Perjalanan ini berawal dari ajakan rekan untuk menelusuri jejak Freemason atau Tarekat Mason Bebas di Kota Bandung. Awalnya saya ragu. Akan tetapi, karena iseng ingin bertemu salah satu mantan mason perempuan terakhir dari Bandung, saya putuskan menerima tawaran tersebut.

Kami segera memesan tiket perjalanan dari Solo ke Bandung dan sebaliknya. Rekan saya sudah menghubungi sebuah komunitas di Bandung. Salah satu anggotanya, Rizky Wiryawan, akan menemani perjalanan kami nantinya. Dia adalah penulis buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung.

Tentu beliau paham seluk-beluk Freemason dan mason perempuan terakhir di Kota Bandung yang ingin saya temui. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

Setelah perjalanan sembilan jam Solo—Bandung dengan kereta api, kami lanjutkan berjalan kaki sekitar 10 menit menuju Gedung Pakuwon untuk bertemu komunitas yang akan menemani kami. Kami saling berbagi pengalaman. Tak lama kemudian, kami dan Rizky segera beranjak keliling kota dengan moda transportasi bus wisata Bandung Tour On Bus (Bandros).

Jejak Loji Freemason di Masjid Al Ukhuwah

Tujuan pertama kami adalah Masjid Al Ukhuwah, Wastukencana, Babakan Ciamis. “Masjid Al Ukhuwah ini, dahulunya gedung Loji Freemason Sint Jan,” ungkap Rizky. Tidak lama kemudian, Kang Rizky—sapaan akrabnya—bercerita mengenai organisasi Freemason di Kota Bandung. 

Menurut dosen sekaligus kurator Museum Kota Bandung itu, kedatangan organisasi Freemasonry di Hindia Belanda dibawa oleh pejabat Belanda, di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Loji Agung merupakan sebutan bagi rumah organisasi pertama mereka di Batavia, lalu setelahnya menyebar sampai Bandung seiring bertambahnya anggota.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Tampak depan masjid Al Ukhuwah, bekas Loji Sint Jan Bandung/Ibnu Rustamadji

Hanya saja, keberadaan organisasi ini terbilang terlambat karena baru resmi berdiri pada 1890. Akan tetapi, gerakan organisasi di Bandung relatif unggul daripada kota lain. Indikator perkembangan ada pada kegiatan yang lebih intens dan keanggotaan yang makin banyak. 

“Masjid Al Ukhuwah, dulunya gedung Loji Freemasonry Sint Jan. Loji Freemason ke-13.  Jalan yang kita lalui sekarang, dahulu bernama Lodge weg,” ungkapnya.

Loji Sint Jan berdiri pada 29 Oktober 1908, dengan ketua G. Van Der Veen dan Mrs. Van Der Veen sebagai sekretaris. Tiga tahun kemudian sebuah loji baru berdiri di Jalan Banda No. 9 kini, dengan J.A.H. van Leeuwen sebagai pemimpin. 

Kejayaan organisasi Freemason di Bandung kala itu mencapai puncak ketika memiliki keanggotaan sekitar 600 orang. Termasuk yang paling banyak se-Hindia Belanda. Perlu diketahui, anggota organisasi di dalam loji tidak pernah melakukan ritual hitam seperti kabar yang banyak beredar di masyarakat.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Motif lantai di dalam Gedung Paguyuban Ngesti Tunggal Bandung. Bukti nyata keberadaan Freemason di Kota Bandung/Ibnu Rustamadji

Mereka tak ubahnya kita saat ini. Sebagai contoh, ketika mengadakan diskusi untuk mencari jalan tengah dari suatu masalah, tentu kita harus duduk bersama untuk mencapai kesepakatan. Begitu juga dengan yang mereka lakukan di dalam loji.

Selain itu mereka saling berbagi pengalaman dan keahlian demi kemaslahatan bersama dan warga sekitar. Beberapa program yang mereka hasilkan dari loji Sint Jan antara lain beasiswa untuk sekolah umum dan pendirian asrama siswa sekolah yatim piatu atas inisiatif anggota mason, L.F. van Gendt pada 1917. Sepuluh tahun kemudian program sekolah juga mendapatkan pembiayaan dari Yayasan Jan Pieterszoon Coen dari Belanda sampai dengan 1935. 

Loji Sint Jan terus bertahan menghadapi gempuran zaman. Terlebih ketika Jepang masuk ke Indonesia, para anggota sudah bersiap menghadapi perang dan menyediakan gedung loji sebagai markas Palang Merah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Anggota organisasi diburu dan ditahan di berbagai kamp interniran Jepang, salah satunya di Baros, Cimahi. Loji-loji dijarah. Ironis, tetapi memang sungguh terjadi.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Kang Rizky Wiryawan (memegang mikrofon) tengah bercerita di balik selendang keanggotaan mason/Ibnu Rustamadji

“Prajurit Jepang, sebetulnya tidak tahu-menahu dan tidak peduli tentang organisasi Freemasonry. Mereka bertindak atas dasar instruksi kaisar kala itu,” lanjut Kang Rizky.

Catatan Kang Rizky mengenai kamp interniran di Baros Cimahi mengungkapkan fakta yang mengejutkan:

“…Di Baros, kami (anggota Freemasonry) memperingati St. Jan dalam lingkungan kecil bersama orang-orang kumuh di bawah sinar bulan purnama, di suatu ladang ubi di antara barak…”

Mereka yang ditahan di kamp memperingati dengan sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya dihentikan atas permintaan sebagian anggota demi keselamatan mereka bersama. Alhasil, seluruh kegiatan terhenti sampai mereka terbebas dari kamp pascakemerdekaan.

Setelah itu loji pun tutup dan sebagian dari mereka yang masih bertahan mengadakan pertemuan dan diskusi di salah satu kediaman anggota lain. Puas mendengar cerita keberadaan Loji Sint Jan di depan masjid Al Ukhuwwah, perjalanan kami berlanjut ke lokasi berikutnya, yakni gereja Katolik di Jalan Banda No. 26.

Di sela-sela cerita, Kang Rizky menunjukkan selendang berwarna kecokelatan lengkap dengan manik-manik dan beberapa simbol Freemasonry. Selendang tersebut awalnya milik salah satu mason di Bandung. Suatu kehormatan bisa menyaksikan dan memegang secara langsung.

Geredja Katholik Bebas “S. Albanus”, Tapak Teosofi di Kota Kembang

Geredja Katholik Bebas “S. Albanus” dirancang oleh arsitek kenamaan Hindia Belanda kala itu, F.J.L. Ghijsels pada 25 Desember 1918. Ghijsels jugalah sosok yang merancang gedung Freemasonry di Batavia. Peruntukan pembangunan gedung ini mulanya sebagai Loji Teosofi Kota Bandung.

Organisasi teosofi internasional pertama kali dirintis pada 17 November 1875 dan baru diresmikan 3 April 1905. Tujuan utama mereka adalah membentuk persaudaraan universal terdiri dari unsur kemanusiaan tanpa memandang suku, ras, agama, dan warna kulit. Juga memajukan pendidikan agama, filosofi, dan ilmu pengetahuan. Organisasi teosofi di Bandung berkaitan erat dengan Freemasonry, seperti yang saya jelaskan sebelumnya.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Geredja Katholik Bebas St. Albanus dan sertifikat keanggotaan mason/Ibnu Rustamadji

“Dua organisasi ini kuat sekali tali persaudaraanya. Hadirnya Madame Blavatsky yang mengenalkan teosofi pertama ke Hindia Belanda, membuat keanggotaan Freemasonry dan teosofi meningkat pesat,” ujar Kang Rizky.

Ia menambahkan, ada satu tokoh kunci lain pendorong kesuksesan Freemason di Hindia Belanda selain Madame Blavatsky, yaitu Annie Besant. Gedung Teosofi ini berubah menjadi Geredja Katholik Bebas “S. Albanus”.

“Ada dugaan masuk dalam jaringan Geredja Katholik Bebas, yang didirikan J.I. Wedgwood pada 1904,” jelasnya.

J.I. Wedgwood merupakan mantan uskup Anglikan Inggris. Ia kemudian bergabung dengan teosofi, yang cenderung mempelajari ilmu kebatinan dan okultisme. Kepemimpinan gereja ini dipegang oleh Sinode Keuskupan Umum, yang terdiri dari dewan uskup.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Bagian dalam gereja/Ibnu Rustamadji

Pemilihan nama Albanus merujuk nama seorang Alban yang hidup di abad ke-3 Masehi. Ia terkenal sebagai penggerak Kristen pertama di Inggris dan menjadi tokoh favorit dari aliran Geredja Katholik Bebas. Meski gereja katolik, gereja ini tidak memiliki hubungan dengan gereja Roma. 

Puas mengabadikan gereja dalam beberapa frame, perjalanan berlanjut untuk bertemu salah satu anggota Freemasonry perempuan terakhir Kota Bandung.

Mason itu Bernama Soejati

“Sebelum bertemu ibunya, kita harus mampir dulu sebentar di loji co-mason ‘Hermes’ khusus untuk perempuannya,” ucap Kang Rizky seraya mengajak kami berhenti di depan sebuah rumah beraksen warna hijau, di Jalan Banda No. 18, Bandung.

Gedung “Hermes“ adalah satu-satunya loji co-mason, sebutan untuk freemason perempuan, yang tersisa di Kota Bandung. Meski jauh dari kata mewah, tetapi patut disyukuri masih ada dan terawat. Berbeda dengan loji Sint Jan untuk mason pria yang kini tidak berbekas. 

Keberadaan loji Freemason, selain sebagai tempat perkumpulan juga menjadi sarana pendidikan dan kesenian. Kesaksian Bu Soejati, mantan anggota co-mason Kota Bandung, memperkuat hal tersebut. Beliau banyak bercerita mengenai segala aktivitas mereka kala itu. Salah satunya mengenai tugas yang harus ia emban setiap tahun.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Tampak luar Loji Hermes, tempat Bu Suciyati dan co-mason perempuan lain berorganisasi/Ibnu Rustamadji

“Menjadi anggota mason itu berat, karena apa? Setiap tahun kita harus membuat karya ilmiah mengenai segala hal dengan data yang ada di perpustakaan loji,” ungkap Bu Soejati. 

Setiap tahun, masing-masing anggotanya harus membuat karya ilmiah untuk mencapai derajat keanggotaan yang lebih tinggi. Bukan sebagai ajang kepintaran semata, tetapi bekal kesiapan menghadapi perkembangan zaman.

“Kami di loji belajar dan saling bertukar pikiran. Namun, harus tahu batasan masing-masing. Ilmu yang dipahami sampai mana? Jangan memaksakan,” tambahnya. 

Ia menjelaskan alasan dari pernyataannya tersebut. Anggota Freemason merupakan orang-orang pilihan dari kalangan cendekiawan dan elit Eropa maupun Indonesia. Mereka sebelum tergabung harus memahami bahasa Inggris dan Belanda, selain bahasa daerah yang mereka kuasai. Dan tidak terikat agama, suku, dan ras. Selain itu para anggota juga diharapkan aktif di kegiatan sosial dan kebudayaan daerah. 

“Upacara pengangkatan keanggotaan memang harus sunyi. Sebagai upaya meditasi untuk mengerti arti hidup dan berpikir cara menghargai orang lain. Kuncinya ada pada diri kita sendiri, bagaimana cara memperoleh ilmu yang lebih tinggi,” jelas Soejati.

Upacara pengangkatan anggota dalam kesunyian inilah yang membuat masyarakat salah persepsi mengenai anggota Freemason, bahwa mereka menganut ajaran sesat. Sejatinya tidak demikian. 

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Soejati, co-mason terakhir di Kota Bandung/Ibnu Rustamadji

Ketika saya mengajukan pertanyaan mengenai hubungannya dengan Loji De Vriendschap Surabaya dan Le Droit Humain di Paris, Prancis, Bu Soejati menjawab memiliki hubungan persaudaraan meski terpaut jauh. “Ketua loji Surabaya dan Prancis bersaudara dengan kami. Suatu hari kita membutuhkan bantuan, mereka menyuruh perwakilannya datang ke Bandung,” jawabnya. 

Selama obrolan kami, Kang Rizky heran tidak berkesudahan. Saya pun puas akhirnya bisa bertemu Bu Soejati secara langsung dan mengobrol meski sesaat. Di akhir obrolan, beliau malah menawari kami untuk menginap dan mengobrol lebih jauh mengenai Freemason.

Sebenarnya saya juga masih ingin bercengkerama lebih lama, tetapi kami harus melanjutkan perjalanan. Kami berpamitan dan segera beranjak ke lokasi berikutnya, yakni kerkop atau makam Belanda di Ereveld Pandu, Bandung. Ada apa di sana? Adakah hubungannya dengan organisasi Freemason Kota Bandung?

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar