Travelog

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2)

Minggu pisan ados janti kene sulit (Seminggu sekali mandi di Janti, di sini [Sendang Sidomulya] sulit.” Begitulah tulisan yang terpampang jelas di tembok Sendang Sidomulya (baca: Sidomulyo).

Menurut cerita Akbar, kalimat itu ditulis oleh beberapa kawannya saat mandi di Sendang Sidomulya. Sayangnya, ia juga tidak mengetahui cerita di balik penulisan kalimat itu. Ia hanya mengakui jika tulisan itu dibuat oleh kawan kawannya. 

Sependek interpretasi saya, kalimat itu merupakan wujud kritik sosial kepada masyarakat yang jarang mandi di Sendang Sidomulya, sendang milik masyarakat Cangkringan. 

Kata “janti” merujuk pada sebuah desa yang terkenal akan wisata air. Di Janti, terdapat wisata air berupa kolam renang untuk segala usia dan pemancingan air tawar. Pemancingan tersebut juga sekaligus mengakomodasi tempat makan. 

Semasa saya kecil, Janti merupakan wisata air dan pemancingan yang sangat diidamkan. Bahkan, Janti selalu jadi tawaran pilihan untuk rekreasi dari perkumpulan-perkumpulan yang ada di desa, seperti ibu-ibu pengajian, adik-adik TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dan bapak-bapak maniak mancing. Bisa dibilang Janti cukup mendominasi wisata perairan.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Coretan di dinding Sendang Sidomulya/Aldino Jalu Seto

Sendang Sidomulya dan Ciri Khasnya

Kepopuleran Janti menyebabkan kalah pamornya tempat seperti Sendang Sidomulya ini. Menurut hemat saya, atas dasar itu tulisan di tembok Sendang Sidomulya dibuat. Meskipun sepertinya kalah populer, sendang ini sebenarnya memiliki karakteristiknya sendiri. 

Yang menjadi ciri khas adalah sendang ini jelas terlihat berada di tengah perdesaan. Lokasinya berada di sebelah jalan, menghadap langsung ke sawah.

Jika kebanyakan sendang berada di dekat kali yang dipenuhi pohon bambu atau pohon beringin, sendang ini justru tidak. Sendang Sidomulya berada di dekat jalan utama desa, sehingga terlihat lebih bersih daripada Sendang Kali Nyamplung dan Sendang Mbergundung.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Tampak luar bangunan Sendang Sidomulya/Aldino Jalu Seto

Dari sisi sejarah, saya juga tak menemukan adanya tahun atau tanggal pembuatan sendang ini. Menurut Ardha, dulunya di luar area sendang terdapat batu yang bertuliskan tahun pembuatannya. Sekarang batu tersebut telah hilang. 

Akbar menambahkan, dulunya sendang ini memiliki kedalaman sekitar setengah meter. Dalam beberapa tahun terakhir, debit airnya mulai menurun. Selain itu, Sendang Sidomulya juga mengalami pendangkalan. 

Selain letaknya yang membedakan dengan sendang-sendang lain, Sendang Sidomulyo juga memiliki keunikan dari sisi bangunannya. Kebanyakan bangunan sendang yang saya temui di Desa Cangkringan memiliki dua tempat untuk membedakan pemakaian sendang berdasarkan gender. Akan tetapi, sendang ini hanya ada satu tempat. Sepengetahuan Akbar, Sendang Sidomulyo hanya dikunjungi oleh laki-laki. 

Secara arsitektur, bentuk bangunan Sendang Sidomulya kurang lebih sama dengan sendang lain. Berbentuk persegi dengan dinding yang mengelilingi setiap sisinya. Terdapat dua pintu dari sisi timur dan barat. Ditambah sebuah sekat untuk membedakan kolam sebagai tempat mandi dan mata air.

Kami bertiga tak lama berada di Sendang Sidomulya karena tidak menemukan hal hal baru. Setelah beberapa jepretan foto, kami beranjak menggunakan motor. Kami berjalan ke arah utara menuju jalan utama desa Cangkringan, lalu belok kiri ke arah barat menuju pertigaan. Selanjutnya masuk ke sebuah gang sempit di tanah milik warga untuk tiba di Sendang Karang Kulon. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Kolam pemandian untuk putri di Sendang Karang Kulon/Aldino Jalu Seto

Melawat ke Sendang Karang Kulon

Menurut kedua kawan saya, yaitu Ardha dan Akbar, Sendang Karang Kulon adalah sendang yang masih sangat terjaga keasriannya. Sendang ini masih memiliki tuk alami dari bawah tanah. Pohon beringin raksasa masih mengakar kuat di tanahnya, begitu pun daunnya yang jatuh dibersihkan oleh penjaga sendang. 

Kami bertiga melihat banyak hal menarik di Sendang Karang Kulon. Pohon beringin raksasa, berbagai kolam di sendang, batu serupa stupa, joglo persatuan silat, “oven” tempat pembakaran batu bata, dan juga tempat BAB (buang air besar) yang masih autentik. 

