Kata banyak orang, jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting bikin sinting. Saat kemarau penuh debu, kalau hujan licin dan berlumpur. Menurut Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon, pemandu gunung profesional dan pemilik operator tur Ambon Adventure, ujian terberat di jalur ini adalah antara Pos 2 Bendera ke Pos 3 Dampo Awang. Faktor penyebabnya adalah akumulasi jarak yang agak panjang, elevasi makin tajam, dan kelelahan.

Namun, meminjam istilah “kapok lombok”, jalur yang terletak di Dusun Suwanting, Desa Banyuroto, Sawangan, Magelang itu tetap diserbu banyak orang. Rasa jera para pendaki hanya sesaat, karena tiba-tiba kangen ingin balik lagi di lain waktu. 

Di antara sekian alasan mengapa banyak orang meminati Suwanting, Pak Ambon mengucap satu di antaranya, “Nilai plus jalur ini adalah sabananya. Kadang-kadang pendaki malas melanjutkan perjalanan ke puncak, karena kadung ‘mager’ di tengah-tengah padang rumput hijau.”

Rata-rata pendaki yang pernah mampir di rumah Pak Ambon—berada di ketinggian sekitar 1.400 mdpl—untuk meminta arahan, mengaminkan pernyataan pria kelahiran Semarang itu. Saya pun demikian.

Rumah Pak Ambon sekaligus Basecamp Ambon Adventure di Dusun Suwanting, Banyuroto, Magelang
Rumah Pak Ambon sekaligus Basecamp Ambon Adventure di Dusun Suwanting, Banyuroto, Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Wejangan tentang Hujan

Cuaca yang cukup cerah pagi itu (18/3/2023) nyaris membuat saya jemawa. Langit membiru dengan awan-awan putih tipis. Sinar matahari sudah mulai menyengat kulit. Satu-satunya hal yang kontras dan kasatmata hanyalah kabut yang menyelimuti pucuk-pucuk pinus di pintu hutan.

Sesaat saya tersadar. Keberadaan kabut bisa berarti dua: tetap cerah atau akan turun hujan. Pak Ambon tadi sudah menginformasikan cuaca terkini ketika briefing. 

“Nah, ini yang aneh. Sudah dua mingguan ini Suwanting cerah. Lha kok kemarin waktu turun gunung sama tamu sekitar jam 2 siang, dikasih hujan deras sampai basecamp,” tuturnya. 

Artinya, kami harus waspada. Jas hujan disiagakan di kantong tas yang mudah terjangkau dengan cepat. 

Selain wejangan-wejangan soal etika di gunung—di antaranya mengucap salam saat masuk Lembah Manding dan jangan kencing menghadap kiblat—Pak Ambon kembali mewanti-wanti soal potensi badai. “Kalau sampai terjadi badai, lebih baik turun. Jangan paksakan pendakian daripada membahayakan diri sendiri,” tegasnya.

Saya tetap menaruh harapan pada Merbabu. Tidak berekspektasi tinggi, tetapi semoga cuaca sesuram apa pun tetap bersahabat untuk dinikmati. Selicin apa pun tanah yang kami lewati, setidaknya masih dilewati secara perlahan. 

Saya dan teman-teman sudah sampai di tempat ini. Kami akan tahu dan merasakannya sendiri saat mendaki nanti.

Gapura kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, titik awal pendakian jalur Suwanting
Gapura kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, titik awal pendakian jalur Suwanting/Rifqy Faiza Rahman

Jalur yang Mengejutkan Banyak Orang

Pintu rimba (1.470 mdpl) sebagai gerbang masuk kawasan taman nasional berjarak sekitar 700-800 meter dari rumah Pak Ambon. Kami menjangkaunya kurang dari lima menit dengan naik ojek bertarif 10 ribu rupiah sekali jalan. 

Kuota harian jalur Suwanting, yang mencapai 400 orang penuh. Sebagian besar rombongan open trip dari operator wisata yang berbasis di Jakarta. Jumlahnya puluhan. Belum termasuk porter dan pemandu.

Adapun sisanya adalah kelompok-kelompok kecil yang kebanyakan berasal dari daerah sekitar Magelang, seperti tiga orang yang saya temui di kawasan Lembah Gosong (1.665 mdpl). Laki-laki semua. Dua di antara mereka sudah berpengalaman naik gunung, sementara satu orang lagi adalah pemula. Namun, ketiganya baru pertama kali ini mendaki jalur Suwanting. 

“Itu juga karena dipaksa sama temenku ini, Mas! Biasanya saya lewat Selo, Boyolali. Lebih bersahabat,” cetus pria bertopi yang berperawakan agak gemuk. Ia menunjuk sosok berkacamata di sampingnya. 

Yang punya ide pun membalas, “Enak, kok. Lebih cepat ke puncak. Sabananya juga lebih bagus. Dinikmati wae!”

Orang satunya lagi, yang debut mendaki dan kebagian membawa tenda, malah bertanya pada saya, “Jalurnya kayak begini terus, Mas? Kira-kira berapa jam nyampe ke Pos 3?”

Saya menengok layar GPS yang saya bawa. Waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB. Kami sudah berjalan setengah jam dari Pos 1 Lembah Lempong (1.560 mdpl), yang hanya berjarak 200 meter dari gapura.

Berdasarkan informasi GPS, saya terangkan kepada mereka, “Jarak ke Pos 2 Bendera (2.168 mdpl) sekitar 1,5 kilometer lagi atau jalan normal paling lama dua jam. Dari situ ke pos air (2.665 mdpl) sekitar 1,1 kilometer atau 2,5 jam perjalanan, karena lebih terjal. Nah, dari sumber air ke Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl) sudah dekat, hanya 200 meter atau 15 menit saja. Itu pun kalau gak hujan, Mas.”

Raut wajah si gemuk dan pembawa tenda tampak terkejut. Mereka melihat lagi jalan setapak tanah yang cukup liat. Hujan bisa membuatnya lebih berat dan menambah penderitaan.

Temannya yang berkacamata berusaha menenangkan hati dalam bahasa Jawa, “Pelan-pelan saja, dinikmati. Nanti ‘kan sampai juga di Pos 3.”

Lembah Gosong, pertemuan pertama saya dengan tiga pendaki asal Magelang
Lembah Gosong, pertemuan pertama saya dengan tiga pendaki asal Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Ujian Terbesar Pendakian adalah Hujan

Selain Lembah Gosong, ada tiga kawasan lembah lagi yang harus kami lewati sebelum Pos 2: Lembah Cemoro, Lembah Ngrijan, Lembah Mitoh. Jarak antar kawasan atau pos sebenarnya mudah diperkirakan, karena ada patok-patok hektometer (HM) yang dipasang per 100 meter oleh taman nasional.

Sayangnya, tak sedikit yang angkanya terhapus karena faktor alami atau ulah tangan jahil. Bahkan ada satu-dua patok yang tumbang atau hilang entah ke mana. Maka secara berkala saya mengecek informasi di GPS. 

Selain berpatokan pada GPS, saya juga cukup banyak memotret untuk menyimpan informasi. Namun, tatkala kabut semakin merungkup tebal di Lembah Cemoro (1.790 mdpl), saya hentikan langkah dan segera mengamankan kamera dan tas selempang. Langit mencurahkan hujan tiba-tiba dan sangat deras. Saya dan kawan-kawan Magelang yang sedari tadi jalan beriringan lekas mengambil jas hujan dari dalam tas. 

Meskipun sudah diprediksi, terus terang turunnya hujan bukanlah menjadi harapan banyak orang. Selain basah, fokus dan tenaga yang dikeluarkan makin ekstra. Apalagi bagi tim yang membawa banyak orang, tentu harus saling menjaga satu sama lain.

Jalur yang tambah becek merupakan salah satu konsekuensi yang kami hadapi di saat-saat seperti ini. Imbas lainnya adalah lumpur akan melekat di sepatu, rain cover, tas, kaus kaki, tangan, bahkan sekujur tubuh kalau kami tak sengaja terpeleset dan terjatuh. 

Kendati demikian, saya patut bersyukur dengan keberadaan vegetasi sepanjang jalur. Meskipun ilalang dan tanaman semak masih dominan, cemara gunung dan mlanding (lamtoro) mencegah kami dari embusan angin kencang. Tanaman-tanaman tersebut sangat membantu menjadi pagar di tipikal jalur punggungan gunung, seperti Suwanting ini.

Ketabahan selama mendaki di bawah guyuran hujan, serta harapan agar mereda terjawab dua jam kemudian. Sekitar pukul 13.20, saya bersama Evelyne, Rivai, dan Bagus tiba di Pos 2 Bendera dengan cuaca kembali cerah. Tempat ini ternyata penuh dengan tenda-tenda para pendaki, yang rata-rata malas melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Mereka biasanya akan muncak tanpa membawa beban berlebih pada tengah malam keesokan harinya.

Di sisi lain, permukiman-permukiman di lereng Merbabu terlihat kecil di kejauhan. Pemandangan tersebut menjadi hiburan saat kami mengeluarkan bekal nasi bungkus untuk makan siang. Kami saling mengingatkan untuk tetap membawa sampah selama pendakian.

Keramaian di Pos 2 Bendera setelah hujan reda. Kami istirahat sejenak di sini untuk makan siang
Keramaian di Pos 2 Bendera setelah hujan reda. Kami istirahat sejenak di sini untuk makan siang/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Lembah Manding

Saya kira hujan hanya tumpah sekali saja hari itu. Setidaknya di atas Pos 2 dan Lembah Manding yang siap menyambut di depan kami, awan kelabu itu telah tersibak. Kami lipat kembali jas hujan, tetapi tetap menaruhnya di bagian kepala tas. 

Tidak hanya rombongan open trip, tiga kawan dari Magelang juga melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 Dampo Awang. Energi kembali pulih usai makan siang. Kami meninggalkan Pos 2 penuh optimisme. 

Namun, angan-angan hanyalah angan-angan. Baru sepuluh menit berjalan dan memasuki kawasan Lembah Manding (2.215 mdpl), halimun kembali menyergap dan sempat membatasi jarak pandang. Hujan deras yang kembali jatuh sejam kemudian cukup menghambat langkah, karena tanah semakin berlumpur dan licin. 

Padahal trek di kawasan inilah yang paling terjal di jalur Suwanting. Di beberapa tanjakan, sudut kemiringannya seolah-olah membuat lutut bertemu dagu. Tangan harus lincah memegang ranting, akar, atau bebatuan untuk menjaga keseimbangan. Tak heran tenaga semakin terkuras di sini. Hanya sisa-sisa napas dan mental saja yang bisa mengantar kami keluar dari Lembah Manding.

Di antara dua pilihan jalur yang tersedia, kami memilih ambil di sisi kanan (jalur baru) yang cenderung “bersahabat” meski agak memutar. Kata Pak Ambon, jalur lama yang mengarah lurus (sisi kiri) sudah rusak parah tergerus air, terlalu curam, licin, dan berisiko tinggi karena bersebelahan dengan jurang vertikal sedalam puluhan meter. Pantas saya melihat batang kayu melintang agar tidak ada yang melintas. Walaupun tetap saja ada segelintir pendaki nekat yang lewat sana.

Kedua jalur akan beberapa kali bertemu di satu titik sampai menyatu persis sebelum Pos Air (2.665 mdpl). Saya dan teman-teman tiba di sumber air satu-satunya jalur Suwanting itu sekitar pukul 17.00, setelah berjalan tiga jam dari Pos 2.

Mengejar Harapan Selepas Hujan

Melihat antrean panjang dan debit air yang kecil, saya mengurungkan niat mengisi penuh botol minuman dan jeriken lipat 10 liter yang kami bawa. Air tersebut kami gunakan untuk keperluan memasak, minum, dan bekal turun besok pagi. 

“Kita isi nanti malam saja, Mbak. Kalau pas sepi orang. Untuk masak malam ini, kita pakai sisa air yang ada dulu di botol Mas Rivai atau Mas Bagus,” kata saya kepada Mbak Evelyne. 

Saya mengajak Mbak Evelyn melanjutkan sisa langkah sejauh 200 meter menanjak ke Pos 3. Kira-kira 15-20 menit berjalan. Saya ingin lekas mendirikan tenda sebelum terlampau gelap. Kami berempat harus segera mengganti pakaian yang basah untuk mencegah hipotermia. Tubuh juga wajib diisi asupan hangat dan bergizi, usai berjuang menembus hujan di Lembah Manding.

Sebenarnya tidak hanya itu. Saya memiliki alasan-alasan lain yang muncul dari pengharapan selepas hujan.

Pemandangan penutup petang yang kami lihat setibanya di Pos 3 Dampo Awang
Pemandangan penutup petang yang kami lihat setibanya di Pos 3 Dampo Awang/Rifqy Faiza Rahman

Dalam benak saya, sepertinya hujan pun layak menjadi sumber harapan. Kami hanya harus bersabar melalui tamparan bulir-bulir airnya yang menusuk kulit selama beberapa saat. Saya mencoba merawat dan mengejar harapan itu dengan tiba di tempat berkemah sebelum petang benar-benar hilang. 

Memandang ke selatan, Gunung Merapi tampak tegar dengan asap kelabu yang keluar dari kawahnya. Sementara di barat cakrawala, kami menyempatkan diri bertegur sapa dengan langit kemerahan khas sore. Kerlip lampu permukiman dan perkotaan menyala serentak di kaki gunung. 

Bagi saya, kode-kode alam seperti itu berarti pertanda harapan serupa untuk esok hari. Soal puncak, matahari terbit, dan panorama khas pegunungan; semua itu adalah bonus. Doa saya untuk besok hanya satu, yaitu meminta Tuhan “meliburkan” hujan dari “tugas”-nya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar