“Urip iku sing prasaja!”
Begitulah salah satu pitutur luhur yang saya dengar sedari kecil. Nasihat yang berisi pengingat agar senantiasa menjadi manusia yang prasaja. Istilah prasaja sendiri jika ditilik dari KBBI berarti sederhana. Namun bagi saya, juga sebagian besar orang Jawa memaknai istilah prasaja tidak hanya sebatas hidup sederhana, melainkan lebih dalam dari itu.
Prasaja mengandung arti sebagai sebuah prinsip hidup yang menjadi dasar bagi orang Jawa untuk hidup sak madya, sederhana, terus terang apa adanya, serta jujur. Maka dari itu, setiap manusia diharap dapat berkehidupan secara pas, tidak berlebihan apalagi kekurangan.
Hidup yang prasaja ini dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan sehari-hari seseorang, mulai dari berperilaku, bertutur kata, hingga bersikap. Hal tersebut tercermin dari apa yang melekat pada diri setiap orang, termasuk di dalamnya kudapan yang dikonsumsi. Yap benar, kudapan. Ini dapat terlihat pada berbagai kuliner, salah satunya adalah makanan yang dapat ditemukan di Kota Solo, sebagai kota yang menjunjung budaya Jawa yaitu cabuk rambak.
Terlihat dari penamaannya, cabuk rambak terdiri dari dua kata yaitu cabuk dan rambak. Pangan yang satu ini memang memiliki bahan utama berupa cabuk dan rambak yang menjadi pendamping ketupat. Cabuk merupakan sambal khas Wonogiri, suatu kabupaten yang berada di sebelah selatan Kota Solo, yang dulunya termasuk dalam Karesidenan Surakarta. Sambal cabuk terbuat dari biji wijen diperas. Air hasil perasan akan menjadi minyak wijen, sedangkan ampas yang dihasilkan sebagai bahan utama sambal. Biji wijen yang telah diperas tersebut kemudian disangrai. Setelahnya dihaluskan dan dicampur beberapa bumbu sederhana seperti bawang putih, garam, gula jawa, cabai, serta daun kemangi muda. Dari proses tersebut maka akan dihasilkan sambal cabuk kering yang awet sehingga dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama. Jika mau dipakai sebagai saus, sambal cabuk kering tinggal dicampur sedikit air.
Sementara rambak adalah penyebutan pada kerupuk yang umumnya terbuat dari krecek alias kulit sapi atau kerbau. Dahulu krecek didapat dari limbah pembuatan wayang kulit, yang kemudian dibersihkan dan digoreng. Akan tetapi, seiring dengan mahalnya harga rambak berbahan krecek, maka oleh para pedagang cabuk rambak, krecek diganti dengan rambak gendar atau karak. Rambak gendar terbuat dari nasi yang diberi ragi kemudian dipotong tipis melebar yang selanjutnya dijemur dan digoreng.
Cabuk rambak begitu sederhana, bukan hanya dari kesederhanaan bahan-bahan yang digunakan, melainkan juga dari penyajiannya. Dalam setiap sajiannya, cabuk rambak terdiri dari ketupat diiris tipis-tipis melebar lalu disajikan pada pincuk yang biasa dibuat dari daun pisang atau kertas minyak bungkus makanan dan kemudian disiram dengan sambal cabuk serta ditambahkan rambak sebagai ramikannya. Jumlah potongan ketupat yang disajikan pun tidak begitu banyak, seringnya hanya 5-8 potong saja. Sedang, untuk memudahkan penikmat dalam merasakan lezatnya setiap suapan cabuk rambak, pedagang akan menyediakan lidi kecil seukuran tusuk gigi sebagai pengganti sendok.
Oleh karena ukurannya sak numlik atau mungil, membuat cabuk rambak digolongkan ke dalam jajanan selingan dan bukan termasuk makanan berat. Meski menggunakan ketupat sebagai main course-nya, cabuk rambak dinobatkan sebagai hidangan pengganjal.
Warung-warung penjualnya pun terbilang sederhana, umumnya cabuk rambak hanya dijual di pinggir jalan. Tanpa tenda dan hanya menggunakan meja ukuran kecil sebagai lapak dagangan. Sementara bagi para pelanggan yang hendak makan di tempat telah disediakan tikar sebagai alas duduk.
Walau tergolong sebagai kuliner otentik di Kota Solo, tidak banyak warung yang menjajakan cabuk rambak. Oleh sebab itu, untuk mencari pedagang cabuk rambak terbilang susah-susah gampang, lantaran hanya dapat ditemukan di beberapa tempat, itu pun di acara-acara tertentu saja.
Namun, berpijak pada pengalaman pribadi, setidaknya saya menjumpai beberapa titik yang kerap digunakan untuk berdagang cabuk rambak. Salah satunya adalah di sekitar pusat jajan Stadion Manahan, tepatnya di selter kuliner sisi utara stadion. Setiap pagi, utamanya di hari Minggu terdapat salah seorang pedagang yang menjajakan cabuk rambak bersama dengan nasi liwet. Akan tetapi, untuk membelinya harus gerak cepat, karena kalau kesiangan sedikit saja bisa kehabisan. Maka dari itu jika ingin mencicipi sembari olahraga pagi di Stadion Manahan sesegera mungkin untuk membelinya.
Kemudian ada pula di Depan SMA N 5 Surakarta, yang biasa berjualan di jalur pedestrian Jl. Letjen. Sutoyo di jam sarapan. Bagi yang ingin mencicipi cabuk rambak, juga tidak boleh kesiangan, biasanya jika sudah masuk pukul 09.00 WIB sudah ludes terjual.
Selain di Kota Solo, cabuk rambak juga dapat ditemukan di trotoar sebelah barat SMP N 1 Gatak, Kabupaten Sukoharjo. Letaknya di selatan Perempatan Pasar Stasiun Gawok, jika dari stasiun Gawok hanya berjarak 200 m ke arah tenggara. Berbeda dengan pedagang cabuk rambak di Kota Solo yang biasa menjajakan di waktu makan pagi, penjaja cabuk rambak yang biasa disapa dengan Mbak Lasmi berdagang setiap sore hari hingga menjelang malam. Selain berdagang cabuk rambak, beliau juga turut menjajakan beberapa makanan lain seperti gendar pecel, sawut dan singkong rebus gula jawa.
Yang pasti saat sekaten tiba, akan ada beberapa pedagang cabuk rambak yang berjualan di halaman Masjid Agung Keraton Solo.
Jika memang masih dirasa kesulitan menjari penjaja cabuk rambak, dapat mencarinya melalui peta online semacam Google Maps. Karena cabuk rambak dipasarkan dengan cara kelilingan sehingga lapak dagangannya sering berpindah-pindah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Sekarang aku tengah menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Teman-teman bisa mengunjungi akun instagramku @roslats_ untuk sekadar ngobrol atau berbincang-bincang mengenai berbagai hal.