Travelog

Estetika Made Bookshop Bali

“Tak ada teman seloyal buku,” kata Ernest Hemingway.

Pak Tua itu benar. Tanpa buku, tidak banyak yang bisa saya lakukan saat bepergian. Ketika harus menghemat baterai di bus atau kehilangan sinyal di kapal, buku benar-benar menemani saya mengarungi waktu. Maka, saat berada di Bali dan haus bacaan, saya bergegas mencari toko buku. Alih-alih mengunjungi Gramedia dan Periplus, saya malah pergi ke sebuah kios buku bekas di kawasan Seminyak.

Ditemani Kelik, saya melibas kota Denpasar yang penuh kendaraan. Matahari membakar di atas kepala. Aneh, mestinya langit tak seterik ini. Ayolah, ini musim hujan. Ke mana perginya mega-mega? Udara kian mendidih oleh asap knalpot. 

Kelik meliukkan motor, mencari celah meski susah. Jalanan itu macet. Mobil-mobil mengular di persimpangan, menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Seorang bule marah-marah di tengah jalan dengan motor N-Max teronggok di aspal. Kacau sekali. 

“Wah, ada bule jatuh,” kata saya.

“Ya, gitu. Kadang mereka itu ngawur,” jawab Kelik.

Saya teringat video viral bule-bule yang bertingkah seenak jidat di Bali. Kelakuan mereka kadang aneh-aneh, mulai dari telanjang di pohon, memelorotkan celana di gunung, sampai ugal-ugalan di jalan. Belakangan, malah ada yang memukul seorang pegawai vila. Apa di mana-mana orang kulit putih merasa superior?

Lepas dari hiruk piruk kota, kami menyusuri jalur kecil menuju Pantai Seminyak. Seperti Legian, area itu penuh kafe dan bar dengan turis berseliweran. Saat motor melaju pelan di jalan sempit, saya melihat sesuatu. Itu penunjuk arah dengan tulisan “Book Shop, All World Language’”. Rupanya kami sudah dekat. Lalu, dua atau tiga tikungan setelahnya, kami tiba di Made Bookshop.

Estetika Made Bookshop Bali
Tiba di Made Bookshop/Asief Abdi

Buku-Buku Bekas yang Estetis

Toko itu sederhana. Barangkali ukurannya hanya lima meter persegi, bersebelahan dengan kedai kopi dan resto kecil. Parkiran sepi. Tampaknya belum ada pengunjung. Saya melangkah masuk dan disambut buku-buku yang berjejalan. Di belakang rak, seseorang sedang sibuk memilah buku. Usai menyapa dengan seutas senyum dan ucapan “halo”, ia kembali sibuk bekerja. Dialah Made Sutomo, sang pemilik toko.

Di ruang sempit dan redup itu, tumpukan buku memenuhi setiap sudut. Buku-buku tersebut ditata rapi dan dipilah berdasarkan bahasanya: Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Skandinavia, dan entah bahasa apa lagi yang luput dari pengamatan saya. Luar biasa, seluruh dunia bisa muat di bilik sempit ini.

“Dari mana semua buku ini, Pak?” tanya saya.

“Saya dapat dari orang hotel. Banyak turis meninggalkan bukunya saat check out. Ada juga donasi dari bule,” jawabnya sambil tetap bekerja. Minat baca di luar sana rupanya memang lebih baik daripada negeri ini. Saya tidak kaget jika wisatawan Barat membawa buku saat melancong. Saya lebih heran mereka bisa meninggalkannya begitu saja.

Estetika Made Bookshop Bali
Toko buku bekas Made Bookshop di Seminyak/Asief Abdi

Semua buku di Made Bookshop merupakan barang bekas. Meski begitu, semuanya asli. Bukan bajakan—apalagi fotokopian. Mungkin, itulah kelebihannya dibanding toko buku-toko buku besar di Denpasar yang menjual buku anyar. Ini semua barang antik. Lembar-lembar yang sudah berubah warna lantaran digerogoti waktu justru menambah estetika buku-buku bekas itu.

“Selain murah, buku bekas punya banyak kelebihan,” ujar Pak Made.

“Oh, ya? Kenapa, Pak? Karena antik?” jawab saya sambil membuka buku yang kertasnya menguning.

“Ya, itu juga salah satunya. Ada juga lainnya.”

Pak Made menghentikan sejenak pekerjaannya. Menatap saya dengan matanya yang sipit, lalu menjelaskan.

“Kalau buku baru, selain mahal, belum tentu ada yang baca. Nah, kalau buku-buku ini, kan sudah pasti ada yang baca,” jelas dia.

Boleh juga pemikiran Pak Made. Lagipula, buku-buku di tokonya memang dijual dengan harga murah. Toko buku besar layak memperhitungkan Made Bookshop sebagai saingan. Menurutnya, turis lebih suka membeli buku bekas. Pak Made bahkan membolehkan pelanggan menukar buku yang sudah dibeli dengan buku lain dengan membayar selisih harganya saja.

“Orang kalau baca buku biasanya cuma sekali. Begitu selesai disimpan di sini,” katanya sambil menunjuk pelipis. Saya teringat buku-buku di kamar. Kebanyakan hanya saya baca satu kali. Barangkali suatu saat saya harus menjualnya juga.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. “Ada buku Eat, Pray, Love, Pak?”

“Wah, sudah laku. Kemarin ada itu.”

Sayang sekali, padahal saya ingin sekali membacanya. Merasakan Bali di halaman-halamannya. Sebelum bertolak ke Bali, saya sempat menonton film yang diadaptasi dari novel itu. Boleh dibilang, film itu membawa saya kemari. 

Saya kembali memilih buku, siapa tahu ada penulis yang saya kenal. Tunggu, apa itu? Ernest Hemingway. Ah, tetapi berbahasa Prancis.

“Hemingway yang bahasa Inggris ada, Pak?”

“Wah, enggak tahu, ya. Saya enggak hafal nama-nama penulis. Kalau buku populer macam Eat, Pray, Love saya tahu.”

Estetika Made Bookshop Bali
Pak Made di meja kerjanya/Asief Abdi

Sekadar Berbisnis Buku

Sepertinya Pak Made bukan penggila buku. Ia hanya pedagang biasa. Apa yang dia lakukan tak ada hubungannya dengan misi-misi romantis soal literasi yang kerap digaungkan orang. Ia sekadar mencari uang. Pak Made mengaku sudah tiga puluh tahun lebih menekuni bisnisnya. Sebelum ini, tokonya berlokasi di area Kuta. Baru tiga tahun lalu ia pindah ke Seminyak.

Seorang pria kulit putih masuk. Pak Made mengucapkan, “Hello.” Lelaki itu tak menjawab. Ia melihat-lihat sekeliling. Tak lama, si bule keluar. Barangkali tak ada yang cocok untuknya.

“Pengunjung biasanya dari mana saja, Pak?”

“Macam-macam. Amerika, Kanada, Australia, Prancis, Singapura.”

“Kalau turis lokal?”

“Tempo hari ada orang-orang Jakarta kemari. Ah, iya, waktu KTT G20 lalu, Pak Prabowo mampir ke sini.”

“Oh, ya? Beli buku apa beliau?”

“Apa, ya. Buku pemerintahan kayaknya.”

Kalau sampai dikunjungi tokoh publik sekelas menteri, saya pikir Made Bookshop memang bukan sembarang toko buku. Ia ikonis. Estetis dengan caranya sendiri. 

Estetika Made Bookshop Bali
Rak buku berbahasa Jerman/Asief Abdi

Setelah menelusuri setiap sudut rak, saya menemukan buku menarik: Flight of the Storks. Saya baca blurb di sampul belakang buku. Bagus, tentang seorang ornitologis. 

“Ini berapa, Pak?”

“Coba lihat di halaman awal. Saya tulis harganya di situ.”

Saya buka lembar pertama. Rp.70.000. Boleh juga. Lagipula sepertinya saya tidak bakal menemukan buku ini di tempat lain. Usai membayar dan mengucap suksma (terima kasih) kepada Pak Made, saya beranjak.

“Kamu enggak beli buku, Lik?” tanya saya pada Kelik. Ia menggeleng. Benar juga, anak itu bukan pembaca. Mestinya saya tak perlu bertanya. 

Saat melangkah keluar pintu, tebersit sesuatu di benak saya. Pak Made bekerja sendirian di tokonya. Apa ia tidak kesepian berada di sana seharian?

Lalu, saya teringat satu kutipan dari sebuah film berjudul The Bookshop. Tak ada yang akan merasa kesepian di toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *