Niat berkemah di Bukit Menumbing kandas. Izin tak diberikan pihak pengelola kawasan sebab peraturan yang tidak kami ketahui. Alasan rasional yang dapat diterima, Bukit Menumbing adalah tempat strategis—pengasingan tokoh nasional di masa pergolakan politik—sekaligus tempat aset berharga berada.
Saya dan Abid menjangkau Bukit Menumbing dari Parittiga. Mengandalkan mobil tumpangan secara estafet, sore itu kami tiba di muka gerbang kawasan setelah menaiki mobil terakhir. Saat turun, di muka gerbang kami disambut sekelompok pemuda desa yang menawarkan tumpangan.
Awalnya kami tolak karena mengira Menumbing dapat diakses dengan jalan kaki. Namun lantaran kondisi fisik yang lelah dan usulan Abid yang sedikit memaksa, saya mengiyakan tawaran tersebut. Lalu, seseorang yang saya anggap ketua kelompok mengutus dua orang plus motor untuk mengantar kami.
Sesaat kemudian, saya bersyukur mengatakan setuju. Sebab, jarak perjalanan cukup jauh dan memerlukan 10 menit waktu tempuh. Itupun baru sampai di pos jaga. Di sana kami berhenti dan bernegosiasi perihal izin kemah yang berujung kecewa, tapi masih bisa berkunjung untuk sekedar melihat-lihat.
Tanpa berlama, tas ransel diletakkan di pos jaga. Saya, Abid dan dua pemuda lekas gegas menuju Puncak Menumbing. Dihitung kembali, perjalanan saat itu membutuhkan waktu tempuh 15 menit. Tentu tak terbayang jika kami benar-benar jalan kaki. Tak lama setelah itu, kami tiba di puncak.
Di sana saya melihat jelas bangunan klasik pesanggrahan yang dahulu pernah ditempati Soekarno dan tokoh lainnya saat diasingkan Belanda. Di dalam pesanggrahan terlihat mobil klasik berplat BN.10 dan foto-foto lawas terpampang rapi. Namun saat itu kawasan telah tutup, dan kami tak bisa masuk.
Terus ke bawah, saya bertemu patung Hatta dengan sebuah tulisan di epitafnya. Selang itu, salah satu pemuda mengajak kami melihat lubang yang konon dibangun pada masa penjajahan Jepang. Letaknya tak jauh dari pesanggrahan, cukup menuruni tangga yang menurut saya tak karuan dan curam.
Setelah cukup puas di Menumbing, dan mengingat rencana yang gagal, kami memilih turun bersama pemuda desa tersebut. Singgah mengambil tas ransel, kemudian turun ke gerbang semula tempat pemuda desa tengah duduk santai menunggu kawannya, termasuk kami kali ini. Mereka yang awalnya kami curigai secara spontan, ternyata adalah orang-orang baik yang berusaha beramah-tamah pada kami—para pelancong.
Dari sana kami diajak ke Desa Air Belo, tempat mereka bermukim. Hal ini di luar harapan, sebab dalam perjalanan kami sempat mendengar rumor tentang warga masyarakat daerah yang sedang kami singgahi. Tersentak perasaan negatif, saya langsung menimpali dengan pikiran positif. Akhirnya terjawab saat tiba di desa, mereka justru memberi usulan masuk akal pada kami agar berkemah saja di sepanjang Pantai Tanjung Kalian.
Tak lama setelah itu, ketua kelompok menginstruksikan dua orang temannya mengantar kami ke Pantai Tanjung Kalian. Di sana kami berpisah dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan-kebaikan mereka.
Mercusuar Tanjung Kalian
Usai berpisah dengan dua pengantar—pemuda Desa Air Belo. Kami dihadapkan pada Mercusuar Tanjung Kalian. Mengamati sejenak, lalu sepakat masuk ke dalam sekadar melihat. Di dalam kami malah disambut oleh seorang penjaga yang kemudian diketahui namanya, Pakde Wagiran.
Dari perkenalan singkat itu, Pakde Wagiran lantas mengenalkan kami kepada seorang mantan angkatan yang saya lupa dari kesatuan mana, sekaligus mengusulkan izin bermalam di kawasan mercusuar ketimbang di luar.
Setelah menjelaskan panjang lebar tujuan, bapak angkatan akhirnya mengizinkan kami bermalam di kamar bagian utara bangunan. “Penghuni di sana tengah ke luar kota dalam waktu lama,” ujarnya.
Kabar baiknya, bapak angkatan pun mengizinkan kami jika esok hendak naik ke mercusuar untuk menyaksikan tampakan pantai dan dermaga bersejarah bekas atmosfer Perang Dunia (PD) ke-II pernah berkecamuk.
Malam yang bersahabat, kami berkumpul hangat di beranda kediaman bapak angkatan. Di sana kami diajak makan bersama dan bercerita panjang mengenai pengalaman Pakde Wagiran, bapak angkatan dan ada satu orang lagi seorang Tionghoa yang mualaf. Hal yang kami syukuri saat itu ialah mereguk banyak sekali pengetahuan.
Saya berpikir, perjalanan tak hanya sekadar menyaksikan keelokan tampakan alam. Dibalik itu, bahkan sampai kami berada di kawasan bersejarah yaitu Mercusuar Tanjung Kalian yang dibangun dengan gaya arsitektur Inggris oleh kolonialis Belanda pada tahun 1862. Peristiwa ini adalah agenda tanpa rencana yang banyak memberikan pelajaran.
Jika ditilik lagi, letak Tanjung Kalian berada di Kecamatan Muntok, Bangka Barat. Secara geografis memang di ujung barat, tetapi wilayah ini adalah pintu masuk Pulau Sumatra-Bangka Belitung. Sebab bersebelahan dengan pelabuhan yang terhubung ke Tanjung Api-api di Sumatra Selatan.
Sementara itu, mercusuar ini berfungsi sebagai menara pandang dan rambu-rambu bagi kapal yang akan merapat atau melintas. Tinggi menaranya kira-kira 65 meter, memiliki warna merah-putih. Kerja terberat sekaligus keharusan karena menyangkut khalayak adalah mengganti bohlam lampu jika mengalami kerusakan.
Berdasarkan informasi saat itu, lampu mercusuar akan hidup pada pukul 17.00 WIB dan mati di jam 06.00 pagi WIB. Disela-sela obrolan, Pakde Wagiran turut menceritakan sebuah kabar yang konon salah satu pohon sukun di kawasan Mercusuar Tanjung Kalian ini pernah ditanam oleh Soekarno kala ia berada di Muntok, Bangka Barat.
Peristiwa Perang Dunia ke-II
Keesokannya di pagi hari yang cerah, saya dan Abid naik ke atas Mercusuar Tanjung Kalian. Sekaligus melepaskan rasa penasaran, bagaimanakah rupa bangunan tua tersebut. Dari pintu masuk menara, saya sudah dibuat bergidik suasananya.
Memerlukan waktu 20 menit untuk sampai ke puncak. Seharusnya bisa lebih cepat, tetapi kami menyelingi dengan berswafoto dan mengamati detail seluk-beluk bangunan yang agak kelam tersebut. Di setiap lantainya terdapat sirkulasi udara berdiameter 30 cm. Dan menurut perhitungan total bangunan ini terdiri dari 16 lantai.
Menjelang ke atas, tangga beton berganti tangga kayu. Di atas saya sudah mulai melihat cahaya muncul, dan setibanya pemandangan menakjubkan hadir. Puncak mercusuar berbentuk balkon dengan pagar-pagar setinggi 50 cm mengelilingi. Jarak untuk kami berjalan keliling balkon memiliki lebar 0,5 meter.
Dari atas saya dapat menyaksikan kapal-kapal yang hendak berlabuh, dan berlayar menuju Tanjung Api-api. Ada juga kapal nelayan kembali melaut. Di atas kebiruan laut, saya teringat peristiwa pilu, yaitu tragedi kapal Vyner Brooke yang tengah mengangkut ribuan pasukan militer dan sipil mengungsi dari Singapura kemudian dibombardir oleh pasukan Jepang.
Beberapa waktu saya tercenung, dan merenungi kembali perjalanan yang telah lewat sambil menikmati suguhan keindahan Indonesia bagian Bangka Barat. Telah cukup puas, saya dan Abid memilih turun untuk melanjutkan eksplorasi menuju pinggiran pantai.
Kami memulai dengan menyisir bagian timur pantai kemudian menuju barat. Sepanjang menyisir saya melihat monumen penghargaan yang dibangun oleh pemerintahan Australia pada tahun 1993 sebagai bentuk memoriam tewasnya 67 perawat akibat kebengisan pemerintah Jepang.
Menilik kembali, peristiwa tersebut terjadi pada 14 Februari 1942, sekaligus sebuah tragedi Selat Bangka lantaran turut menewaskan ribuan pengungsi. Ekor masalah ini terjadi karena imbas Perang Pasifik dan penyerangan pesawat tempur Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941, sehingga membuat suasana memanas.
Meneruskan perjalanan lebih menjorok ke bibir pantai, saya menemukan cairan aneh berwarna hitam kental dan kenyal. Cairan itu tidak satu-dua, melainkan banyak sehingga terbilang mencemari pantai. Saya coba tusuk dengan kayu, tampak berminyak dan berbau. Kami mengira-ngira cairan itu adalah minyak mentah yang berasal dari kapal tongkang di tengah laut sana.
Benar saja, setelah memvalidasi dengan ibu-ibu penjual ketika kami merehat untuk menikmati kelapa muda dan makanan khas Bangka yaitu otak-otak. Ibu itu membenarkan bahwa belakangan memang maraknya aktivitas kapal-kapal tongkang yang mengangkut minyak bumi di lepas pantai Selat Bangka.
Naas sekali, pantai seindah itu dicemari oleh hasil alam negeri sendiri. Bahkan saya sempat bertanya-tanya, siapakah yang diuntungkan di sini? Hasil ceracau kami—siklus minyak diambil dari Indonesia, lalu dibawa ke negara-negara tetangga untuk diolah. Kemudian olahan tersebut dibeli kembali oleh Indonesia.
Hari ini adalah hari terakhir kami. Dan saya akan berpisah dengan Abid. Sementara ia akan menyeberang ke Sumatra Selatan meneruskan perjalanan ke Lampung dan kembali ke Bogor. Saya akan meneruskan ke Pangkal Pinang dan meneruskan ke Belitung lalu kembali ke Jakarta.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.