Sebelumnya, saya sudah pernah melawat ke Sendang Karang Kulon. Dulu kunjungan saya tak sedekat sekarang, yang mana saya hanya menapakkan kaki dari sisi atas sendang. Kebetulan, akses di sekitar Sendang Karang Kulon sekaligus menjadi jalan penghubung antara Desa Cangkringan dengan Desa Jembungan.

Terdapat dua sendang yang biasa digunakan. Terbagi berdasarkan gender, yaitu putra dan putri. Sendang putri berada di depan bangunan menghadap ke barat. Di atasnya terdapat sebuah tulisan aksara Jawa. Sayang sekali saya tidak dapat menerjemahkannya. 

Sendang putri tersebut berbentuk persegi. Sama seperti sendang pada umumnya—yang terdapat tembok di setiap sisinya—tingginya sekitar tiga meter dari dasar sendang. Ada pula dua sisi lantai yang berbahan dasar keramik di timur dan selatan. 

Dari dasar tanahnya mengeluarkan air yang disebut tuk atau sumber air alami. Airnya yang bersih serta dingin sangat cocok untuk berenang. Sendang ini juga tak terlalu dalam, mungkin hanya setengah meter atau kurang lebih setinggi perut orang dewasa. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali

Pada tampak depan, sendang putri ini dihiasi pula dengan sebuah batu yang mirip lingga. Saat saya tanya kepada Ardha dan Akbar, mereka membenarkan bahwa batu itu adalah sebuah lingga dari masa kerajaan Hindu. Namun, ketika saya bertanya tentang sejarah batu itu, mereka tidak mengetahui asal mulanya. 

Sampai sekarang, batu yang dianggap lingga masih terjaga di Sendang Karang Kulon. Tidak ada relief atau gambar di tubuh lingga tersebut. Batu tersebut dihiasi oleh batu bata persegi yang disusun mengelilingi lingga. Saya melihat batu itu digambarkan mirip dengan sebuah yoni. Menyatu dengan lingga dan yoni, terdapat pula susunan batu bata dua tingkat yang berukuran hanya lebih kurang 20 sentimeter. Di tengahnya tersedia sebuah tempat untuk pembakaran dupa.

Adapun sendang putra berada di sebelah barat. Saya melihat ada keterangan tahun pembuatan sendang tersebut: 20 April 1954. Bentuk bangunannya kurang lebih sama dengan sendang putri. Hanya lokasi yang membedakan kedua sendang tersebut. Karena lokasi sendang putra yang berada di barat, maka air yang terbuang kemungkinan mengalir ke sungai yang ada di sebelahnya dan ke sendang putri. 

Tak jauh dari lokasi sendang putri, di sebelah timur saya melihat sebuah kolam yang menyimpan banyak air. Tampaknya, kolam tersebut tidak lagi difungsikan dengan baik. Banyak daun jatuh dan tidak dibersihkan di sana. Tak hanya itu, banyak ikan badar—alias wader—yang juga berkembang di sana. Terlihat seperti tak terpakai layaknya sendang putra dan putri.

Sebagai pelengkap, terdapat pula padepokan perguruan silat. Saya bertanya kepada Ardha, “Apakah bangunan permanen ini milik perguruan silat tersebut?” Ardha mengiyakannya.

Ardha lanjut bercerita, orang yang membuat joglo semipermanen serta dua bangunan padepokan permanen tersebut adalah perguruan silat setempat. Tampilan fisiknya bernuansa tradisional, kokoh, dan sederhana. Terbuat dari bambu yang dirangkai dan dicat berwarna cokelat, sehingga makin menambah suasana keasriannya. 

Bangunan padepokan permanen di dekat sendang putra dan putri. Keduanya berbentuk persegi panjang. Sejauh penglihatan saya, bangunan tersebut difungsikan untuk tempat beristirahat para pesilat.

Sedikit menyusuri ke arah timur, saya melihat peninggalan masa lampau berupa bangunan bata tua yang masih tersisa puing-puingnya. Masyarakat sekitar menyebutnya “oven” tempat pembakaran batu bata.

Ardha dan Akbar kompak menuturkan, “Ndhisik jek kerep kanggo, tapi saiki wes ora (Dulunya [oven ini] sering dipakai, tetapi sekarang sudah tidak).”

Secara keseluruhan, sejak saya menapakkan kaki di Sendang Karang Kulon ini, kesan yang sangat melekat dalam diri saya adalah tempat ini suci atau keramat. Indikatornya berupa tempat yang sangat rindang, sangat lekat akan hal-hal pemujaan, ditambah di setiap sudut bangunan terdapat dupa yang menciptakan bau khas tersendiri.

Hal terakhir yang tak bisa dilepaskan dalam kunjungan ke Sendang Karang Kulon adalah pohon beringinnya. Melihat dari atas, pohon ini tampak gagah sebagai penjaga ekosistem di Sendang Karang Kulon. Ia adalah aktor utama yang menjaga kelestarian tuk atau mata air di petirtaan tersebut tetap eksis sejak 1954, atau bahkan mungkin jauh sebelumnya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kala Telunjuk Raung Bermain Kata-Kata