Travelog

Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu

Pada 2019 silam di bulan Agustus, tekad bulat saya mengantarkan diri melancong dari Jogja ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dalam masa perjalanan, saya semacam mendapat pencerahan dari seorang tuan rumah di Lombok Barat perihal Danau Kelimutu. 

“Terletak di Kabupaten Ende. Dari Labuan Bajo kamu perlu meneruskan perjalanan menuju Ruteng, Bajawa lalu tiba Ende—tempat di mana Kelimutu berada,” tutur Bang Dodik saat saya tengah berada di rumahnya, Narmada.

Tangkapan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai
Tangkapan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai/Raja Syeh Anugrah

Tanpa berlama kata kunci “Kelimutu” saya ketik di Google dan terhamparlah sejumlah informasi. Saya terkesiap ketika melihat sepotong potret nan indah pancaran tiga warna kawah Kelimutu. Meski visual belaka, saya justru terkesima dengan deretan nama kawah danau, seperti Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Ata Polo, dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai yang bernuansa kearifan lokal sekaligus berbau sakral.

Sepercik informasi tersebut telah saya kantongi. Sesampai di Labuan Bajo, dan ketika berada di rumah salah seorang kawan lokal di Flores, saya menanyakan, “Jauh tidak letak Danau Kelimutu dari sini, Bang?” ucap saya dengan penasaran kepada Bang Abs, bikers CB Labuan Bajo.

“Oh, jauh tentu,” singkatnya. “Adakah angkutan umum untuk membawa saya ke sana atau mobil bak yang bisa menumpangkan saya?” Dengan ragu-ragu Bang Abs menjawab “Tentu,” sekaligus mengusahakan dengan mencari informasi lewat relasi teman-temannya. 

Singkatnya, sebab belum menemukan titik terang, Bang Abs berbaik hati meminjamkan motor CB-nya kepada saya. Oleh karena akan melangsungkan petualangan berikutnya, saya kembali membaca literatur ‘Kelimutu’ agar menguatkan tekad dan semangat. Sekaligus mempelajari kebudayaan lokal dan hal apa saja yang mesti dipersiapkan setiba di sana.

Sementara itu dalam beberapa artikel menyebutkan, bahwa Kelimutu berasal dari dua kata menurut bahasa setempat, yakni “keli” yang artinya gunung dan “mutu” yang artinya mendidih. Atau secara definisi, Kelimutu adalah gunung yang mendidih.

Empat Orang Kawan Saya di Ende
Empat orang kawan saya di Ende/Raja Syeh Anugrah

Menyaksikan Langsung

Sebelum Kota Ende disirami cahaya mentari pagi—bersama empat orang kawan—saya berangkat menuju Taman Nasional Kelimutu di Desa Pemo, Kec. Kelimutu, Kab. Ende menaiki sepeda motor dengan waktu tempuh kira-kira 1 jam 45 menit, dan melintasi ‘seribu kelok Flores’ di jalan Trans Ende-Maumere.

Sedikit memacu motor, tibalah kami di lapangan parkir Kelimutu yang ramai dengan warung berjejer, lapak aksesoris, dan pengunjung lintas daerah bahkan negara tengah bersiap-siap menuju puncak. Dari lapangan parkir ini kami masih perlu meneruskan perjalanan hiking selama 40 menit waktu normal. 

Akses jalan menuju objek Danau Kelimutu sudah difasilitasi undakan tangga dan jalan setapak yang cukup rapi. Selain danau menjadi tujuan utama, sepanjang jalur pendakian tumbuhan endemik pun tumbuh subur dan kicauan burung penghuni taman nasional seperti burung Garugiwa berbunyi nyaring menambah kesan bagi para pelancong.

Meski matahari terbit yang menjadi primadona tidak saya dapatkan, setidaknya saya masih bisa menyaksikan langsung wujud asli pancaran tiga warna kawah Kelimutu. Oh iya, kedatangan saya bertepatan hari kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus. Jadi sepanjang jalur saya banyak bersua dengan peserta dari pelbagai lembaga yang hendak memeriahkan perayaan tahunan di puncak Kelimutu.

Dipandu empat orang kawan, saya dibawa menuju puncak agar dapat menyaksikan rupa asli danau yang disakralkan masyarakat setempat itu. Puncak Kelimutu tidak begitu istimewa, namun dari sinilah kami leluasa memandang tiga kawah yang menjorok sedalam ratusan meter. Tertanda konstruksi monumen setinggi tiga meteran bercorak ukiran hasil buah tangan seniman. Monumen yang terletak di puncak tersebut memiliki fungsi sebagai tempat rehat wisatawan. 

Dari atas saya menyaksikan dengan lepas tiga kawah yang terpisah dan saling bersisian. Dua kawah yang bersanding, yakni Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Mbupu. Sementara kawah kecil yang letaknya cukup tersembunyi bernama Tiwu Ata Polo. 

Pertanyaan saya akhirnya terjawab ketika menyaksikan langsung gradasi warna yang berbeda pada setiap kawah, dan kita dapat membaca papan narasi yang dicantumkan pada beberapa titik. Narasi tersebut berisikan hasil riset penelitian dan investigasi yang dilakukan oleh Dr. Greyjoy Pasternack dari University of California.

Berdasarkan sejarah, Kelimutu bisa dinikmati dan dapat diakses oleh umum berawal dari sebuah penemuan berharga yang dilakukan oleh Van Such Telen, seorang berkewarganegaraan Belanda pada tahun 1915. Serta dikenal luas, tak luput dari buah tangan Y. Bouman yang memvisualisasikan keindahan lewat karya tulis pada tahun 1929.

Sejak saat itu Kelimutu mulai kedatangan wisatawan asing yang mendamba keindahan, meski bagi masyarakat setempat keindahan Kelimutu menjadi keangkeran. Keangkeran karena tiga kawahnya, memiliki dimensi lain—roh-roh yang bersemayam dan muara bagi arwah yang telah meninggal. 

Mengenai warna kawah, secara ilmiah terjadi akibat perubahan oksidasi air danau yang dipengaruhi oleh asam garam. Selain itu juga terdapat kandungan mineral, asam rendah, sulfur dan tembaga, serta memiliki gas yang dipengaruhi asam sulfat. 

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di puncak Kelimutu, kami pun turun hendak menyaksikan lebih dekat dua kawah yang berwarna kebiru-biruan dan kehijau-hijauan, kadang kemerah-merahan. Melintasi tangga kembali ke bawah, di tepi jalan, kera tak diundang menghampiri kami dengan malu malu.

Plang Kawasan Arboretum
Plang kawasan Arboretum/Raja Syeh Anugrah

Lewat Arboretum

Taman Nasional Kelimutu memiliki beragam satwa, dan yang paling umum ditemui adalah kera. Selain dari keindahan yang tiada tara. Ada hal lain yang lebih penting namun terkadang luput dari perhatian wisatawan. 

Adalah kawasan berupa “taman pohon” yang berisikan flora khas dari Kelimutu. Kawasan tersebut bernama Arboretum, yakni wilayah terpusat yang menjadi tempat budidaya 78 jenis pohon dari 36 kelompok suku di areal seluas 4,5 Ha yang difungsikan sebagai pusat penelitian, pendidikan dan kerja-kerja ilmiah.

Saya terbilang minim pengetahuan terkait tumbuh-tumbuhan. Namun terbantu ketika mendapati papan informasi yang menarasikan setiap jengkal hal penting dari luasnya Taman Nasional Kelimutu yang ditetapkan sebagai kawasan alam sejak 26 Februari 1992 meliputi lima kecamatan sekitarnya, seperti Ndona, Wolojita, Ndona Timur, Detusoko, dan Kelimutu.

Gapura Kelimutu National Park
Gapura Kelimutu National Park/Raja Syeh Anugrah

Tanpa terasa keelokan alam membawa kami kembali ke lapangan parkir yang dipenuhi sesak wisatawan. Ada yang naik dan ada yang turun. Sementara tak jauh dari tempat kami berdiri, penjaja oleh-oleh  berdiri tegak menawarkan tenunan Flores sambil menenteng kain-kain tersebut yang berupa ikat kepala, tas dan blanket.Di gapura bertuliskan “Kelimutu National Park”, saya menyempatkan berswafoto untuk mengabadikan arsip perjalanan. Matahari yang mulai terik sebelum benar-benar menyengat, ditepis dahulu lalu kami benar-benar beranjak meninggalkan kawasan Kelimutu kembali ke ‘Kota Pancasila’, Ende.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.

Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mencuri Waktu ke Kawah Kelimutu