Travelog

Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah

“Lokkaki mita mappassempe’!” (bahasa Bugis), yang artinya seorang teman mengajak saya pergi menyaksikan tradisi massempe’ —sebuah gelaran tradisi pasca panen masyarakat Bugis sebagai bentuk perayaan atas hasil yang mereka dapatkan. 

“Oh, massempe’ tetap diadakan tahun ini?” ajakan teman saya timpal dengan pertanyaan sedikit terheran. Tahun ini kekeringan melanda, menyebabkan banyak lahan terutama sawah tadah hujan, gagal panen. Saya pun berpikir, apakah harus merayakannya jika hasil panen bermasalah?

Meski sedikit bingung saya tetap beranjak dengannya.

Kami menuju Desa Sanrangeng, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone. Dua desa setelah kampung kelahiran saya. Sesampainya di sana, mobil dan motor sudah mulai berdesakan penuhi bahu jalan, lorong-lorong dan halaman rumah warga.

Massempe’ sendiri merupakan tradisi tahunan sekaligus ajang silaturahmi masyarakat antardesa yang saling berkumpul di desa tempat tradisi berlangsung. Sebagai penghormatan kepada tamu yang datang, desa tuan rumah bertugas mappanre (memberi makan) dengan memotong hewan peliharaan seperti ayam dan sapi yang dimasak secara gotong royong bersama seluruh warga desa. 

“Sudah mulai kah?” tanya ku pada teman yang berjalan mendahului ke lapangan.

“Belum, orang-orang masih mappere,” jawabnya saat melihat orang berayun di atas ayunan raksasa.

Sebelum massempe’ sebagai acara inti dimulai, mappere (berayun) menjadi pembuka acara. Ayunan tersebut sangat besar, memiliki tinggi sekitar 20 meter, terbuat dari dua batang kayu kapuk ditancapkan ke tanah dengan jarak kedua tiangnya sekitar 10 meter. Di tengahnya terdapat tali sebagai pengikat bantalan ayunan terbuat dari kayu.

Orang yang ingin diayun duduk di bantalan sembari kedua tangannya berpegangan pada tali ayunan. Kemudian terdapat dua orang pemuda yang membentangkan tali pada perut orang di atas bantalan yang menarik sisi kanan dan kiri tali dengan kuat. Ayunan mulai bergerak, dua pemuda itu dengan sigap  mengambil tali kemudian menariknya kembali. Ayunan semakin meninggi, pemuda itu melakukannya berulang kali sampai ayunan mencapai ketinggian 10 meter lebih.

Biasanya mappere diperuntukkan untuk ibu-ibu dan remaja putri meski tidak ada larangan bagi golongan laki-laki untuk mencobanya. Makanya, tak heran jika suara histeris para ibu-ibu terdengar di atas ketinggian. Sontak para penonton tertawa meski mereka juga ikut merasakan ketegangannya.

Mappere menjadi tontonan mengasyikkan dan buat jantung berdebar. Pun, butuh keberanian dan mental kuat untuk mencobanya. Meski begitu, mappere selalu membuat penonton penasaran.

“Saya ingin mencobanya!”

“Tidak usah, nanti kau pingsan di atas ayunan!” jawab teman yang lain sambil mengejek.

Setelah sekitar satu jam terbuai dengan keseruan mappere, orang-orang mulai beralih ke sisi tengah lapangan yang sudah diberi garis pembatas berbentuk lingkaran dari tali rafia. Penonton tidak boleh melewati garis batas tersebut.

Berkumpulnya orang-orang di sekitar arena pertanda tradisi massempe’ segera dimulai.

Secara bahasa, massempe’ berasal dari dua kata yaitu ma dan sempe’ (bahasa Bugis). Ma artinya sedang melakukan dan sempe’ artinya sepak atau menendang. Massempe’ adalah budaya saling menendang antara dua orang laki-laki yang bertarung atau tradisi uji ketangkasan bagi kaum pria suku Bugis. 

Sebelum memulai pertarungan, beberapa pemuda yang akan bertarung berjalan sambil menepuk-nepuk paha mengelilingi arena di tengah-tengah penonton sebagai pihak penantang. Pemuda lain yang duduk di antara penonton berperan sebagai calon lawan sehingga para penantang berjalan sembari menunggu tantangannya diterima.

Cara menerima tantangan dilakukan dengan berdiri sambil menepuk tangan dua kali lalu menyodorkan salah satu tangan ke arah penantang yang diinginkan. Apabila penantang setuju, dia melakukan hal yang sama sebagai simbol kesepakatan antara dua pihak untuk bertarung. Selanjutnya kedua pemuda itu memasuki arena.

Massempe’ dipandu oleh dua orang wasit inti. Wasit bertugas melerai para petarung yang mereka ukur dengan estimasi waktu tertentu. Pertarungan berlangsung hanya sekejap untuk setiap sesi. Meski begitu, massempe’ termasuk pertarungan cukup ekstrim. Terkadang ada petarung yang cedera seperti betisnya bengkak, mulutnya berdarah, bahkan pernah ada kasus sampai patah tulang.

Pertarungan dalam massempe’ cuma terdapat dua aturan, pertama tidak boleh menggunakan tangan dan kedua harus mematuhi wasit. Makanya peran wasit sangat intim untuk memastikan petarung tidak ada yang cedera sebab massempe’ sendiri bukan ajang unjuk diri semata, tetapi lebih kepada bentuk silaturahmi dalam gerak. 

“Bagaimana kawan? Kita massempe’ juga?” Teman saya mengajak masuk arena .

“Kalian pemuda, masuklah!” Seorang sesepuh yang duduk dekat kami mengompori

Saya cengengesan di pinggir arena menolak ajakannya.

Terakhir kali saya ikut massempe’ itu sewaktu SD, memori tersebut sudah cukup untuk mengungkap betapa serunya tradisi ini. Bagi golongan pria Bugis, massempe’ seperti memiliki energi magis menarik kita ke dalam arena. Ikut bertarung seakan memberi kepuasan yang menggembirakan.

Di antara kerumunan penonton, kaki saya mulai gemetaran namun kekhawatiran cedera lebih kuat menahan diri. Belum sempat menenangkan diri, seorang pemuda di samping saya sepakat bertarung. Mereka menuju tengah lapangan menghampiri wasit, mereka melangkah membusungkan dada penuh kehormatan sebagai laki-laki. Sebelum memulai pertarungan, wasit mewajibkan petarung bersalaman. Kemudian mereka mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, setelah wasit memberi instruksi, pertarungan mulai. 

“Prakkk! Bumm… Pushh…” Suara saling tendang terdengar.

“Eaaa… Eeeeaaa… Huuuu… Hahahaha…” Gelegar suara penonton menyaksikan model tendangan.

“Hooppp… Stoppp, sudah, sudah..” Suara wasit terdengar lantang merelai.

Uniknya, massempe’ tidak menambah musuh pasca pertarungan tetapi justru menambah pertemanan. Pertarungan dimulai dengan jabat tangan dan berakhir dengan jabat tangan pula, kemudian mereka tidak boleh bertarung kembali dengan lawan yang sama.

Dua pemuda tadi berjabat tangan sambil mengumbar senyum, bahkan salah satunya mengucap maaf ketika berhasil mengenai lawan dengan keras.

Suku Bugis Bone terkenal dengan konsep padaidi (sesama kita). Suatu nilai yang memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan setiap kepentingan dalam masyarakat Bugis. Kata-kata itu sering terdengar sewaktu terjadi konflik antarmasyarakat Bugis, sehingga pada tradisi massempe’ semua orang merasa satu walau berasal dari desa berbeda.

Massempe’ berlangsung sejak siang sampai sore, para pemuda bergantian mengadu ketangkasan. Gemuruh teriakan penonton memuncak sejalan dengan sepakan petarung. Suara-suara saling menendang terdengar, meski ngilu namun wajah sumringah tetap terlihat pada petarung. Inilah seni massempe’, saling adu tanpa ada yang menang dan kalah. Semata-mata demi perayaan atas hasil bumi dan momen saling kenal untuk memperkokoh silaturahmi.

Dalam tradisi massempe’ yang mendapatkan luka dan mengalami sakit, bukan berarti ia kalah. Begitu juga yang berhasil menendang mundur lawan, bukan berarti menjadi pemenang.

Pertarungan tanpa ada hadiah selain persahabatan sebagai piala, merupakan pertarungan paling berkesan. Mereka yang pernah saling beradu, kerap menjalin hubungan pertemanan setelah acara, yang awalnya tidak saling kenal kemudian bisa merawat silaturahmi.

Tidakkah pesan yang timbul begitu menggiurkan di era sekarang ini? Kompetisi pertarungan yang tampak ke permukaan masyarakat dominan menuntut adanya pemenang dan menyingkirkan mereka yang kalah. Pun pertarungan yang terlihat memperlebar jarak hubungan manusia sehingga musuh selalu menjadi anak dari setiap arena kompetisi. Menyaksikanmassempe’ memberi saya setitik kesadaran bahwa pertarungan paling indah adalah pertarungan tanpa mengalahkan apapun selain rasa egois untuk menjadi pemenang.

***

Pada mulanya tradisi massempe’ dilakukan sejak Kerajaan Bone, pemuda saling bertarung depan aristokrat kerajaan untuk direkrut menjadi pallapi aro (pelindung raja). Tradisi tetap eksis secara turun temurun meski arahnya dialihkan menjadi bentuk perayaan atas hasil panen masyarakat Bugis, dan hasil panen mereka tidak selalu memuaskan. Apalagi di tengah gempuran El Nino yang meretakkan banyak lahan, seperti saat ini.Akhirnya, massempe’ menjadi ruang bagi petani untuk berterimakasih kepada alam sekaligus doa yang terpanjat tanpa ucap untuk keberkahan siklus tanam selanjutnya. Lewat massempe’, petani memberi sedikit interupsi bahwa perayaan bukan hanya perihal euforia tetapi bentuk kerendahan hati untuk bersyukur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Hobi bepergian dan tertawa lalu menulisnya dalam buku harian. Sarjana pertanian namun lebih suka dianggap petani.

Hobi bepergian dan tertawa lalu menulisnya dalam buku harian. Sarjana pertanian namun lebih suka dianggap petani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Meneropong Indonesia dari Ritual Mappalili