Desa WisataPilihan EditorTravelog

Membuat Gula Aren Secara Tradisional di Desa Wisata Lerep

Awal pertemuan saya dengan Pak Warto ini bukan langsung untuk belajar membuat atau mendengarkan ceritanya saja. Namun untuk membuat janji bahwa akhir pekan saya ingin ikut membuat gula aren ini dari proses menyadapnya sampai mengolahnya menjadi bentuk bongkahan.

Pak Warto menerima saya dengan senang hati, bahkan menyarankan saya untuk tinggal satu malam di rumahnya karena aktivitasnya dimulai sejak pagi hari. Pada hari yang sudah kami sepakati, kebetulan saya datang agak malam karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Setelah tiba di rumahnya Pak Warto, saya disambut baik oleh Pak Warto dan istrinya.

Saat saya tiba, sudah ada pisang goreng dan teh hangat manis, bisa dibilang hidangan ini sangat spesial karena cocok dengan suasana dingin pegunungan. Desa Wisata Lerep berada di kaki Gunung Ungaran yang lokasinya terletak di daerah yang tinggi. Selain itu alam di sini juga masih terjaga sehingga udara sekitarnya sangat bersih.

Ketika saya datang pun, suasana kampung Pak Warto diselimuti kabut yang tebal dengan hawa dingin yang sangat menusuk. Saya yang pada saat itu menggunakan pakaian berlapis pun masih merasa kedinginan. Malam saya habiskan untuk berbincang-bincang ngalor-ngidul tak hanya membahas gula aren saja namun berbagai hal termasuk nilai-nilai kehidupan yang beliau lalui hingga sekarang ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam dan kemudian Pak Warto menyuruh saya untuk tidur karena di pagi hari kami harus bergegas untuk mulai menyadap air nira sebagai bahan baku gula aren. 

Tepat pukul 5 dini hari, saya bergegas untuk membersihkan diri dan membantu Pak Warto mempersiapkan peralatan untuk pergi ke hutan. Ada beberapa lokasi untuk mengambil air nira ini, satu ada di kebun milik Pak Warto dan yang lainnya ada di dalam hutan. 

Proses pengambilan nira dari pohon aren

Penderes Nira via TEMPO/Aris Andrianto

Menurut penjelasan dari Pak Warto, proses pengambilan air nira ini berlangsung dua kali selama satu hari, pada pagi hari dan sore hari. Untuk hasil panen air nira pada pagi hari memang lebih banyak dibandingkan saat sore hari. Hal ini bisa terjadi karena pada malam hari udara dingin membuat air nira mengalir lebih deras. 

Selain itu pengaruhnya juga terdapat pada lingkungan pohon aren tumbuh. Jika pohon aren tumbuh di daerah yang lebih tinggi (di atas 800 mdpl) lebih banyak menghasilkan nira dibandingkan dengan pohon aren yang tumbuh di dataran rendah. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap hasil panen nira seperti tingkat kesuburan, curah hujan, serta nutrisi yang didapatkan oleh pohon aren.

Teringat saat malam hari Pak Warto bercerita bahwa beliau selalu memupuk pohon aren miliknya secara berkala. Ditambah lagi saat musim kemarau, beliau juga membersihkan pohon aren dari gulma yang mengganggu sehingga hasil panen nira yang didapatkan lebih stabil dan kualitasnya bagus. 

Pak Warto dengan cekatan naik ke atas pohon aren menggunakan tangga bambu. Bukan seperti tangga bambu pada umumnya karena hanya terbuat dari satu batang bambu yang dilubangi di beberapa titik sebagai pijakannya. 

Saya yang merasa lebih muda saja menyadari bahwa ini bukan kapasitas saya untuk unjuk gigi karena jika terpeleset sedikit saja, mungkin sudah digotong beramai-ramai oleh warga.

Dari bawah terlihat bambu yang diikat di pangkal bunga aren sebagai tempat untuk menampung nira yang sudah disadap. Ukurannya lumayan besar dan perkiraan saya bisa menampung hingga 15 liter air nira. 

Air nira yang didapatkan oleh Pak Warto diturunkan menggunakan tali yang kemudian saya raih dan pindahkan ke jeriken yang kami bawa. Cukup banyak air nira yang kami dapatkan, setidaknya ada 10 liter lebih air nira, itu saja masih dalam satu pohon, belum dari total 5 pohon yang dimiliki oleh Pak Warto. 

Berlanjut ke pohon-pohon selanjutnya masih dengan proses yang sama, namun untuk ukuran pohon arennya tidak terlalu besar dibandingkan saat pertama kali kami mengambil nira. Pohon aren di dalam hutan memang lebih sulit untuk dipanjat, selain karena kontur tanahnya yang miring, juga karena semak-semak lain yang mengganggu. 

Sampai pukul 9 pagi kami baru selesai mengambil nira dari pohon milik Pak Warto. Total nira yang kami dapatkan sekitar 55 liter yang terbagi menjadi 4 jerigen kecil. Mulanya Pak Warto ingin membawa semua jerigen tersebut sendirian. Namun karena harga diri, saya tak ingin menjadi beban Pak Warto atau membiarkan tubuh tuanya membawa jerigen tersebut sendirian. 

Sesampainya di rumah Pak Warto, kami disambut oleh istrinya yang ternyata sudah menyiapkan camilan dan teh hangat untuk disantap. Tak berselang lama, istri Pak Warto langsung membawa jerigen-jerigen berisi nira tadi ke bagian dapur untuk diolah menjadi gula aren. 

Proses memasak nira menjadi gula aren

Pembuat Gula Aren via TEMPO/Kink Kusuma Rein

Menurut Pak Warto, satu kilogram gula aren dihasilkan dari 5-6 liter nira saat musim kemarau. Ketika musim penghujan, satu kilogram gula aren bisa dihasilkan dari 7-8 liter nira. Hal ini berkaitan dengan rendemen nira lebih rendah dibandingkan saat musim kemarau. 

Nira yang sudah didapatkan memang harus segera diolah karena nira aren mudah menjadi masam. Hal ini berkaitan dengan kandungan gula di dalamnya yang mudah terfermentasi oleh bakteri. Jika sudah masam, maka pengaruhnya pada rasa gula aren yang dihasilkan juga akan menjadi masam.  

Tungku perapian yang sudah menyala dengan wajan besar di atasnya siap mengolah nira menjadi gula aren. Butuh waktu selama 4-5 jam hingga warna niranya menjadi kecoklatan. Selama proses pemanasan ini harus diaduk secara berkala agar gula arennya tidak gosong. Selain itu akan ada buih-buih yang keluar ketika nira sudah mendidih, bagian ini yang harus dibuang agar warna nira tidak menghitam. 

Setelah dirasa cukup mengental dan tekstur nira yang sudah sesuai, istri Pak Warto kemudian menyiapkan wadah-wadah sebagai cetakan gula aren yang terbuat dari batok kelapa. Selanjutnya gula aren akan diangin-anginkan hingga mengeras dengan sendirinya. 

Mencicipi Kopi Ceplus

Kopi Ceplus Lerep
Kopi Ceplus Lerep/Deta Widyananda

Di Desa Wisata Lerep memiliki keunikan untuk menikmati secangkir kopi hitam yaitu dengan potongan gula aren. Gula aren ini bukan untuk dimasukkan ke dalam kopi sebagai campurannya, namun ada cara tersendiri untuk menikmatinya. Namanya adalah kopi ceplus, seni menyeruput kopi hitam bersama gula aren yang nikmat. 

Caranya dengan menggigit gula aren sedikit kemudian menyeruput kopi hitam secara pelan-pelan. Rasa kopi hitam yang agak pahit dan rasa manis dari gula aren bercampur menjadi satu di dalam mulut. Rasanya sungguh nikmat dan pengalaman ini tidak bisa didapatkan di tempat lain selain di Desa Wisata Lerep. Saya pun baru pertama kali merasakan sensasi ngopi yang enak selain di kafe modern.

Pengalaman yang saya dapatkan kali ini mulai dari mengambil nira sampai mengolahnya menjadi gula aren memang sangat berharga. Apalagi dengan sambutan hangat dari keluarga Pak Warto yang menganggap saya sebagai anaknya sendiri juga menjadi pengalaman hidup yang mengesankan.

Tidak ada sepeserpun uang yang saya keluarkan selama saya belajar membuat gula aren tersebut. Karena memang Pak Warto enggan menerima uang pemberian saya, bahkan saat pulang pun mereka masih membekali saya dengan berbagai hasil bumi dan gula aren yang kami buat sebelumnya. 

Hal itulah yang membuat saya semakin tersadar bahwa kebahagiaan kecil mereka bukan diukur dari seberapa banyak harta yang mereka punya. Namun dari ilmu yang berguna untuk diajarkan kepada orang lain lebih berharga dari apapun. 

Nico Krisnanda seorang anak biasa yang punya mimpi besar, untuk tetap bernapas dan bisa membantu orang di sekitarnya menjadi tokoh-tokoh penting dunia!

Nico Krisnanda seorang anak biasa yang punya mimpi besar, untuk tetap bernapas dan bisa membantu orang di sekitarnya menjadi tokoh-tokoh penting dunia!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *