Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan untuk mengikuti salat Id hari ini tapi untuk bersiap menuju ke Pulau Kapoposang. Kami memang mempersiapkan perjalanan kali ini agar bisa menikmati Iduladha di pulau. Tahun ini ada perbedaan penetapan hari raya Idul Adha. Hari ini Sabtu, 9 Juli 2022 adalah jadwal Muhammadiyah. Sementara kami ikut keputusan Kementerian Agama, lebaran kurban dirayakan esok harinya Minggu, 10 Juli 2022.
Suasana dalam kedai sudah tak tampak seperti tempat nongkrong ngopi lagi. Lebih seperti ruang tamu yang dipakai menginap handai taulan. Berantakan, kursi-kursi yang dijadikan tempat tidur darurat dengan tas menumpuk sana sini serta plastik-plastik berwarna merah berisikan sayur dan bahan kebutuhan lain untuk membuat coto dan konro sudah kami siapkan.
Masyarakat di Kapoposang tak memelihara ternak berkaki empat. Tentu ini membuat banyak orang penasaran karena di sana tak sulit mendapatkan pakan hijau untuk berternak. Masyarakat pulau bukannya tak mencoba memelihara, namun entah kenapa binatang ternak selalu kurus, tak pernah gemuk. Padahal Pulau Pandangan yang masih satu desa dengan Kapoposang punya banyak ternaknya yang gemuk. Cukup aneh kalau dipikir. Ternak-ternak ini memakan sampah, bahkan sampah kertas atau apapun yang bisa dikunyah bakal mereka makan. Misteri tersebut sampai sekarang tak bisa dipecahkan dan memang tak dicarikan pula jawabannya. Masyarakat Kapoposang lebih memilih membeli sapi atau kambing dari luar pulau untuk hajatan nikahan atau aqiqah daripada memelihara.
Seperti untuk Idul Adha kali ini. Tiga ekor sapi diturunkan ke kapal kami sebagai persiapan kurban. Mereka diposisikan seperti layaknya baris berbaris. Pembeliannya patungan dari beberapa warga sekitar 10 juta per ekornya. Tentu tidak mudah memindahkan hewan yang bobotnya lebih dari 100 kilo. Bagian depan kapal Jolloro memang mempunyai desain terbuka hingga terlihat luas, kapal ini diperuntukkan untuk memuat barang yang cukup banyak. Kebalikan dari mobil pickup, bagian bak kosong di justru berada di depan namun penumpang berada di bagian belakang bersama juru mudi kapal.
Ada 25 orang ikut menumpang kapal. Saya lebih memilih mencari tempat di ujung depan kapal. Agak leluasa untuk sedikit rebahan. Posisi ini tentu bukan tempat favorit bagi penumpang lain karena musti berhadap-hadapan dengan sapi. Saya menerima resiko ini. Beberapa kali badan saya terdorong oleh kepala sapi. Untung saja sapi-sapi ini terikat dengan baik.
Kapal yang kami gunakan adalah kapal milik desa. Kapal kayu panjang 17 meter dan lebar 2 meter dengan mesin kekuatan enam silinder. Dari mesin hingga ukuran terbilang paling bagus dibandingkan kapal-kapal warga lain. Soal daya tempuh juga yang biasanya sekitar 6-8 jam jadi bisa dipangkas menjadi 3-4 jam saja.
Dengan kondisi perairan berombak dan diiringi hujan tipis-tipis, kami melaju pukul 5.30 pagi. Menembus sungai Pangkep lalu keluar ke laut lepas. Selama perjalanan sapi-sapi ini dituntut memiliki keseimbangan tinggi, mereka harus berdiri dan berusaha tidak terjatuh. Sesekali ada saja sapi yang kehilangan keseimbangan karena kapal diterpa ombak rasanya naik turun seperti roller coaster. Dengan susah payah si sapi kemudian bangkit, berdiri kembali. Di tengah kondisi seperti itu, sapi-sapi ini cukup tenang, atau mungkin tegang luar biasa sehingga mereka hanya terdiam saja.
3 jam berlalu, Setelah melewati Pulau Gondong Bali, Pulau Pandangan dan Pulau Kapoposang tampak mulai mendekat. Arah kapal menuju ke Pulau Pandangan, kami mampir untuk menurunkan salah satu sapi milik haji Jafar, warga Pandangan.
Sudah belasan cara dilakukan tapi belum juga bisa membuat sapi ini berniat menggerakkan kakinya untuk turun ke tepi pantai. Kerumunan orang diatas kapal sepertinya makin membuat sapi ini kebingungan. 15 menit berlalu setelah sang sapi tenang, kakinya mulai bergerak ingin berjalan. Hasrat untuk keluar dari kapal sudah mulai nampak. Dengan satu hentakan tali, sapi itu mulai mencoba meloncat keluar dari kapal. Semua bersorak lega. Kami yang di kapal semakin lega akhirnya bisa bergegas.
Kami tiba sebelum adzan Dzuhur memanggil. Air laut mulai surut kami terhenti sekitar 30 meter dari bibir pantai. Saya dan tiga orang lainnya turun berbasah ria. Air laut sama rata dengan pinggang saya. Kami memikul barang-barang yang akan diturunkan, berjalan menuju tepi pantai. Belajar dari cara menurunkan sapi di Pulau Pandangan, kami memberikan waktu agar 2 sapi yang tersisa dapat turun dengan tenang. Dengan segala kerumitan proses mengangkut sapi dari Pangkep, membawa menembus ombak hingga tiba di Kapoposang. Perayaan kurban tetap menjadi salah satu hajatan favorit orang pulau. Karena itulah momen yang sehari-harinya lauk ikan berganti dengan coto atau konro yang aromanya keluar dari tiap-tiap dapur rumah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.