Jarum jam belum sepenuhnya menunjukkan tepat pukul tujuh pagi, tatkala kawan saya, Zelphi, menjemput saya pada Sabtu lalu (5/8/2023). Malam sebelumnya, kami memang sudah janjian untuk menyaksikan prosesi Tutup Taun 1956 dan Ngemban Taun 1 Syura 1957 Saka Sunda di Kampung Adat Cireundeu. Zelphi sepakat untuk menjemput saya di rumah adik saya yang berada di kawasan Cimahi Tengah, tempat saya biasa ikut numpang menginap apabila sedang berada di Cimahi.
Zelphi maupun saya kerap berbagi informasi mengenai acara-acara seni dan budaya. Jika pas kebetulan saya sedang berada di Cimahi, maka kami sering membuat janji untuk pergi bersama, seperti hari Sabtu itu.
Dari tempat tinggal adik saya, pagi itu, kami segera meluncur berboncengan menunggang sepeda motor menuju Cireundeu via Jalan Cibeber–Cangkorah–Kerkof. Jarak yang kami tempuh menuju Cireundeu lumayan dekat, sekitar 6,7 kilometer.
“Parkirnya di sebelah sana saja, Kang!” kata petugas parkir berbusana hitam-hitam. Ia mengarahkan kami sambil menunjuk area parkir di sisi selatan, begitu kami tiba di kantung parkir Kampung Cireundeu.
“Biar di sini saja karena nanti mau cepat pulang,” jawab Zelphi sembari memarkirkan sepeda motornya di sisi utara. Tak jauh dari jalan masuk ke area parkir.
“Oh, siap, Kang!” balas petugas parkir itu.
Kami segera berjalan ke arah gapura Kampung Cireundeu, yang kontur jalannya cenderung menurun. Di sebelah kanan dan kiri gapura tampak terpasang janur kuning. Tak ketinggalan pula dua tandan pisang dan kelapa menghiasi kedua sisi bagian dalam gapura. Tentu tidak saban hari janur kuning, tandan, serta kelapa itu terpajang di sisi gapura.
Secara administrasi, Kampung Cireundeu berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Lokasinya tidak jauh dari Ereveld Cimahi, kompleks pemakaman korban Perang Dunia II yang dibangun pada 20 Desember 1949. Pengelolanya adalah Yayasan Oorlogsgravenstichting yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda.
Geliat Warga sebelum Acara Puncak
Hari itu, warga Cireundeu bersiap merayakan puncak acara Tutup Taun 1956 dan Ngemban Taun 1 Syura 1957 Saka Sunda. Beberapa pria terlihat hilir mudik membawa sejumlah peralatan tata suara. Mereka hendak menggunakannya dalam penyambutan para tamu di depan gapura Kampung Cireundeu.
Dari depan gapura, Zelphi dan saya lantas menyusuri jalan kecil beraspal mulus menuju Bale Saresehan, yang merupakan balai pertemuan warga Kampung Cireundeu. Ini adalah tempat warga Cireundeu biasa melangsungkan doa bersama pada acara Tutup Taun Ngemban Taun.
Beberapa anak usia sekolah dasar terlihat keluar dari mulut gang. Yang laki-laki mengenakan baju pangsi kuning-kuning dan juga hitam-hitam. Adapun yang perempuan mengenakan kebaya putih dan jarit. Mereka berlari kecil ke arah gapura untuk bersiap-siap mengikuti acara penyambutan tamu.
Sementara itu di depan sebuah rumah warga, dua pria dewasa sedang merias dua anak. Zelphi langsung mendekat dan mengabadikan mereka menggunakan kamera DSLR kesayangannya.
“Kita lihat rumah adat dulu,” ajak Zelphi usai memotret. Tanpa banyak bicara saya segera mengikuti langkahnya.
Sembari berjalan menuju rumah adat, beberapa kali kami berhenti untuk mengambil beberapa gambar yang kami anggap perlu untuk bahan dokumentasi.
Rumah adat Cireundeu berupa rumah panggung khas Sunda. Bahan kayu dan bilik mendominasi rumah adat tersebut. Atapnya dari ijuk.
Seperti di gapura, di depan rumah adat itu terpajang dua tandan pisang. Terlihat beberapa perempuan tengah sibuk di tepas rumah adat menyiapkan sejumlah penganan yang akan dibawa dalam prosesi arak-arakan sebelum doa bersama berlangsung.
Di seberang rumah adat, sebuah dupa menyala. Asapnya menari-nari tertiup bayu, menebarkan aroma kemenyan yang menyengat.
Zelphi kembali sibuk dengan kameranya. Menggunakan lensa pendek, ia mengabadikan momen demi momen di depan rumah adat.
Rangkaian Inti Tutup Taun Ngemban Taun
Acara penyambutan tamu tampaknya akan segera mulai. Para perempuan yang tadi sibuk menyiapkan penganan di tepas rumah adat segera berhamburan menuju tempat penyambutan tamu. Kami berdua pun bergegas meninggalkan rumah adat untuk kembali ke depan gapura pintu masuk Kampung Cireundeu.
Puluhan anak yang membawa angklung dan perkusi sudah berkumpul di tempat penyambutan tamu. Petugas protokol terdengar menginformasikan lewat pelantang suara bahwa acara bakal segera dimulai. Ia meminta hadirin bersiap dan memberi ruang untuk para tamu.
Tak begitu lama, tamu undangan pun datang. Mereka adalah perwakilan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Wali Kota Cimahi dan pejabat pemerintahan lainnya, sejumlah tokoh kewilayahan, tokoh lintas agama, tokoh dari kampung adat lain, dan sejumlah budayawan. Mereka berdiri berjajar menghadap gapura.
Abah Widi, sesepuh Kampung Cireundeu, berdampingan dengan beberapa tokoh lainnya duduk bersila menghadap tamu undangan. Sebuah kendi kecil berisi air kembang mawar berhias daun hanjuang merah berada di hadapan mereka.
Sejenak Abah Widi tampak menunduk. Barangkali ia merapalkan doa-doa. Tak lama, ia mengambil kendi dan mengempaskannya. Kendi itu pecah menjadi beberapa keping. Air bunga mawar yang ada di dalamnya terlihat berceceran.
Acara Tutup Taun Ngemban Taun pun resmi dimulai. Para tamu dipersilakan menuju Bale Saresehan. Mengiringi para tamu, angklung dan perkusi dimainkan, yang diikuti oleh arak-arakan jampana berisi aneka makanan tradisional dan hasil bumi.
Sebelum para tamu akhirnya memasuki Bale Saresehan, mereka duduk beristirahat di sebuah saung yang ada di seberang balai tersebut. Sembari beristirahat, mereka menikmati hiburan berupa penampilan seni Angklung Buncis, tarian Bapa Tani, dan dolanan Oray-orayan yang ditampilkan oleh anak-anak Kampung Cireundeu.
Usai penampilan seni, barulah para tamu memasuki Bale Saresehan untuk mengikuti acara doa bersama, yang didahului dengan pemaparan singkat ihwal sejarah Kampung Cireundeu oleh salah seorang tokoh muda Cireundeu. Setelah itu para tamu dan para hadirin lainnya mencicipi aneka penganan yang tersaji, yang bahannya sebagian besar terbuat dari ketela pohon alias singkong.
Kampung yang Mandiri Pangan Berkat Singkong
Jika kampung-kampung adat lainnya di Jawa Barat—seperti Kampung Ciptagelar (Sukabumi), Kampung Cikondang (Pangalengan), Kampung Naga (Tasikmalaya), maupun Kampung Cigugur (Kuningan)— menggapai kemandirian pangannya dengan mempertahankan leuit (bangunan khusus untuk menyimpan padi), maka Kampung Cireundeu sebaliknya. Pasalnya, warga Cireundeu menjadikan singkong alias ketela pohon sebagai makanan pokok mereka. Barangkali inilah salah satu yang menjadi pembeda.
Maka tak berlebihan jika singkong adalah sama dan sebangun dengan Cireundeu. Tradisi menjadikan singkong sebagai makanan pokok berawal tatkala bencana kekeringan dahsyat melanda sawah-sawah di kampung ini pada tahun 1920-an. Haji Ali, salah satu tokoh masyarakat Cireundeu kala itu lantas meminta warga menanam singkong untuk menggantikan padi.
Sejak itulah warga Cireundeu membuat singkong sebagai pengganti beras dan berhasil mereka pertahankan hingga kini. Karena tidak bergantung pada beras, Cireundeu kemudian mendapat julukan sebagai Dewi Tapa, singkatan “Dari Desa Wisata Ketahanan Pangan.”
Luas Kampung Cireundeu sekitar empat hektare. Terdapat 70 kepala keluarga dengan total 340 jiwa. Hingga saat ini mereka masih tetap setia merawat tradisi leluhur. Salah satunya menyelenggarakan prosesi tradisi Tutup Taun Ngemban Taun Saka Sunda, yang berlangsung tiap setahun sekali.
Inti pokok tradisi Tutup Taun Ngemban Taun adalah mengungkapkan rasa syukur setelah berhasil melewati tahun sebelumnya. Seraya berharap bahwa tahun yang baru membawa lebih banyak kebaikan dan keberkahan, baik bagi sesama maupun alam semesta.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.