Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum. Berada di sebelah timur Taman Bunga Sumenep, tarif masuk yang dipatok pun terjangkau, yaitu enam ribu rupiah untuk anak-anak dan sepuluh ribu rupiah untuk dewasa.
Senin pagi (7//1/2025) aku, David, dan Ibna mengunjungi situs bersejarah itu. Kami melihat, mengamati, bertanya, dan mengabadikan beberapa momen di tempat yang menyimpan barang-barang berharga, yang kini jadi pajangan sekaligus saksi tanah Sumenep berada di tangan-tangan raja.
Museum Keraton Sumenep dibagi menjadi beberapa bagian. Ada yang boleh dikunjungi, ada juga titik-titik lain yang hanya terbuka untuk orang-orang tertentu, semisal tamu bupati. Di titik pertama, aku disambut foto raja-raja Sumenep. Aku menatap satu per satu dengan saksama lalu berhenti di foto Bindara Saud, raja ke-30 Sumenep yang memerintah selama 1750–1762.
Secuil Ingatan Raja-raja Sumenep di Masa Kecil
Di kompleks pertama yang bangunannya berseberangan dengan keraton, sang pemandu menjelaskan kisah raja-raja Sumenep serta berapa lama mereka berkuasa. Salah satu yang membuatku berdecak kagum adalah keberadaan kereta kencana My Lord yang didapat dari Sir Thomas Stamford Raffles. Menurut sang pemandu, kereta itu diberikan sebagai tanda terima kasih kepada Sultan Abdurrahman (Sultan Pakunataningrat) karena bersedia menerjemahkan naskah berbahasa Sansekerta ke bahasa Inggris.
Kereta tersebut berdiri gagah di atas karpet merah. Setiap kerangkanya masih kokoh seakan menunjukkan bahwa sejarah tidak akan pernah lapuk ditelan zaman. Selain My Lord, ruangan tersebut rupanya juga dipenuhi dengan beberapa benda berharga, seperti satu set kursi dan meja marmer dari Eropa yang ditaksir peninggalan abad XVIII. Tak jauh dari pintu masuk, sebuah mushaf Alquran terpajang dalam kaca. Menariknya, Alquran tersebut ditulis tangan dalam kurun waktu enam bulan dan memiliki panjang empat meter serta berat 500 kg.
Aku yang lahir di tanah Sumenep merasa sangat minim soal pengetahuan tentang sejarah tanah kelahiran sendiri, terutama nama-nama raja yang memerintah di daerah ujung timur Pulau Garam ini. Seingatku, terakhir kali berkunjung ke museum ini saat kelas 6 MI (setara SD) dan kemarin adalah yang kedua kalinya. Sebelum keluar dari bangunan pertama, aku sempat melihat daftar raja-raja Sumenep dan catatan-catatan penting mereka selama memegang pemerintahan.
Dari sekian banyaknya raja, ada dua nama yang hingga detik ini masih melekat dalam ingatan. Pertama adalah Ario Banjak Wide (Aria Wiraraja). Dalam catatan dia dikenal sebagai raja Sumenep yang memerintah pada 1269–1292. Keratonnya berdiri di tanah Batuputih, kurang lebih 18 kilometer dari kota. Tercatat sebagai raja pertama Sumenep, Aria Wiraraja juga memiliki peran penting dalam mendirikan kerajaan Majapahit.
Raja selanjutnya tentu saja adalah Joko Tole, sebuah nama yang mengingatkanku pada masa kanak-kanak. Joko Tole selalu menjadi dongeng di langgar sehabis salat Isya. Konon, Joko Tole dibesarkan oleh seorang empu, lantaran Potre Koneng yang diketahui hamil tanpa seorang suami diusir dari kediamannya. Semasa tidak lagi tinggal di rumah, Potre Koneng berdiam di Gua Bukit Payudan dengan hari-hari ditemani perutnya yang semakin buncit.
“Joko Tole sakti mandraguna. Dia punya kuda terbang,” memoriku terputar pada suatu malam saat guru mengaji bercerita di teras langgar. Aku yang bersandar di pilar sesekali menoleh ke jalan setapak dekat sumur, berharap bapak lekas datang menjemput. Tiba-tiba ingatan itu hilang ketika pemandu mengajak ke lokasi kedua di bagian utara.
Dari tabel daftar nama-nama raja di papan museum pertama, aku baru tahu bahwa nama asli Joko Tole adalah P. Setjoadingrat III. Keratonnya berdiri di Banasare Lapataman dan berkuasa selama 45 tahun, tepatnya pada 1415–1460. Dia tertulis sebagai raja ke-13 Sumenep yang terkenal dengan berbagai cerita dan aksi heroiknya.
Replika Kereta My Lord

Sebelum masuk ke museum kedua, aku disambut dua meriam di kanan-kiri Labang Mesem dengan moncong menganga, seperti hendak memuntahkan bola api. Kedua meriam itu hitam legam, menjelma sepasang prajurit yang bersiap menjadi penjaga sekaligus penyambut tamu paling depan sebelum wisatawan masuk ke titik museum kedua dan ketiga.
Setelah melewati halaman yang luas, terlihat cermin berukuran besar. Cermin itu menjulang tinggi dengan jelas menggambarkan apa saja yang ada di hadapannya.
“Dulu, sebelum bertemu raja biasanya berkaca dulu di cermin ini,” ucap pemandu memulai percakapan di lokasi museum kedua.
Di samping cermin itu terdapat sebuah kereta yang sama persis dengan kereta My Lord. Menurut pemandu, kereta tersebut merupakan replika dari kereta pemberian Raffles dan digunakan ketika hari-hari besar Sumenep. Kata pemandu pula, dulu kereta replika itu dibuat karena kuda tidak mau bergerak ketika dijadikan penarik kereta My Lord.
“Kudanya takut. Tidak mau bergerak,” jelasnya lalu menyilakan masuk ke ruangan pertama di museum kedua.
Dalam bangunan ini ada banyak peninggalan bersejarah yang sebagian besar berisi pusaka, seperti celurit, keris, tombak beserta lemari penyimpanan setinggi lima meter, pedang, baju besi, dan pakaian keluarga keraton yang terbuat dari kulit macan.
Di samping itu, bukti mengakarnya agama Islam di masa kepemimpinan Sultan Abdurrahman sangat kental. Hal itu terlihat dari keterlibatan Sultan Abdurrahman sendiri. Ia menulis 30 juz Alquran pada tahun 1811. Berdasarkan keterangan, raja ke-32 Sumenep itu menulisnya di atas kertas ponoragan (lontar) dengan tebal 11 cm serta memiliki berat 14 kg.
Sebelum meninggalkan lokasi kedua, di teras bagian barat pemandu menunjukkan beberapa buah arca yang dipercaya bahwa agama selain Islam pernah menjadi keyakinan di tanah Sumenep. Meski beberapa bagian terdapat kerusakan, arca tersebut berdiri kokoh dihiasi bunga lotus.

Salam Bayi dalam Kandungan
Tepat pukul 08.37 WIB aku menapakkan kaki di kediaman Bindara Saud, rumah raja ke-30 Sumenep yang kini beralih fungsi sebagai titik ketiga museum. Bangunan ini berdiri kokoh menghadap ke selatan. Temboknya tebal, sangat tebal, tidak lumrah seperti bangunan pada umumnya.
Sebelum melangkah lebih dalam pemandu terlihat merapal mantra. Kemenyan yang dibawa dari titik lokasi kedua masih tetap berada di tangannya. Bangunan itu dicat warna kuning, di depan masing-masing jendela terdapat dua set kursi serta dua pasang pakaian terpajang rapi dalam lemari kaca.
Dahulu kala bangunan ini dipercaya sebagai saksi keajaiban Bindara Saud semasih berada dalam kandungan Nyai Nurima. Peristiwa itu terjadi ketika sang ibunda sedang menunaikan salat, di luar Kiai Abdullah menguluk salam. Lantaran tak kunjung mendapat jawaban sampai salam ketiga, secara ajaib Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa sang bunda sedang menunaikan ibadah.

“Pada salam ketiga, Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa uminya sedang salat,” ucap pemandu sambil membenarkan posisi kacamatanya. Peristiwa tersebut menjadi asal mula nama Bindara Saud. Saud dari bahasa Madura nyaot atau berarti ‘menjawab’.
Pemandu bilang bangunan itu masih terjaga keasliannya. Hanya ada sedikit perubahan, seperti genting yang telah diganti, tembok yang mengelupas telah diplamir, serta ditambah penerang modern dibeberapa sudut.
Titik ketiga di museum ini merupakan bangunan paling kecil. Tak banyak barang-barang peninggalan terdahulu yang tersimpan. Hanya beberapa dengan ukuran kecil, seperti stempel kerajaan, wayang kulit, koteka, barang pemberian suku Asmat, gading gajah, lemari, serta alas kaki yang terbuat dari kayu mentaos yang digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman.
Setelah berkunjung ke tiga titik museum, pemandu tidak lagi menemani rombonganku. Ia memberi keleluasaan untuk melihat-lihat di area museum. Sebelum kembali ke tempat semula di loket pendaftaran, ia menyarankan agar kami tidak masuk ke area yang telah menjadi ketentuan.
Di kompleks museum yang dibangun oleh Louw Phia Ngo, arsitek asal Cina, kami menyusuri bagian-bagian yang masih belum disinggahi, seperti Galeri Andhap Asor dan Taman Sare yang ketiga pintunya diyakini memiliki keistimewaan. Ada kepercayaan dapat membuat awet muda, mudah mendapatkan jodoh dan keturunan di pintu pertama; lalu dapat meningkatkan karier dan kepangkatan di pintu kedua; serta dapat meningkatkan iman dan ketakwaan di pintu ketiga.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
Idola cewek-cewek Madura