Saya mencari bayangan untuk berlindung dari teriknya matahari. Sebentar-sebentar, saya menengok ke arah jalan untuk memastikan bahwa saya tak melewatkan bis. Maklum, saya belum tahu wujudnya seperti apa.
Modal informasi saya untuk mencari Pabrik Mie Lethek Cap Garuda yang diceritakan di Street Food edisi Asia hanya arahan dari kernet bis Transjogja. Pesannya: cari bis bersahaja yang melaju ke selatan.
Akhirnya ada yang lewat.
“Srandakan to, Pak?” Karena tak ada keterangan soal trayek di kaca depan, saya bertanya pada awak bis untuk memastikan. Takkan lucu sama sekali kalau belum apa-apa saya sudah nyasar.
“Iya, iya. Ayo naik,” jawabnya.
Dari luar, bis itu tampak tua dan butut. Di dalam ternyata sama saja. Konsisten. Bangku-bangku hitamnya banyak yang sudah bolong, tak tahu malu memamerkan jeroan berupa busa-busa berwarna kuning.
Saya duduk di samping seorang perempuan yang saya taksir sudah ibu-ibu. Tak terhindarkan, kami mengobrol dan saling bertanya soal tujuan masing-masing. Ternyata ia ke Srandakan juga, sama seperti saya. Bedanya, ia hendak pulang ke rumahnya sementara saya sedang melakukan “pilgrimage” ke Pabrik Mie Lethek Cap Garuda. Saya ke lor, dia ke kidul.
“Oh, itu yo. Entar bareng saya saja turunnya,” ujarnya ramah. “[Dari lokasi turun] bisa jalan atau naik ojek. Terkenal memang itu. Masih tradisional, pakai sapi.”
Belum berjodoh
Duduk di dekat jendela, angin semilir membuat saya terkantuk-kantuk. Namun, saya tak bisa tidur. Lengah sedikit, mungkin saya bisa kebablasan dan berakhir di terra incognita. Saya sedang tak berminat jadi Columbus.
Melihat perjuangan saya menahan daun pintu dunia mimpi, ibu di samping saya itu menyarankan untuk tidur saja. “Wah, Srandakan masih jauh, Mbak. Sampai tidur pulas lalu bangun lagi juga belum sampai,” ujarnya.
Tapi saya ngeyel. Saya arahkan mata ke jendela, menyaksikan permukiman padat dan persawahan yang terus bergerak berlawanan arah dengan laju bis. Lalu, satu per satu penumpang mulai turun. Akhirnya, lebih dari satu jam setelah saya naik bis, tibalah giliran saya. Ongkos bis itu ternyata tak mahal-mahal amat, cuma Rp15.000.
Turun bis, saya naik ojek (Rp15.000 sekali jalan, seharga bis Jogja-Srandakan) menerobos desa, melewati kebun-kebun dan permukiman, untuk ke lokasi Pabrik Mie Lethek Cap Garuda.
Dan pandangan saya nanar mendapati bahwa pabrik itu sedang tak beroperasi. Pintu-pintu kayunya tertutup rapat dan parkirannya lengang. Pengelola ternyata masih libur lebaran.
Padahal, di bis tadi saya sudah melakukan geladi resik imajiner memotret adegan-adegan seperti dalam serial Street Food edisi Asia, semisal sapi yang berjalan memutar dengan kayu di punggung; singkong yang sedang diolah menjadi tepung lalu diubah menjadi mi oleh para pekerja terampil; mi yang ditata dalam wadah-wadah khusus….
Siang itu jadi makin kelabu karena ternyata lapak makanan olahan dari mie lethek juga belum buka. Menurut bapak ojek yang mengantarkan saya, para pedagang mie lethek baru akan buka sore menjelang malam.
Akhirnya, saya kembali ke Jogja dengan perut keroncongan dan memori ponsel yang kosong melompong.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.