Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera organisasi, tak salah memang jika orang-orang ramai-ramai untuk mengupload dan membagikannya di media sosial masing-masing. 

Berbekal caption dari karangan sendiri—mungkin juga mengutip quote tokoh tertentu—plus berbagai hastag kekinian, para pendaki ini berharap unggahan mereka mendapat banyak like dan repost oleh akun-akun yang membahas dunia pendakian. Dengan harapan postingannya bisa viral, bertambah followers, dan semakin dikenal oleh khalayak ramai.

Tapi ada satu hal yang membuat saya sedikit geli dengan fenomena pendakian zaman sekarang. Walau saya sendiri tidak mengklaim diri sebagai pendaki profesional yang telah berpengalaman dan dilengkapi dengan peralatan mendaki yang canggih nan mahal, tapi saya turut dibuat gatal untuk mengomentari, atau sedikit memberi pencerahan kepada mereka-mereka yang hendak mencoba merasakan sensasi mendaki gunung. 

Saya jadi teringat dengan salah satu pesan dari kanal YouTube salah pendaki terkenal negeri ini. Dia mengatakan bahwa setelah mendaki gunung itu, hanya akan ada dua kemungkinan: pertama, kapok dan tidak akan mendaki gunung lagi. Kedua, ketagihan dan ingin lanjut mencoba mendaki di gunung yang lain. 

Kita tidak bisa menafikan bahwa atmosfer pendakian gunung yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan pendakian zaman dahulu. Zaman dahulu, yang mana orang tua kita mungkin masih berusia 20 tahunan, pendakian itu identik dengan kegiatan rutin organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (disingkat MAPALA, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Soe Hok Gie). Namun di zaman sekarang semua golongan bisa merasakan sensasi mendaki gunung tanpa harus berstatus sebagai anggota aktif MAPALA. Tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, semuanya bisa melakukan  pendakian.

Sindoro Sumbing
Gunung Sumbing tampak dari Gunung Sindoro/Ammar Mahir Hilmi

Zaman yang lebih lampau, kegiatan mendaki gunung biasanya untuk tujuan observasi lapangan, pemetaan kondisi geografis, penelitian keanekaragaman flora dan fauna, hingga ekspedisi penaklukan puncak gunung yang belum pernah terjamah oleh manusia sebelumnya. 

Sedangkan di zaman sekarang, [kebanyakan] pendakian saat ini lebih didominasi untuk tujuan wisata—kalau tidak dikatakan untuk mengikuti tren masa kini. Untuk sekedar foto-foto atau video dokumentasi. Namanya juga era Revolusi Industri 4.0, semuanya tidak akan lengkap tanpa ada bukti digital.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tren seperti ini. Foto-foto, membuat vlog, lalu kemudian mengunggahnya sebagai konten di media sosial selama untuk tujuan edukasi ataupun promosi pariwisata justru merupakan hal yang harus kita dukung agar penyebaran konten yang edukatif dapat mengimbangi arus konten negatif yang sering wara-wiri.

Ada salah satu kanal YouTube pendaki yang menjelaskan bahwa tujuan ia mendokumentasikan perjalanan pendakiannya adalah agar orang-orang yang belum pernah mendaki gunung bisa turut merasakan sensasi mendaki gunung dan melihat pemandangan meski hanya melalui perantara dunia virtual.

Yang menjadi permasalahan saat ini yaitu jika pendakian hanya sekedar untuk pamer ria hasil jepretan maupun vlog di media sosial namun tidak peduli dengan kondisi lingkungan di gunung yang ia kunjungi. 

Saya kira slogan “gunung bukan tempat sampah,” “bawa turun sampahmu,” “pendaki bijak meninggalkan jejak, bukan sampah,” mungkin sudah sangat familiar dan banyak terpampang di basecamp, petunjuk arah jalur pendakian, hingga di puncak gunung. Ini harusnya bukan sekedar slogan hiasan semata, tapi merupakan himbauan yang wajib dipatuhi bagi siapa saja yang hendak mendaki gunung.

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kita akan anugerah keindahan alam, maka sudah seharusnya kita menjaganya, tidak malah membiarkan atau bahkan ikut merusak lingkungan tanpa ada rasa bersalah sama sekali. 

  • Sindoro Sumbing
  • Gunung Sumbing
  • Gunung Prau

Saya menyaksikan sendiri, orang banyak yang mengaku pendaki tapi malah meninggalkan sampahnya di lokasi berkemah. Saya tidak habis pikir dengan kejadian seperti ini. Tujuan mereka mendaki gunung untuk apa sih? Kalau hanya untuk sekedar swafoto, kan masih banyak spot foto lain yang lebih mudah dijangkau dan tidak harus capek-capek mendaki sampai badan jadi pegal. 

Bahkan yang lebih parah, saya pernah menyaksikan sendiri seorang pendaki yang tanpa merasa bersalah mencabut bunga yang ada di puncak gunung lalu ia gunakan untuk berfoto-foto dengan pasangannya. Anjay, lebay kali. Lagi-lagi, walau saya bukanlah pendaki hebat yang telah menaklukkan seven summit dunia, saya merasa jengkel saja jika melihat kelakuan-kelakuan pendaki seperti ini. Bukan untuk merefleksikan kehidupan, ia malah merusak dan membunuh kehidupan. Bukannya bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan, ia malah dibuat  angkuh dengan postingan di media sosialnya yang full filter plus caption ala-ala dunia percintaan.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa jika pendakian hanya untuk tujuan serendah dan sesempit ini, maka lebih baik gunung-gunung ditutup saja dan tidak ada lagi yang boleh masuk kecuali para petugas ataupun relawan pemerhati alam dan lingkungan. Atau setidaknya hanya mereka yang berstatus sebagai anggota pecinta alam yang telah lulus pelatihan dasar yang boleh melakukan pendakian. 

Atau ambilah solusi yang paling realistis, ikut dulu pelatihan singkat tentang dunia pendakian sebelum memulai langkah mendaki. Setelah mendapat sertifikat kelulusan, barulah diperbolehkan untuk masuk ke wilayah pendakian. Kenapa? agar orang-orang bisa mengerti bahwa tujuan mendaki tidak sekedar mencari sensasi, melainkan untuk tujuan mulia tentang rasa syukur dan penuh tanggung jawab.

Ketahuilah bahwa pada hakikatnya tujuan dari pendakian itu untuk merefleksikan kehidupan, tentang kerendahan hati, tentang rasa syukur akan nikmat Tuhan, hingga mencoba menemukan makna dari setiap perjalanan. Bukan malah pamer kemampuan membawa carrier yang begitu besar, berlomba-lomba siapa yang paling cepat sampai ke puncak, atau bahkan untuk mencari sensasi lewat postingan di dunia maya yang acap kali serba menipu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar