Oh ternyata, belakang masjid yang dimaksud si bapak tadi Masjid Al Huda toh. Terus saya harus melompat tembok? Atau ada jalan masuk utama? Ah, bukan. Harus lewat timur,” begitu kira-kira saya gumam ketika pertama kali menemukan lokasi makam. Lalu, tibalah saya di depan pintu gerbang makam keluarga Andre-Mac Gillavry yang berada di sebelah timur Masjid Al Huda.

Jika ingin berziarah ke sini, pengunjung bisa melalui jalan desa samping Kantor Balai Desa Kemudo, ke arah barat. Dari sana, pengunjung bisa langsung menuju makam. Jika mengikuti posisi saya dari Masjid Al Huda, maka harus jalan memutar lebih dahulu untuk tiba di makam. 

  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten

Silsilah Keluarga Andre-Mac Gillavry

Kaki saya lalu menapak ke dalam kompleks, dan mata langsung tertuju pada dua nisan berbentuk obelisk di sisi kiri gapura makam. Akhirnya saya berhadapan dengan makam keluarga dari Andre-Mac Gillavry meski kondisinya sudah rusak, bahkan batu nisan dengan inskripsi nama salah satu keluarganya pecah tak beraturan.

Saya bersyukur, tidak semua pecahan nisan hilang. Bahkan masih dapat dirangkai menjadi satu kesatuan utuh. Selain itu, nisan milik Andre-Mac Gillavry dalam kondisi sangat baik. Saya pun mulai menelusuri kisah Andre-Mac Gillavry, “siapa dia dan bagaimana bisa bersemayam di sini?”

Berbekal informasi dari rekan saya yakni Han Boers, begini kira-kira cerita singkatnya.

Andre-Mac Gillavry merupakan anak dari Louise Joseph Andre dan Caroline Wilhelmine Mac Gillavry. Pernikahan orangtuanya digelar di Surakarta pada 8 Mei 1879.

“Andre-Mac Gillavry, wafat saat usianya masih muda. Hanya itu saja catatan mengenainya, tidak lebih. Tetapi kalau mengenai keluarga ada beberapa,” sambungnya.

Hans menambahkan, Andre-Mac Gillavry wafat di Klaten. Ada dugaan bahwa ia tinggal di rumah sang ibu karena ayahnya diketahui lahir di Pasuruan, 20 Januari 1853 dan wafat di Cilacap, 28 November 1916. Sedangkan ibunya, kelahiran Surakarta, 21 Januari 1862 dan wafat Yogyakarta, 28 Agustus 1940. 

Ada dugaan Andre-Mac Gillavry wafat karena kondisi kesehatan menurun setelah terjangkit virus. Jamak terjadi, karena sarana kesehatan kala itu kurang memadai.

Sedang asik mengabadikan monumen kematian Andre-Mac Gillavry, tiba-tiba Hans Boers mengirimkan pesan yang tidak saya duga sebelumnya.

“Ternyata, ia (Andre-Mac Gillavry) hingga wafat belum dibaptis dan belum memiliki nama sendiri,” ungkapnya. “Lantas inskripsi makam beliau ini siapa?” tanya saya seraya memandangi batu nisan.

Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
Batu nisan milik Andre-Mac Gillavry/Ibnu Rustamadji

Hans kemudian menjelaskan asal mula nama pada batu nisan. Menurutnya, nama Andre-Mac Gillavry merupakan perpaduan dua nama marga orangtua. Andre (diambil dari marga ayah yakni Louise Joseph Andre) dan Mac Gillavry (marga ibu yakni Mac Gillavry).

“Ada yang menarik juga mengenai orangtua, Mas! Louise Joseph Andre, putra dari Louis Andre dan Wilhelmina Maria van Hooy. Sang istri yakni Caroline Wilhelmina Mac Gillavry, putri dari Willem Joan Julius Mac Gillavry dan Wilhelmina Jacoba de Chauvigny de Blot,” tambahnya.

Louise Andre yang notabene kakek Andre-Mac Gillavry, seorang purnawirawan direktur perusahaan perkebunan Boemi Asih di Cilacap. Sedangkan kakek dari pihak ibu yakni Willem Joan Julius Mac Gillavry, merupakan purnawirawan Weeskamer Surabaya pada 1852, Weeskamer Semarang pada 1855, dan terakhir sebagai sekertaris Residen Madura pada 1857. 

Andre-Mac Gillavry wafat pada 10 April 1881, belum dibaptis dan memiliki nama  sendiri. Tak ayal batu nisan hanya sederhana namun mendalam maknanya bagi keluarga yang ditinggalkan. Langkah kaki kemudian bergeser ke sisi barat makam Andre-Mac Gillavry, tepatnya di makam keluarga Windijk.

Nisan yang hancur milik Christiaan Leonard Windijk

Kondisi makam keluarga Windijk rusak cukup parah, bahkan batu nisan dengan inskripsi nama mendiang dalam keadaan hancur menjadi beberapa bagian. Tak banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya. Untung saja, beberapa pecahannya jatuh tak jauh sehingga masih bisa disusun kembali.

Meski begitu, tidak banyak informasi yang bisa didapat dari batu nisan tersebut, bahkan dari Hans Boers. Jika nama mendiang masih dapat terbaca jelas, mungkin akan sangat membantu. Karena hanya menyisakan marga Windijk, tentu data untuk menelusurinya menjadi sangat terbatas.

Ada dugaan makam yang saya datangi ini milik seorang pemuda kelahiran Surakarta, 22 Maret 1899 dan wafat di Klaten, 06 April 1915, ialah Christiaan Leonard Windijk.

“Ada dugaan juga keluarga C. Leonard Windijk, memiliki kekerabatan dengan keluarga Dezentje. Mengenai pernikahan anak atau sama-sama pemilik perkebunan, tidak ada data pasti,” jelasnya.

Benar adanya.

Christiaan Leonard Windijk putra merupakan dari Charles Windijk dan Leonarde Eureline Dezentje.  Kakek dan nenek dari pihak ayah C. Leonard Windijk yakni Louis Lodeweijk Windijk, dan istri seorang perempuan Jawa yang tidak diketahui namanya. Sedangkan kakek dan nenek dari pihak ibu yakni Alexander Gerard Dezentje dan Raden Roro Salimah.

Karena Christiaan Leonard Windijk wafat di usia muda yakni 16 tahun, tentu tidak banyak catatan tentangnya. Sama seperti pusara mendiang Andre-Mac Gillavry muda di makam sebelumnya.

“Kompleks makam ini milik anak-anak yang wafat usia muda, dua di antaranya Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk,” pikirku. 

Keluarga Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk, diduga memiliki hubungan kekerabatan. Tak ayal dimakamkan secara berdampingan. Hanya sedikit yang bisa kami gali mengenai dua makam keluarga Belanda di Dukuh Tegalsari, Desa Kemudo Klaten ini.

Sebelum saya memutuskan untuk menyudahi pengambilan gambar dan berdoa, mata saya tertuju pada satu monumen lain berukuran sedikit lebih besar. Tanpa ditemani inskripsi, hanya sebuah monumen berbentuk persegi empat dengan bagian tengahnya terbuka.

Monumen ini biasa digunakan untuk meletakan karangan bunga, atau bunga tabur bagi keluarga yang berziarah. Tidak lazim, tetapi inilah yang terjadi.  Awalnya saya juga bingung, monumen makam tetapi tidak lazim bentuknya. Ternyata, ada maksud di balik rancangannya.

  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten
  • Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten

***

Jumlah makam Belanda di kompleks kedua keluarga ada sekitar 4 unit, satu rusak parah, tiga sisanya terbengkalai. Hanya ada dua yang memiliki inskripsi, sisanya makam Islam Jawa milik warga Dukuh Tegalsari Desa Kemudo. 

Selama penelusuran makam keluarga Andre-Mac Gillavry dan keluarga Windijk, rasa takut tidak menghinggapi. Selain karena berada di tengah dukuh, juga karena salah satu rumah warga menyalakan musik dangdut berjudul “Ngopi Maszeh” yang dipopulerkan Happy Asmara menggelegar.

Kesan seram dan gelap dari pemakaman seketika berubah menjadi cerah. Terlebih bagi saya sudah biasa untuk menelusuri makam Belanda yang bercampur dengan makam Islam Jawa. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui. Sekali ziarah, mendoakan seluruhnya yang telah mendahului meski bukan keluarga.

Mereka yang bersemayam di sini [pemakaman], membutuhkan doa dan tidak meminta untuk digaibkan atau menjadi tempat untuk “meminta”. Jika ingin meminta sesuatu, ya mintalah langsung kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan dan kematian. 

Memento mori yang artinya ingatlah akan kematian, sudah sepatutnya setiap orang menghargai dan menyadari. Begitu kira-kira yang bisa gambarkan dari perjalanan saya kali ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar