Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama.

‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John Steinbeck Tikus dan Manusia menjabarkan) tak bakal kebagian Henry IV Dudognon Heritage Cognac Grande Champagne barang seciprat. Jangankan percikannya, nonton konyak ini dilelang, kalau dituang warnanya kayak apa, tak bakal tahu. Bukan konon katanya, diproduksi sejak 1776, disegel selama lebih dari seratus tahun, botol berlapis emas 18 karat, bercokol 4.100 mata berlian, dilelang seharga empat belas juta euro. Jangankan momen kelahiran, ternyata sampai kiamat nanti, orang kere hanya akan bisa memandangi orang bakir ongkang-ongkang minum konyak dengan pemandangan gunung meledak.

Esai ini tidak akan bahas konyak. Sebagai gantinya masak pae dan cake, semacam kudapan pengganjal perut yang kalau dipikir-pikir, okelah kiranya saya rekomendasikan pada raja-ratu sentero Madura yang dikebumikan di Asta Tinggi untuk bangkit dari kubur demi mencicipinya.

Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1)
Kompleks Keraton Sumenep/Putriyana Asmarani

Ajakan Mencoba Masak Pae dan Cake

Satu peleton satan yang mengisi sudut-sudut remang di bantaran kebun siwalan kota Sumenep saat itu tak bakal kaget kalau ada orang macam saya bermuram durja di tanggal tragis 13 Desember 2024. Angka tiga belas di akhir tahun, waktu yang tepat untuk menyudahi segala, tak yakin ada rebirth apalagi transformasi seperti yang diharapkan Nietzsche (bagian death of the self dalam karya Thus Spoke Zarathustra). Namun, sahabat saya A (inisial sebab saya menyayanginya dan di esai ini ada kemungkinan saya akan menodainya, he-he) sejak subuh yang basah sebab hujan memilih geram dan garang, yakin kalau saya secara simbolik (pinjam istilah ‘symbolic death’ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness) sudah binasa. 

Dalam keadaan lantak, A menceletuk, “Kamu harus nyobain campor!“

Mungkin baginya saya terlihat darurat. Butuh pertolongan pertama. Saya tak lupa pernah dengar ini dari mana, tapi senjata satu-satunya yang paling ampuh untuk melelehkan orang keras kepala adalah dengan menyenangkan perutnya. Saat itu saya sedang membalik-balik halaman disertasi Seno Gumira Ajidarma Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan dengan tatapan kosong melompong. Seolah Dajjal sudah lolos dari jeruji, lalu nangkring di pundak saya, badan saya gampang oleng sebab bumi yang saya pijak tengah gonjang-ganjing, mungkin itu yang dilihat A. 

“Madura begitu kejam padamu, baik delapan tahun yang lalu saat kau bertandang ke Pulau Bawean, berak di atas lubang jamban, sangat purba dan setelah itu kau tak berak selama tujuh hari, sekarang…,” A berhenti sejenak tanpa bernapas laiknya saktah dan dunia tak seribet ilmu tajwid, menyadari mungkin saya tak tertolong saat ini. Ia menutup kalimatnya dengan, “Madura masih kejam padamu.” 

“Kalau warungnya tutup gimana? Mengingat ini hari Jumat dan warga Sumenep adalah kaum beriman?”

“Kita dobrak sama-sama, kita pakai kekerasan,” tanggap A, lalu ia merevisi, “ada juga pilihan lain, namanya Masak Pae dan Cake, kalau ditimbang-timbang daripada campor karena mukamu itu sudah sekacau tsunami, Masak Pae dan Cake kayaknya pas untuk situasi gawat. Dengan begitu, kau bisa menghadapi bencana dengan elegan.”

Mengingat sebelum berangkat perang seorang kesatria harus memilih tunggangan terbaiknya, saya nyengir membayangkan Masak Pae dan Cake. Lagi pula, keadaan saya jauh lebih buruk dari Perang Anglo-Zulu, dengan kekuatan militer seadanya Zulu tetap melawan, mereka tahu bakal kalah menghadapi pertempuran ini. Saya tak punya optimisme. Zulu masih ada harapan kemenangan, saya berangkat untuk kalah.

Namun, A cukup berhasil. Pikiran saya yang suntuk kemelut tiba-tiba terbentang layar baru, imaji bentuk makanan semarak muncul, warna-warni santapan meriah berletupan laiknya kembang api, wanginya pun juga ikut terbayang. Bodo amat kalau tak minum konyak empat belas juta euro atau mengemut kue daulat yang hanya disajikan saat upacara pemberkahan Yang Dipertuan Agong.

Selama perjalanan, sekitar setengah jam dari Guluk-Guluk ke area Alun-alun Sumenep, A mendaras berjibun jenis makanan. Awalnya ia gigih spoiler soal campor, saya bersikukuh campor mirip soto hanya saja kecambahnya digoreng. Di titik tertentu saya memang kerap menguras kesabaran A, saya selalu berpikir kuliner Madura tak bakal menyingkur dari kuliner Jawa Timur. Malah, saya sok berpendapat kalau kuliner Madura ngikut-ngikut pola kuliner Jawa Timur.

Dari kiri ke kanan: tampilan campor yang mirip soto, sepiring bulud, dan isian sambal bulud/Putriyana Asmarani

Hal ini berlanjut ketika A membahas kudapan bulud. Saya bilang itu seperti lemper, kalau lemper isi daging ayam pakai beras ketan, bulud pakai beras punel biasa, luarnya digoreng, isiannya sambal. Pada akhirnya saya masih mengajak A baku hantam, bulud adalah lemper versi anarkis. 

A masih berperikemanusiaan yang meskipun kadang-kadang adil, ia cukup beradab, kalau tidak saya pasti sudah menelantarkan saya di tambak udang. Mau se-anarkis apapun bulud, ia tidak bisa disebut lemper. Bulud memang kudapan orang kere, bukan berarti saya berhak mengatainya. A mengaduk isi galeri, lalu memberi saya gambaran nyata versi ia bikin sendiri dan versi yang biasa dijual di pinggir jalan. Kehidupan ini memang sebuah arus, ada hulu, ada hilir. Bukan berarti bulud hanyut begitu saja mengikuti pamor lemper, tapi bulud adalah bulud, lemper adalah lemper, titik. Begitulah, kesimpulan ini digertak dengan semburan platonik. 

Dari omelan itu, A cukup patriotik untuk mengatakan, “Dan meskipun kau pulang nanti membawa cendera mata nestapa, kujamin kamu bakal kangen Sumenep.”

“Kangen tragedinya?” Saya memotongnya dengan nyeri. 

“Kangen Masak Pae dan Cake. Cintailah makanan, meskipun nantinya cuma jadi tinja. Allah lebih senang berfirman dengan menyebut sungai madu dan susu berkali-kali di kitab suci daripada mengumbar janji ketemu cowok ganteng di surga nanti.”

Seporsi Masak Pae (kiri) dan Cake khas Sumenep/Putriyana Asmarani

Kesan Pertama

A benar. A harus menjadi orang bener sebab kawannya enggak bener. Ini bukannya terdengar seperti beban, tetapi memang beban betulan. Kami tiba di jam paling terik hari itu. Musim di Madura tampaknya gampang move on, tiba-tiba gerah seolah hujan yang beringas subuh tadi tidak terjadi sama sekali.

Resto Amanis megah rebah di Jl. KH. Wahid Hasyim No. 51, Sumenep. Sebetulnya saya mengira A akan cari warung pinggir jalan, mengingat kami berdua adalah sejenis manusia yang hemat pangkal selalu miskin. Namun, saya yakin A punya alasannya sendiri, salah satunya karena penampakan saya yang sudah tak bisa dibedakan dengan banjir bandang. Ia tak bakal tega membuat saya makan diasapi rokok dari pengunjung warung pinggiran. Mungkin dalam hatinya sudah terpahat wacana, “Mampuslah dengan cara paling megah.”

Setelah itu saya meletakkan takdir di telapak tangan A. Ia dengan gesit mempelajari buku menu, gayanya seperti ibu negara. Kelakuan ini sangat A, mengingat kawannya sudah lebih remuk dari rengginang lorjuk kena bogem Hulk, hanya dengan satu tarikan napas ia siap pesan ini-itu, lengkap dengan minuman dan porsi tambahan untuk dibawa pulang. Ini pekerjaan magis, tak semua orang bisa sakti begini. Kalau ditanya mau ngapain A sepuluh tahun mendatang, ia sudah menemukan jawabannya setelah berkedip sekali. 

“Waduh, ini di luar prediksi BMKG,” ungkap A setelah pesanan terhidang. “Biasanya Masak Pae dan Cake itu jadi sepiring. Tapi kok ini dipisah?” A melirik saya, tampak khawatir jangan-jangan bakal tak sesuai dengan harapannya. 

Di muka bumi ini, saya tak tahu insan penyabar selain A, tetapi itu bukan berarti orang bisa dengan enteng cari gara-gara dengannya. A bisa saja menendang Mars keluar dari orbitnya kalau ada orang menjahilinya. Untungnya, saat itu kami kelaparan sebab sebelumnya jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat, kami hanya saling pandang sebentar merespons dua piring, saking laparnya kami bisa saja menggerogoti meja dan kursi, jadi makanan yang kami hadapi segera menghadapi eksekusi. 

Nafsu hewani sebab lapar teramat, baru kali ini, tidak menjadikan saya seperti kucing kompleks bernama Siti yang menggasak curut got dengan membabi-buta. Tiba-tiba ada semacam rem cakram, dengan perlentenya saya menciduk kuah lalu menyesapnya seperti adegan romansa berkelas. Sebentar kemudian saya tertegun.

Piring pertama, Cake, bermuatan sepotong kue kentang yang sudah dihaluskan dan dipanggang dengan suhu entahlah, karena terlihat garing di atas tapi tidak gosong di bagian bawah. Dua cabe rawit tergeletak di permukaan kue kentang. Kalau dilihat-lihat keduanya terlalu mencolok untuk rebah begitu saja di atasnya. Namun, dengan begitu kue kentang terlihat lebih berwarna seperti sepetak pasar malam di hamparan padang pasir.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar