Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung.

Tapi kemarin itu, saya bersama dua anak lelaki: Rean Carstensz Langie (14) dan Muhammad (10), mencoba mendaki Gunung Ciremai, Sabtu (5/10/2024). Saya ingin tahu seramai apa jalur pendakian via Palutungan, Kuningan, saat akhir pekan.

Buat Rean dan Muhammad, ini perjalanan keempat menuju atap Jawa Barat setinggi 3.078 mdpl (meter di atas permukaan laut) tersebut. Sebelumnya pernah menjajal rute Palutungan (2022), Trisakti Sadarehe (2022), dan Linggarjati (2023). Sebenarnya tim keluarga ini berjumlah empat orang. Namun, Evan Hrazeel Langie—kembaran Rean— absen karena beda waktu liburan sekolah. Ia mondok di Solo. 

Kami berangkat dari Kota Cirebon pukul 07.00 WIB, dan tiba di basecamp Cadas Poleng 1,5 jam kemudian. Baru awal tahun 2024 lalu, titik awal pendakian Ciremai via Palutungan pindah ke sentra penghasil daun bawang dan kol di ketinggian 1.180 mdpl tersebut. Jalur masuknya searah Bumi Perkemahan Ipukan. Jalan yang menanjak, angin dingin khas dataran tinggi, serta hutan pinus menjulang, menjadi “gerbang” selamat datang bagi setiap pengunjung.

Pagi itu, parkiran motor nyaris penuh. Saya gendong carrier di punggung, daypack di dada. Rean membawa ransel dan menjinjing tenda. Muhammad menyandang tas yang biasa dipakai sekolah. Di loket registrasi, para pendaki mengurus perizinan. Tiket resminya Rp50.000 per orang. Pendaki juga mengisi formulir kelengkapan perbekalan yang dibawa. Bentuk kesiapan pendakian sekaligus catatan daftar potensi sampah yang wajib dibawa turun kembali.

Kiri: Pos registrasi pendakian Gunung Ciremai via Palutungan. Kanan: Pos 1 Cigowong dan penampakan carrier “kulkas” serta daypack yang memuat perlengkapan pendakian standar. Kami rehat untuk salat dan makan siang di pos ini/Mochamad Rona Anggie

Bergerak Menuju Cigowong dan Tanjakan Asoy

Setelah berdoa, saya dan anak-anak mulai mendaki dan sampai di Pos 1 Cigowong pukul 10.36 WIB. Kami melihat ada warung baru di sana. Saat mendampingi anak lanang perdana mendaki Ciremai pada 2022, hanya ada satu warung.

“Buka Mei kemarin (2024),” kata bapak pemilik warung.

Sementara sang istri dan anak perempuannya, sibuk melayani pembeli. Ada semangka segar, gorengan bala-bala dan gehu, nasi campur serta aneka minuman. Konsumennya, ya, pengunjung yang hiking atau camping di Cigowong. 

Saya dan anak-anak selonjoran kaki sambil ngemil biskuit dan meneguk teh manis hangat. Kami menanti waktu zuhur, lantas makan siang. Suasana hutan dengan gemericik air dari sumber mata air yang dialirkan lewat pipa-pipa, menambah ritmis suasana di Cigowong. Batin terasa tenang. Pikiran lapang. Membuang segala keruwetan kota.

Perbekalan air dimaksimalkan di Cigowong. Tak ada lagi sumber air menuju delapan pos berikutnya. Pendaki mesti cermat mengatur kebutuhan minum dan memasak.

Siang itu cuaca cerah. Trek menanjak perlahan. Kami melewati Pos 2 Kuta, Pos 3 Paguyangan Badak, Pos 4 Arban, hingga memutuskan buka tenda di Pos 5 Tanjakan Asoy jelang asar, karena gerimis turun. Sebagian besar pendaki hanya rehat sejenak di Pos 5. Mereka meneruskan perjalanan dan bermalam di transit camp Pos 6 Pasanggrahan, sebelum dini hari atau paginya meneruskan pendakian ke puncak.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tempat bermalam di Tanjakan Asoy. Berharap tak ada gangguan babi hutan/Mochamad Rona Anggie

Angin Kencang dan Kabut Tebal di Puncak

Pukul 02.00 WIB kami bersiap meninggalkan Tanjakan Asoy. Kami sempatkan makan sedikit nasi liwet dan mi telur berkuah plus sereal. Penunjang tenaga selama summit attack. Setengah jam melangkah, kami sampai Pos 6 Pasanggrahan. Banyak tenda di sini. Jarak ke puncak sekitar 3-4 jam lagi.

Trek berbatu mendominasi sampai Pos 8 Simpang Apuy, persimpangan jalur Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka). Barisan pendaki dari Apuy memanjang dengan sorot lampu di kepala. Kami ada di punggungan yang berbeda, terpisah jurang dalam. 

Tanda-tanda sunrise belum muncul. Padahal pemandangan lepas ke segala arah. Area Pos 7 Sanghyang Rangkah ke Simpang Apuy adalah batas vegetasi. Tubuh pendaki leluasa dihantam angin. Tak ada lagi barisan pepohonan sebagai benteng alam.

Cuaca kurang bersahabat. Mendekati Pos 9 Goa Walet pukul 05.00 WIB, mestinya sinar terang keemasan sudah tampak di ufuk. Namun, kabut tebal mengurung. Jarak pandang terbatas. Dingin, jangan tanya. Angin menampar bagian tubuh yang tak tertutupi pelindung.

Kami salat Subuh di area datar dekat papan penunjuk Pos 9 Goa Walet. Muhammad mengeluh kedinginan. Tangannya mati rasa (kebas). Saya lepas sarung tangan dan memakaikan dobel ke Muhammad. Kami terus berjalan, hingga akhirnya sampai di titik tertinggi Jawa Barat pukul 05.30 WIB. Angin kencang dan kabut tebal merubung. Kawah Ciremai yang luas dan dalam tidak terlihat.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Berfoto di tugu triangulasi puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Alhamdulillah, tugu triangulasi puncak masih tampak dan jadi sasaran pendaki untuk dokumentasi. Angin bergemuruh. Bukan pilihan bijak membawa anak kecil untuk berlama-lama dengan kondisi demikian.

Setengah jam menanti cuaca terang, berharap kehangatan mentari pagi, tapi tak jua datang. Saya putuskan turun ketika kondisi masih fit, kaki kuat melangkah. Jangan menyepelekan ketersediaan tenaga ketika turun gunung. Keselamatan anggota tim adalah nomor satu.

Mendaki gunung bukan hanya soal bagaimana sampai di puncak, melainkan juga bisa turun dengan selamat. Kita tidak cari mati di gunung! Pendaki gunung adalah orang-orang yang menghargai hidup, dan berjuang sebaik-baiknya.

Setibanya di Pos 9 Goa Walet, cuaca belum berubah. Masih berkabut. Deras rombongan pendaki naik, bertanya, “Gimana di puncak?” Kami jawab, kabut tebal. Di Simpang Apuy, udara tidak terlalu dingin lagi. Pemandangan cerah, tetapi pancaran sinar matahari belum merata.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Pos 9 Goa Walet setelah dari puncak. Kondisi kami sehat/Mochamad Rona Anggie

Berjumpa Pendaki Wangi dan Tektok

Sambil melangkah turun, saya mengamati jumlah pendaki wanita imbang dengan lelaki. Tampilan muda-mudi itu stylish. Pendaki cewek tak lupa memoles wajah, memakai pemerah bibir dan parfum. Ini gunung atau mal, batin saya. Bawaan mereka juga lebih simpel. Tidak banyak yang membawa carrier “kulkas” (istilah ransel berukuran besar yang isinya menyimpan banyak logistik seperti kulkas). Hanya berbekal hydrobag—tas air minum minimalis—atau sekadar daypack

Tentu zaman sudah berubah. Saya ingat ketika mendaki tahun 2001 dulu, pendaki wanita dan lelaki sama kusamnya. Tak kenal dandan di gunung. Tak ada sepatu warna-warni model sekarang. Pilihannya sepatu lars tentara atau sepatu gunung yang menutupi mata kaki dan tulang kering. Pakai kupluk seadanya. 

Pas mendaki kemarin itu, kiranya hanya saya yang pakai bandana. Sepatu bergerigi Jack Wolfskin, carrier “kulkas” di punggung plus daypack di dada. Kelihatan berat, padahal ini standar perlengkapan pendakian.

Ketika sampai kembali di Pos 5 Tanjakan Asoy, jumlah pendaki tektok terlihat semakin banyak. Mereka menyandang tas sekolah. Terkaan saya hanya berbekal snack dan air mineral. Usianya masih remaja, setingkat pelajar SMP.  

Gila, pikir saya. Modal naik gunung begitu doang. Mirip rekreasi ke halaman belakang sekolah di serial Doraemon. Tak bawa tenda, jaket tebal, dan perlengkapan masak. Ada satu momen saya dapati pendaki yang tak beralas kaki alias nyeker.

Lho, ke mana sepatunya?” 

“Jebol, Pak.”

Saya merasa miris. Prihatin. Betul mereka izin di pos registrasi sekadar hiking. Atau tektok; mendaki sekali jalan, tanpa bermalam. Ada yang memang sudah biasa tektok mencapai puncak. Ada yang sekadar sampai Pos 3–Pos 5, lantas balik lagi. Tapi, ya, perlengkapan jangan disepelekan, dong. Gunung selevel Ciremai, tentu semua sepakat bukan untuk rekreasi santai ala kadarnya.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tampilan pendaki zaman now, lebih simpel dan stylish. Tampak dari model sepatu “ringan” warna-warni/Mochamad Rona Anggie

Bahaya Mendaki Tektok Tanpa Persiapan

Kita ketahui, olahraga mendaki gunung penuh risiko. Perlu pengetahuan dan keterampilan khusus, bukan semata kaki bisa jalan menanjak, dan mendakilah seenaknya. Atau sesimpel itu mungkin, ya, generasi kekinian melihat olahraga mendaki gunung. Alhamdulillah, kalau tak ada masalah. Tapi, benarkah?

“Tiap akhir pekan kami ketat mengawasi, pendaki yang sampai Pos 6 lebih dari jam sembilan pagi, kami suruh turun kembali. Tak boleh terus ke puncak,” kata Asep (25), ranger yang berjaga di shelter darurat Pos 6 Pasanggrahan.

“Pendaki tektok yang belum expert, semacam remaja-remaja itu, membuat repot. Tantangan evakuasi makin besar,” ucapnya.

Penjelasan lebih dalam saya dapat dari pengelola basecamp Palutungan yang terbilang senior, Sandi Baron (52). Menurutnya, pendaki pemula coba mendaki tektok karena pengaruh media sosial.

“Belakangan ini viral pendakian tektok. Tambah lagi komunitas trail run (lari di gunung) bermunculan. Remaja-remaja itu penasaran, mau coba. Akhirnya booming. Bisa sampai seratus orang kalau akhir pekan,” tuturnya.

Sayangnya, lanjut Mang Baron, antusiasme yang tinggi tak dibarengi persiapan serta pengetahuan yang cukup. “Beberapa pendaki (tektok) kami evakuasi karena kelelahan dan kedinginan. Bekal makanan kurang, energi diforsir,” ujarnya.

Pihak basecamp akhirnya tegas: pendaki yang mau tektok, mesti start dini hari. Batas maksimal sampai puncak pukul 12.00 WIB. “Pendaki sudah biasa tektok berangkat jam dua atau tiga pagi. Sampai basecamp lagi magrib,” kata Baron. 

Dia menyebut pendaki remaja yang coba tektok banyak berasal dari Kuningan dan Cirebon. Mereka belum punya bekal komprehensif terkait ilmu pendakian gunung. Masih sebatas terbawa apa kata teman. “Tidak memikirkan risiko sama sekali, kan bahaya. Apalagi Ciremai, tak bisa didaki setengah hari sampai puncak. Kecuali memang atlet trail run profesional,” tuturnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

Yukitakingdom 28 Januari 2025 - 19:49

Mungkin banyak perbedaan baik habitat satwa atau keasrian alam gunung ciremai, pendakian yang akhir akhir ini menjadi trend bagi pemuda pemudi di indonesia justru memiliki dampak bagai matapisau yang saling berpunggungan, kecintaan alam para pemuda belum berbanding lurus dengan upaya pelestarian alam gunung yang dilaluinya. Minimnya kesadaran akan sampah, ataupun upaya pelestarian lingkunganya harus juga ditumbuhkan sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai penikmat pemandangan, mungkin pemandangan rimbun dengan buah yang ranum bergelantungan, atau kaki seribu yang bergelinjangan di tanah menjadi pemandangan yag akhir akhir ini kita tidak bisa nikmati di alam pegunungan sekarang karena kurangnya perhatian baik para pendaki ataupun pemerintah yang ada

Reply

Tinggalkan Komentar