“Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun pendaki yang tidak ingin menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencapai puncak. Hanya sekitar dua jam perjalanan, pendaki sudah dapat merasakan keindahan tujuh gunung dalam sekali waktu dari ketinggian sekitar 2.365 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Gunung Bismo mungkin kurang populer daripada Gunung Prau yang lokasinya tidak terlalu berjauhan. Padahal Gunung Bismo juga menawarkan bentang alam yang menakjubkan.
Suatu siang, saya bersama dua teman mengawali perjalanan dari Yogyakarta menuju Dieng untuk melihat secara langsung keindahan Gunung Bismo. Kami memutuskan mendaki Gunung Bismo via Sikunang, Kecamatan Kejajar. Tidak ada pertimbangan khusus, hanya karena basecamp itulah yang pertama kali kami temukan.
Setibanya di basecamp, kami beristirahat sebentar dan menata kembali barang bawaan yang akan kami bawa naik ke puncak. Menata barang bawaan dengan baik akan mempermudah perjalanan sekaligus mengurangi beban pada tas carrier. Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan untuk packing basah, yaitu mengemas semua barang dalam kantong tahan air. Sebuah cara terbaik mengingat cuaca yang tidak bisa kami prediksi.
Saat itu kondisi basecamp cukup ramai. Terdapat beberapa rombongan yang juga hendak mendaki di hari itu. Rasanya masuk akal karena waktu akhir pekan di musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk mendaki gunung dan melepas penat.
Memulai Langkah Pertama
Usai menata barang bawaan, kami memulai pendakian tepat pukul 17.30 WIB. Perjalanan dari basecamp menuju Pos 1 melewati perkampungan dan persawahan milik warga. Jalur cukup mudah dengan tanjakan yang masih minim. Kami hanya memerlukan waktu sekitar 15—20 menit untuk sampai di pos pertama.
Ketika kami tiba di Pos 1, langit Dieng perlahan meredup. Cahaya jingga mulai menguasai dan suara azan Magrib berkumandang. Silih berganti dari masjid satu ke masjid yang lain. Kami duduk sebentar menunggu azan selesai. Tak lama, perjalanan kami lanjutkan dan mulai dari sinilah Gunung Bismo menampakkan keistimewaannya.
Jalur pendakian dari Pos 1 menuju Pos 2 mulai bergelombang. Walaupun demikian masih tergolong aman karena penduduk setempat sering menggunakan jalur tersebut ketika hendak berladang. Terdapat dua jalur yang bisa pendaki pilih, yaitu jalur landai atau curam.
Karena menganggap bahwa trek curam lebih cepat, kami memilih jalur tersebut. Namun, kami kemudian menyesali keputusan ini. Setelah bertemu penjaga warung di Pos 3, beliau bilang jika jalur landai justru lebih cepat dan medannya lebih mudah.
Langit benar-benar gelap seutuhnya ketika kami mencapai Pos 3. Saat itulah kerlip lampu-lampu di Dieng mulai terlihat dari ketinggian. Sepanjang perjalanan, alam menyuguhkan kami pemandangan yang mengagumkan. Rasanya seperti berjalan di tempat-tempat wisata, seperti paralayang atau Bukit Bintang. Pemandangan tersebut membuat perjalanan kami tidak begitu terasa melelahkan. Apalagi udara sejuk yang menyelimuti Dieng, membikin perjalanan kami kian menyenangkan. Panorama Dieng dari ketinggian itu kemudian menemani perjalanan kami hingga ke puncak.
Mencari Tempat Berkemah
Jika pendakian di gunung lain umumnya melewati hutan-hutan lebat, Gunung Bismo tidak demikian. Pohon-pohon rimbun seperti terpusat di beberapa titik saja. Sisanya hanya berupa lembahan dan ladang penduduk yang asri. Masyarakat Sikunang benar-benar mendesain jalur ini menjadi sangat ramah bagi pendaki.
Tidak lama berjalan, kami mencapai satu-satunya warung yang berdiri di sekitar Pos 3. Warung itu menjual air mineral, mi instan, dan aneka gorengan. Penjualnya adalah laki-laki yang sudah berumur. Kami beristirahat sebentar di warung tersebut sembari bertanya lokasi camp terbaik untuk kami berkemah malam ini.
Bapak penjaga warung pun menjelaskan, “Ada banyak puncak, Mbak, di sini. Paling dekat dari sini ada Puncak Nemu-nemu, lalu Puncak Tugel, dan paling tinggi ada Puncak Indraprasta. Tapi pendaki enggak boleh camp di puncak, soalnya takut angin kencang. Bahaya. Nanti setelah puncak Tugel itu, ada camping area. Biasanya pendaki camp di situ. Tapi kalau mau jalan sedikit lagi nanti akan nemu lokasi yang bagus juga buat camping. Kalau jalan pasti nanti tahu sendiri lokasinya. Semoga belum dipakai orang.”
Setelah mendengar informasi tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Tugel yang katanya tidak jauh lagi. Langit begitu cerah malam itu. Cahaya bulan dan gemerlap bintang seolah menerangi perjalanan kami. Keindahan ini semakin nyata ketika akhirnya kami tiba di Puncak Tugel.
Kami mulai mencari camping area usai puas menikmati suasana malam di puncak Tugel, yang sudah berisi sekitar lima tenda besar. Teringat kata bapak penjaga warung tadi, kami mencari lokasi camp yang beliau maksud.
Kami terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan sebuah area datar yang hanya cukup untuk satu tenda. Di area ini terdapat pohon yang menghalangi angin yang mulai bertiup kencang bersamaan dengan suhu udara yang kian menusuk. Kami pun memutuskan segera membangun tenda. Lokasinya seperti private camp karena hanya ada tenda kami saja.
Selepas tenda berdiri, kami memutuskan lekas beristirahat agar besok pagi bisa mengejar matahari terbit. Rasanya dingin yang luar biasa menyelimuti dataran tertinggi di wilayah Wonosobo malam itu. Baju berlapis dan sleeping bag ternyata tidak cukup untuk menghalau suhu Gunung Bismo yang seperti membeku.
Pemandangan Tujuh Gunung dari Puncak Indraprasta
Keesokan harinya, lamat-lamat kami mendengar langkah kaki di sekitar tenda. Tandanya pagi sudah datang dan orang-orang sudah bersiap menyaksikan matahari terbit. Kami pun tak ingin ketinggalan. Kami segera mengemas barang-barang yang perlu kami bawa, mengunci tenda, lalu berangkat ke puncak tertinggi Gunung Bismo, Puncak Indraprasta.
Cahaya emas matahari pagi perlahan mulai meninggi. Suasana dingin berangsur hangat bersamaan dengan pemandangan yang makin terlihat jelas. Gunung-gunung api Jawa Tengah yang berjajar di sekitar Gunung Bismo.
Dari Puncak Indraprasta, kami bisa memandang Gunung Sumbing dan Sindoro yang begitu gagah. Di sebelah timur terdapat Gunung Prau yang memanjang. Di sudut antara ketiga gunung itu, tampak dari kejauhan Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu. Tak lupa Gunung Slamet juga terlihat di ujung barat. Tidak hanya itu, Bukit Sikunir dan Gunung Kembang pun tak absen dari sajian panorama pagi itu.
Kami melihat pemandangan berbeda tatkala mengedarkan mata ke arah Dataran Tinggi Dieng. Terdapat petak-petak ladang sayur milik penduduk setempat yang sekilas tampak menawan dan berwarna-warni.
Setelah puas menikmati puncak Gunung Bismo, kami kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan dan kemudian berkemas. Tepat pukul 10.00, kami turun gunung. Bagi kami, Gunung Bismo benar-benar meninggalkan kesan indah yang tak terlupakan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Laillia Dhiah Indriani adalah seorang penulis lepas, yang sedang menempuh pendidikan Magister di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Mari bercakap lebih dekat melalui Instagram @lailliarianiy.