Berawal dari pertemuan singkat saat sore di Kampung Buku, seorang yang baru kukenal sore itu mengajak untuk menyaksikan pameran seni di Riboko, sebuah kafe di Makassar. Saya berangkat lepas Magrib, lebih lama daripada teman-teman lain yang pergi lebih awal. Jarak rumah saya ke Riboko cukup dekat, tetapi malam itu saya menghabiskan waktu nyaris 15 menit berkendara. Biasanya cuma 5—10 menit saja.
Perlu usaha yang cukup keras untuk menemukan kafe ini, sebab lokasinya di dalam lorong kecil yang diapit bangunan ruko dua lantai. Penanda mudahnya adalah lorong ini terletak persis sebelum plang toko “Kaku Food”. Saya ditemani oleh Kak Yaya, seorang teman di salah satu komunitas. Rencananya kami akan mengikuti lomba dalam rangka perayaan 17 Agustus tepat setelah berkunjung ke pameran.
Tidak begitu banyak motor yang terparkir begitu kami tiba. Namun, saya mengingat empat orang berwajah yang tak asing, orang-orang yang kutemui di Kampung Buku tadi. Saat saya tiba, orang-orang sudah berkumpul membentuk setengah lingkaran. Seorang lelaki berpostur agak tinggi dengan janggut keriting panjang berdiri paling ujung. Penampilannya cukup mencolok dengan kepala plontos dan memakai topi snapback.
Saya langsung bergabung ke dalam rombongan. Ada Kak Cakke dari Kampung Buku dan sekitar empat orang magang lainnya. Saat saya datang, Faisal Syarif sedang menjelaskan tentang karya pertama, ‘“Inner Landscape”—sebuah karya dengan media cat akrilik di atas kanvas—dari total empat karya dalam pameran The Silent Text. Keempat instalasi karya seni Kak Ical, sapaan akrabnya, merupakan metafora dari proses tumbuh seorang manusia ketika terjebak dalam situasi yang berat. Dalam pameran ini, sang seniman banyak terinspirasi dari situasi sosio-kultural masyarakat Indonesia sewaktu pandemi Covid-19 kemarin.
Keempat karya itu bisa dinikmati satu per satu dengan berurutan. Karya ini menempel pada dinding secara berurutan. Mulai dari sisi kanan lalu berkeliling dan berakhir pada karya terakhir di sisi paling kiri. Malam itu kami cukup beruntung sebab kami ditemani Kak Ical, sang seniman itu sendiri.
Karya-Karya dalam Pameran The Silent Text
“Inner Landscape” terdiri dari enam kanvas yang disusun dua kolom. Tidak begitu besar, tetapi kanvasnya terpasang presisi, indah, dan sangat cocok dengan karya abstrak senimannya. “Inner Landscape” hanya menggunakan warna-warna monokrom. Tanda bahwa karya ini banyak lahir dari momen-momen kontemplasi senimannya, sehingga menggunakan warna-warna skala abu-abu yang terbatas. Namun, hal itu justru membuat saya, sebagai penikmatnya, tenggelam cukup jauh dalam pikiran saya seiring menikmati karya ini. Guratan kuas yang abstrak justru membuat orang-orang yang melihat karya seni ini semakin bebas berinterpretasi, sebagaimana tujuan dari seni abstrak itu.
Kak Ical bercerita, “Karya ini saya buat sebagian besar di malam hari. Saya membuat karya ini dengan banyak berkontemplasi ke dalam diri saya, juga momen-momen orang-orang terdekat sewaktu pandemi Covid-19 kemarin.”
Inner, berarti ‘ke dalam’, yang membawa para pengunjungnya untuk melihat ke dalam diri mereka lewat lukisan-lukisan abstrak tersebut. Meskipun tidak begitu memahami seni, tetapi malam itu saya cukup menikmati aktivitas memandangi satu objek statis. Sembari mendengar ide-ide di balik lukisan ini dari Kak Ical untuk waktu yang tidak sebentar.
Bergeser ke karya selanjutnya, yakni satu kanvas besar yang berjudul “Tubuh Meditatif”. Berbeda dengan karya sebelumnya, kali ini “Tubuh Meditatif” dilukis menggunakan cat akrilik di atas kanvas besar. Lukisan kedua tersebut membawa momen meditasi saat melihat lukisan ini.
Sama seperti lukisan pertama, “Tubuh Meditatif” juga menggunakan warna monokrom—hitam, putih, dan abu-abu saja. Dalam lukisan ini, guratan kuas dengan warna hitam semakin tebal di area tengah, membentuk siluet pria dari belakang. Pundaknya tampak kokoh dan lebar, sehingga saya asumsikan sebagai lelaki. Lalu di bagian pinggir kiri kanvas, saya mendapati pendekatan teknik lukis yang berbeda daripada bentuk siluet tadi.
“Dari karya sebelumnya yang hanya menggunakan warna monokrom, termasuk karya ‘Tubuh Meditatif’ ini, saya tertarik dengan satu warna kuning cerah seperti cahaya di sini,” ucap saya seraya mengarahkan telunjuk ke area yang saya maksud.
Kak Ical pun mulai menjelaskan dengan rinci dan bersemangat. “Kanvas ini sudah pernah dilukis sebelum saya timpa dengan karya sekarang. Seniman seperti kami, terkadang ada saja satu atau dua karya yang tidak selesai. Salah satunya adalah karya sebelum ini. Saat melukis ‘Tubuh Meditatif’ dan menyelesaikan sebagian besar bagiannya, saya lalu tiba-tiba berpikir untuk tidak menimpa cat dari lukisan sebelumnya. Saya biarkan saja di sana, dan jadilah karya ini.”
Ia kemudian menambahkan, “Kalau kamu melihat [lukisan] ini seperti apa?” tanyanya.
Saya terdiam sebentar, lalu menjawab, “Seperti potret manusia.”
Kak Ical mengangguk. Ia menerangkan satu-dua kalimat lagi, kemudian menutupnya dengan pernyataan bahwa sosok abstrak dalam lukisan tersebut memanglah manusia. Namun, ia berada dalam posisi salat—tepatnya duduk di antara dua sujud.
Sementara itu Yaya memberitahuku interpretasi lain. Bukan potret manusia atau manusia yang sedang dalam posisi salat. Yaya justru melihat adegan perang yang tergambarkan dari lukisan tersebut. Unik bukan? Beberapa orang dalam ruang dan waktu yang sama bisa memiliki interpretasi berbeda pada satu objek abstrak.
Kesan Pameran Pertama yang Menyenangkan
Ri’ Boko, yang berarti ‘di belakang’, merujuk dari tata letak bangunan ini. Ruang-ruang berbaginya ia mulai di halaman belakang. Sedangkan dari luar Riboko terlihat seperti bengkel atau pusat pertukangan, menjadikan lokasi pameran seni dan kafe yang cukup menyegarkan ini agak tersembunyi. Saya sudah sering mengunjungi Riboko, bahkan sebelum bergabung sebagai penulis magang di Makassar Biennale tahun ini.
Namun, pengalaman tur galeri, mendengar langsung penuturan senimannya, dan bebas bertanya dengan luwes hari ini menjadikan pengalaman pertama sebagai pengunjung pameran yang sungguh menyenangkan. Saya juga menyukai antusiasme dan pesan-pesan mendalam dalam karya-karya artistik Kak Ical.
Semua karya yang terpajang dalam The Silent Text merupakan karya tunggal Kak Ical yang telah tampil di pameran berbeda sebelumnya. Kedua instalasi karya yang lainnya, yakni “The Flow” dan “Pejuang Tangguh” juga tak kalah inspiratif. Sang seniman berhasil mengubah semen hebel, serat fiber, kain, kawat tembaga, serta dengan sentuhan cat akrilik menjadi tiruan batu-batu berbentuk alami yang mudah kita temui sepanjang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kabupaten Maros sampai Kabupaten Barru. Tidak hanya lukisan Kak Ical yang menggunakan bahan daur ulang, sebagian besar media karya-karyanya yang lain juga menggunakan bahan sisa, baik dari luar secara acak, atau pun bekas pameran sebelumnyaa.
The Silent Text membawa penikmatnya ke dalam fase perenungan yang tidak membutuhkan banyak bicara. Mulai dari kontemplasi melihat dan merenungkan bagaimana waktu-waktu sulit terjadi di beberapa tahun belakangan, berubah menjadi fase usaha dalam menemukan ketenangan di tengah gempuran masalah-masalah. Lalu berubah ke fase penerimaan, sebagaimana yang Kak Ical gambarkan dalam “The Flow”.
Sang seniman menggambarkan mengikuti arus dengan sangat baik lewat penempatan batu-batu pada medianya. Setelah menemukan ketenangan, maka bergerak sesuai aliran kehidupan merupakan suatu keniscayaan. Lalu tibalah pada karya seni terakhir, yakni “Pejuang Tangguh”. Batu menggambarkan manusia yang kuat, tetapi sang seniman dengan sengaja membuat satu lubang masing-masing pada setiap batunya. Menciptakan rongga untuk saling mengisi.
Tidak terbatas pada peristiwa pandemi Covid-19, pameran The Silent Text karya Faisal Syarif menggambarkan bahwa manusia yang tangguh tumbuh dari hal-hal yang tidak mudah. Mereka adalah orang-orang yang mampu beradaptasi dan melewati seluruh proses pembentukan yang berliku. Hari ini, saya benar-benar berterima kasih dan akan selalu mengingat momen menyenangkan saat bertemu dan bercerita, sembari melihat langsung karya seni visual yang menyenangkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.