Events

Melawan Arus Perundungan

Sekolah sebagai tempat proses belajar-mengajar, memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Melalui hal ini pula, sekolah diharapkan bisa menjadi ruang aman untuk menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik melalui proses pendidikan. 

Namun, cerita sebaliknya masih saja terjadi. Wildan, seorang siswa dari SMAN 14 Gowa, Sulawesi Selatan, mengaku sering dirundung oleh teman-teman sebayanya. Perundungan yang dialami Wildan pun bukan hanya melalui verbal, tak jarang ia juga mengalami kekerasan secara fisik. 

“Jerawatmu banyak sekali, pasti gaya hidupnya jorok! Kulitmu hitam sekali, tidak pakai skincare? Kelebihanmu itu apa, sih?” ujar Wildan, menirukan setiap perkataan orang lain yang ditujukan padanya. Perkataan kasar itu pun tidak hanya keluar dari teman di sekolahnya, beberapa diantaranya bahkan datang dari guru yang mengajar di sekolah.

Semua perkataan itu menjadi beban tersendiri bagi Wildan. Ia merasa hidup dalam lingkungan yang selalu berusaha menjatuhkannya. Di lain sisi, ia juga dituntut untuk selalu memiliki nilai yang baik pada setiap mata pelajaran di sekolah. Wildan merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Ia terpaksa harus berpura-pura tegar, sementara perasaan lemah dan rendah diri yang ia alami menginginkan semua perilaku perundungan itu bisa segera berakhir.

“Aku memilih untuk menutup ruang pertemananku dengan yang lain. Bahkan belakangan aku sadar, aku mengalami gangguan kesehatan mental. Aku sering mengalami cemas berlebih untuk sesuatu hal yang belum terjadi. Akibatnya, aku jadi sering pusing,” keluh Wildan, sambil mengingat-ingat kejadian yang dialaminya.

“Sepertinya mereka (pelaku perundungan) iri sama saya.” 

  • CREATE: Creative Youth for Tolerance
  • SMAN 14 Gowa
  • SMAN 14 Gowa

Pada satu kesempatan, Wildan mengetahui bahwa sekolahnya ikut dalam program Creative Youth for Tolerance (CREATE), sebuah program yang mengkampanyekan isu kesetaraan dan toleransi. Berangkat dari rasa ingin tahu dan keinginan untuk memperbaiki keadaan yang dialaminya, Wildan lalu memutuskan untuk bergabung menjadi salah satu peserta dalam kegiatan yang digelar oleh CREATE. 

Saat mengikuti kegiatan CREATE, Wildan tidak hanya mendapatkan pengetahuan baru mengenai toleransi, keberagaman, dan juga kesetaraan gender. Dalam banyak kesempatan, ia juga bisa bertemu dan bertukar pendapat dengan teman-teman baru dari berbagai sekolah di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, hingga Jawa Barat. Pertemuan-pertemuan itu memberikan banyak perspektif baru bagi Wildan tentang keragaman toleransi. Selain belajar melalui berbagai pelatihan pengembangan diri yang ia ikuti, Wildan pun mendapatkan dukungan dari teman-teman barunya.

“Saya tidak suka diperlakukan seperti ini, kamu mungkin tidak tahu apa yang sudah kualami di hidupku. Coba kalau kamu sebagai korban, bagaimana perasaanmu? Jadi, tolong jangan diulangi kalau kamu tidak suka diperlakukan begitu,” ungkap Wildan saat masih ada teman yang merundungnya.

Program CREATE bekerja sama dengan pihak sekolah, bersama-sama membangun pemahaman kepada para siswa terkait isu toleransi, keberagaman, dan kesetaraan gender, melalui berbagai kegiatan seperti lokakarya hingga pameran seni dengan topik terkait. Sebagai salah seorang peserta, Wildan mengaku merasa terbantu mengikuti kegiatan ini, ia pun berkesempatan mengikuti program konsultasi gratis dengan psikolog, untuk mencari tahu lebih jauh gejala yang dialaminya.

“Aku diajak untuk belajar menerima tindakan orang lain yang ada di luar kendali kita. Dari situ aku belajar, bahwa setiap orang berhak menyampaikan bahwa kita tidak suka dan tidak nyaman diperlakukan buruk seperti itu,” ujar Wildan.

“Intinya tetaplah pada kehidupan kita sendiri.”

CREATE: Creative Youth for Tolerance
Pelaksanaan Kegiatan CREATE/CREATE

Komitmen sekolah bisa dilihat dari kesiapan para guru untuk membantu siswa yang mengalami masalah. Senada dengan hal tersebut, Suriyati, wali kelas Wildan sekaligus guru seni budaya yang juga ikut menangani masalah siswa, menjelaskan bagaimana peran guru untuk berkomitmen membantu para siswa yang menghadapi masalah. 

Menurut Suriyati, selain guru Bimbingan dan Konseling, setiap wali kelas dituntut untuk bisa memberikan pertolongan pertama bagi siswa yang mengalami masalah di sekolahnya. Jika masalah yang dialami cukup besar, maka penyelesaian akan dilimpahkan ke bagian kesiswaan. “Tapi sampai saat ini yang saya dapati, dapat terselesaikan di wali kelas,” ujar Suriyati.

Para pelaku yang terbukti melakukan kesalahan pun diberikan sanksi beragam: mulai dari pemanggilan orang tua, tidak diizinkan untuk mengikuti proses pembelajaran di kelas, hingga skorsing.

Suriyati menambahkan, saat ini guru-guru juga dituntut untuk memberikan perhatian ekstra pada setiap siswa. Bersama program CREATE, para guru juga mulai mengenalkan kembali pentingnya pembelajaran toleransi, keberagaman, dan kesetaraan gender bagi siswa, dengan harapan pembelajaran toleransi menjadi nilai utama untuk siswa bersosialisasi di luar sekolah. “Guru-guru tidak hanya mengajar, bukan cuma mendidik, tapi juga perlu mengembangkan minat dan bakat siswa dengan melibatkannya ke berbagai kegiatan di luar sekolah atau kejuaraan antar sekolah lainnya,” ujar Suriyati.

Hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018 menemukan, sebanyak 41,1% pelajar di Indonesia pernah mengalami perundungan (bullying). Riset PISA yang diinisiasi oleh Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) sendiri merupakan studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Indonesia telah berpartisipasi dalam studi PISA ini sejak tahun 2000.

Dalam riset itu juga, persentase angka perundungan siswa di Indonesia pun tercatat tertinggi kelima di dunia, di bawah Filipina, Brunei Darussalam, Republik Dominika, dan Maroko. Angka siswa korban perundungan ini jauh di atas rata-rata negara anggota OECD yang hanya sebesar 22,7%.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, di sepanjang tahun 2021 saja, terjadi sebanyak 17 kasus kekerasan di dunia pendidikan yang melibatkan peserta didik dan tenaga pendidik. Kasus terbanyak adalah tawuran pelajar (10 kasus), disusul kasus perundungan (6 kasus), dan kekerasan berbasis SARA (1 kasus).

Lewat berbagai kegiatan peningkatan kapasitas yang diikutinya serta dukungan dari guru seperti Suriyati selama ini, Wildan berharap, ingin diterima di lingkungannya dengan segala kekurangan yang ia miliki. “Kekurangan ada karena kita adalah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Di sini aku ingin berkontribusi bersama CREATE untuk menyadarkan masyarakat sekitar tentang kesetaraan gender, keberagaman, dan toleransi,” tuturnya.


Konsorsium CREATE merupakan inisiasi Yayasan Hivos yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis bekerja sama dengan Rombak Media, Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFOS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dengan dukungan dari The United States Agency for International Development. Konsorsium CREATE bersama-sama membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan pluralisme dan toleransi di kalangan siswa. CREATE mengadopsi pendekatan berbasis seni dan budaya yang inovatif sebagai titik masuk mempromosikan toleransi dan pluralisme di tingkat sekolah menengah.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *