ARAH SINGGAHTRAVELOG

Mengenal “Waili”, Piknik ke Hutan ala Suku Moi

Konsep piknik ternyata sudah lama dilakukan oleh orang-orang Moi, suku terbesar di Sorong Raya. Salah satu cara melestarikan pangan lokal.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Penyunting: Mauren Fitri ID
Foto: Deta Widyananda


Mengenal "Waili", Piknik ke Hutan ala Suku Moi
Melianus Ulim membersihkan bambu, salah satu media memasak paling penting dalam tradisi waili khas suku Moi

Sejak zaman nenek moyang, masyarakat adat Moi sudah mengenal konsep piknik atau biasa disebut waili. Ketika belum ada mal, restoran, atau tempat rekreasi, orang-orang Moi biasa pergi ke kebun belakang rumah atau hutan untuk bersenang-senang. Entah untuk merayakan sesuatu atau sekadar mengisi waktu.

Menurut Yuliance Yunita Bosom Ulim alias Yuyun, pendiri Sinagi Papua, pelaksanaan waili tidak ditentukan oleh waktu dan lokasi yang mengikat. Waili bisa berlangsung kapan pun dan di mana pun. Satu keluarga biasanya bebas mengajak siapa pun untuk ikut, tak terkecuali teman-teman sepermainan.

Pengusaha UMKM yang juga Lurah Malagusa itu menambahkan, keunikan atau keseruan waili di zaman dahulu adalah menemui tanaman apa pun di sepanjang perjalanan untuk dimanfaatkan menjadi menu waili. Misalnya, saat berjalan menemui kebun pisang, maka pisang itu kemudian dibakar. Lalu di dalam hutan, mereka akan memasak dan makanan apa pun yang tersedia di alam. Kecuali sagu, yang harus ditokok, diramas, dan diolah terlebih dahulu sebelum dibawa ke waili. Namun, kini sudah mudah untuk mencari sagu iris kering di pasar untuk menu karbohidrat saat waili.

Hari itu (11/9/2025), kami mengikuti proses waili bersama para maestro pangan suku Moi, Hana Mili (68) dan Martha Mili (58), ke hutan kecil di pinggiran jalan tembus Makbon–Aimas, Kabupaten Sorong. Mama-mama yang tinggal di dekat GKI Ekklesia Klasaman, Sorong, itu ditemani oleh kerabat-kerabatnya, yakni Daud Kilala, Melianus Ulim, Nomensina Ulim, dan Jessica Ulimpa. Yuyun dan Salsabila Andriana, pendiri Lumbung Sagu Collective, ikut serta. 

Mengenal "Waili", Piknik ke Hutan ala Suku Moi
Oyang meramban daun gedi untuk sayuran pelengkap hidangan waili

Lebih dari sekadar piknik

Untuk menyingkat waktu, kami telah menyiapkan sejumlah bahan pangan, seperti sagu kering, petatas, pisang, dan ikan, yang kami beli dari Pasar Sore Aimas sehari sebelumnya. Kami tinggal menyiapkan sayur-sayuran yang akan diramban di kebun sekitar.

Lokasi waili ditetapkan di tepi anak Sungai Klasaman, dekat jembatan baja. Sembari menunggu Oyang—sapaan akrab Hana Mili—meramban sayur gedi (orang Moi menyebutnya kibik) di kebun miliknya di seberang sungai, bapak-bapak bekerja menyiapkan perlengkapan waili. Daud dan Melianus bahu-membahu menebas bambu-bambu liar untuk diambil batangnya sebagai media memasak. Keduanya juga tangkas membabat batang-batang kering dan daun pisang untuk dirangkai menjadi gubuk sederhana sebagai tempat sejenis dapur atau tempat perapian. 

Kiri: Oyang dan Mama Martha menyiapkan bahan-bahan makanan yang akan dibakar di bambu. Kanan: Potongan ikan dimasukkan ke ruas bambu.

Kelompok perempuan bertugas menyiapkan bahan makanan. Oyang, dibantu Mama Martha, Nomensina dan Jessica, menjejalkan petatas, pisang, ikan, dan sayur gedi ke dalam ruas-ruas bambu. Lembaran daun pisang menjadi penutup agar masakan matang merata saat dibakar. Tiga kali hujan turun dan reda tidak menyurutkan semangat mama-mama berpiknik.

Di masa lalu, anak-anak muda dan orang tua biasa melakukan banyak atraksi saat waili. Sambil menunggu masakan matang, mereka biasa mengisi kegiatan lain, seperti mandi di sungai, memancing, atau jalan-jalan ke dalam hutan untuk mencari tanaman atau obat-obatan tradisional yang bisa diolah. Di tengah keterbatasan akses transportasi ke kota, teknologi, atau pengetahuan modern, waili menjadi hiburan tersendiri bagi orang-orang Moi.

Oyang dan Mama Martha menata bambu-bambu berisi bahan makanan di atas api agar matang merata

Makan besar ramah lingkungan

Selama proses pembakaran, Oyang dan Mama Martha sibuk menjaga nyala api. Sembilan ruas bambu ditata sedemikian rupa agar mendapatkan pembakaran yang merata. Pembakaran berlangsung cukup lama, seingat saya mencapai satu jam. Tidak ada angka durasi yang pasti kapan masakan akan matang, tidak ada kenop seperti kompor yang mengatur besaran api, dan tidak ada indikator jelas semacam perubahan tekstur atau warna makanan karena tidak terlihat secara kasatmata. Hanya Oyang dan Mama Martha yang tahu sampai akhirnya berseru, “Masakan sudah matang, mari kita makan!”

Satu hal lagi yang pantas diapresiasi dari pelaksanaan waili adalah usaha penggunaan bahan-bahan pangan lokal, organik, dan perlengkapan memasak yang ramah lingkungan. Kami tidak melihat penggunaan bumbu-bumbu tambahan instan. Semua diolah apa adanya, menyerahkan kibar aroma pada lalapan api, dinding bambu, dan harum daun pisang.

Begitu aba-aba masakan sebentar lagi matang, kami membantu menyiapkan alas makanan. Daun-daun pisang dibeber. Peralatan makan pun berbahan alami, seperti piring dari daun pisang atau daun sejenis talas, gelas dari daun tikar, dan capit dari batang kayu. Bambu-bambu berisi petatas, pisang, ikan, dan gulungan sayur dihamparkan ke ‘meja makan’. Oyang dan Mama Martha tampak cekatan membongkar bambu tanpa kesulitan berarti, tanpa merasa kepanasan meski baru saja diangkat dari perapian.

Uap hasil pembakaran membubung ke udara. Membawa semerbak khas yang menggugah selera. Padahal, tidak ada bumbu atau penyedap rasa tambahan. Semua terlihat organik dan polos, tetapi menggoda lidah. Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, kami mencomot satu per satu makanan ke ‘piring’. Sagu kering melengkapi kelezatan sajian, melunak seiring terguyur sayuran yang basah dan segar. Kehangatan selepas hujan terasa mengiringi makan siang kali ini. Sesekali gelak tawa dan obrolan ringan menguar, terjalin suasana akrab tanpa sekat.

Yang tidak saya sangka, seluruh makanan dari sembilan ruas bambu ludes tak tersisa. Perut rasanya penuh. Bukan semata kepuasan karena kenyang, melainkan perasaan bersyukur dan bahagia karena masih bisa menikmati kuliner lokal khas suku Moi, yang diolah secara tradisional.

  • Mengenal "Waili", Piknik ke Hutan ala Suku Moi
  • Mengenal "Waili", Piknik ke Hutan ala Suku Moi

Potensi wisata kuliner dan budaya

Yuyun bersyukur budaya waili masih terjaga sampai sekarang di Sorong, khususnya Aimas. Belakangan ia mempertimbangkan untuk mengemasnya lebih menarik sebagai atraksi wisata. Tujuannya bukan hanya kepentingan ekonomi semata, melainkan juga sebagai upaya pelestarian budaya leluhur. 

Wacana paket wisata kuliner berbalut budaya Moi tersebut sudah lama ia impikan. Sebelum mendirikan Sinagi Papua, ia membentuk Komunitas Lemek. Lemek, dalam bahasa Moi berarti alat tokok atau pangkur sagu dari kayu. Komunitas ini berisi belasan orang-orang muda seperti Nomensina dan Jessica untuk aktif menyuarakan budaya-budaya suku Moi yang masih bertahan. Di antaranya budaya tokok sagu atau praktik membuat noken. Yuyun ingin komunitas ini bisa menggaet lebih banyak anak muda dan remaja Sorong Raya agar lebih mengenal dan bangga pada budaya suku Moi. Maka, bisa dibilang rencana paket atraksi waili merupakan pengembangan dari kegiatan Komunitas Lemek.

Yuyun membayangkan, kemasan wisata waili di masa mendatang juga berlangsung seperti yang kami lihat saat itu. Perempuan-perempuan Moi, para mama dan pemudi-pemudi Komunitas Lemek, menggelar atraksi dengan balutan busana tradisional khas Moi. Di saat bersamaan, Nomensina maupun Jessica akan unjuk keahlian menganyam noken di tempat. Tamu yang datang mungkin juga diajak menjelajah hutan untuk mengenal tanaman-tanaman tradisional yang berperan penting dalam keseharian masyarakat adat Moi.

Terjaganya tradisi waili sebetulnya menunjukkan proses regenerasi suku Moi, khususnya perempuan, telah berjalan dengan baik. Orang-orang muda seperti Nomensina dan Jessica—tidak menutup kemungkinan akan bertambah—mewarisi pengetahuan leluhur mencakup sistem pangan lokal, kostum adat, hingga atribut-atribut adat, seperti noken dan koba-koba (tikar).

Selain kepedulian generasi mudanya, ada satu syarat lagi yang mesti diingat untuk melestarikan budaya waili. Seperti kata Oyang, hutan suku Moi harus dijaga. Menurut Oyang, menjaga hutan adalah tanggung jawab bersama. Hutan bukan hanya melindungi sumber penghidupan masyarakat adat Moi, melainkan juga melestarikan rumah burung-burung endemik, seperti cenderawasih. Sebab, jika hutan rusak, tempat burung bermain akan hilang, begitu pun bahan-bahan baku pangan maupun anyaman kerajinan yang biasa diambil di hutan.

“Saya berharap ke depan, hutan ini menjadi berkat untuk keluarga besar orang Moi,” ucap Oyang.


Foto sampul: Oyang dan Martha menyiapkan hidangan ‘waili’ di hutan. Kelezatan kuliner khas suku Moi meski dengan perlengkapan yang sederhana dan alami.

Pada Agustus–September 2025, tim TelusuRI mengunjungi Merauke (Papua Selatan), Jayapura (Papua), serta Tambrauw dan Sorong (Papua Barat Daya) dalam ekspedisi Arah Singgah: Tanah Kehidupan. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah2025.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Avatar photo

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Geliat Ekonomi dan Literasi Suku Moi di Pantura Selemkai