Pesan dari Novita masuk beberapa minggu lalu, menanyakan kapan aku dan Mia punya waktu libur. Setelah waktu yang cocok diputuskan, akhirnya Rabu paginya pukul 07.00 kami melakukan perjalanan—akhirnya bisa jalan-jalan juga.
Dua minggu sebelumnya, Novita sempat bilang destinasi kami adalah Lembah Cawene di kaki Gunung Salak. Katanya, kami akan mengunjungi tempat milik sepasang suami-istri. Jujur saja, kami belum punya gambaran sama sekali tentang lokasi itu, apalagi tentang apa yang akan dilakukan di sana.
Setelah sekitar tiga jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di Pamijahan, Bogor. Rupanya Lembah Cawene berada di dalam kawasan wisata Gunung Salak Endah. Suasananya mengingatkanku pada Puncak dengan vila-vila dan pemandangan hijau yang memanjakan mata.
Melalui ponselnya, Bu Ratih mengarahkan kami menuju lokasi parkir Telaga Biru Cawene. Perjalanan membawa kami ke sebuah tempat bernama Padepokan Sangga Buana Taman Loka, dengan bangunan utama berupa pendopo. Di sana, seorang kakek dengan penampilan sederhana sudah menunggu—ternyata beliau adalah suami Bu Ratih.
Kami menaruh tas serta perlengkapan menginap di sudut pendopo. Oh, ya, Novita rupanya membawa berbagai perlengkapan masak, seperti kompor dan bahan makanan yang cukup untuk satu hari. Pendopo ini terasa luas dengan lebar sekitar sepuluh meter, dilengkapi teras dan dikelilingi pepohonan rindang. Di dekatnya ada aliran sungai yang gemerciknya menambah suasana syahdu siang itu—apalagi gerimis ikut menemani.
Namun, kesyahduan itu mendadak pudar saat aku melihat sebuah poster besar ditempel di dinding bilik bambu. Pada poster itu terpampang logo dan tulisan besar: Ikatan Dukun Nusantara (IDN).

Jawaban tentang spiritualitas di Lembah Cawene
Pertanyaan langsung menggantung di benakku: ‘Sebenarnya ini apa?’ dan ‘Kenapa Novita mengajak aku dan Mia ke tempat seperti ini?’ Keresahan mulai bermunculan. Di tengah kebingungan, lima mangkuk mi tersaji, siap menemani obrolan sore kami.
Kakek dan Bu Ratih mulai bercerita. Mereka menjelaskan tujuan mengundang Novita ke Lembah Cawene. Sementara itu, Novita serta Ari, suaminya, memperkenalkan diri mereka. Aku dan Mia hanya mendengarkan dengan bingung sambil tetap merenungkan keberadaan kami di tempat ini dan mencoba memahami apa itu IDN. Rupanya, hari itu Ki Darul yang merupakan ketua IDN dijadwalkan datang menemui kami, tetapi beliau berhalangan karena ada kegiatan lain.
Melalui obrolan ringan hingga informasi dari beberapa sumber, kami mulai memahami sedikit tentang IDN. Ternyata, IDN merupakan organisasi yang berdiri sejak tahun 2000 dengan fokus melestarikan budaya lokal. Bertempat di Desa Gunungsari, kawasan ini bahkan jadi pusat bagi pelaku budaya yang sering disalahpahami karena stigma negatif istilah “dukun.” Ki Darul sendiri pernah menjelaskan di TribunnewsBogor.com edisi Kamis (8/8/2024) bahwa istilah “dukun” dalam organisasi ini berarti duduk tekun hidup rukun, sebuah makna yang menitikberatkan pada konsistensi menjaga nilai-nilai tradisi leluhur.
Mengutip salah satu wawancaranya di InilahNews.com, Sabtu (6/2/2021), Ki Darul menjelaskan bahwa IDN tidak hanya berkutat soal hal-hal mistis atau klenik semata. Sebaliknya, IDN justru berkomitmen untuk menjadikan budaya lokal sebagai alat pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman akan kehidupan bermasyarakat serta nilai-nilai religius, seperti yang tercantum dalam Pancasila hingga filosofi luhur lainnya.
Kegiatan mereka bukanlah sekadar hal spiritual semata, melainkan juga bentuk keprihatinan terhadap makin tergerusnya tradisi bangsa. Dalam salah satu programnya, IDN berupaya menggali kembali budaya lokal untuk dijadikan sarana edukasi sekaligus sarana mempertahankan identitas nasional.

Jadi, ketika teman-teman bertanya kenapa tiba-tiba kami “main ke tempat dukun”, jawabannya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar itu. Ini bukan tentang dukun dalam makna sehari-hari yang sering dipandang sebelah mata. Di sini kami diperkenalkan kepada sebuah upaya besar untuk memelihara warisan leluhur agar tetap relevan di zaman modern, sembari menyisipkan nilai-nilai positif di dalamnya.
Menjelang senja ketika hujan mulai mereda, Bu Ratih mengusulkan agar kami mengunjungi Telaga Biru, yang letaknya tak seberapa jauh dari padepokan—hanya selemparan batu saja. Tempat ini dulu dikenal dengan sebutan Leuwi Orok, karena bentuknya menyerupai rahim ibu, dan konon sering dijadikan lokasi ritual supranatural. Orang-orang datang ke sini dengan membawa hajat atau harapan, lalu menjalani ritual mandi dengan keyakinan agar keinginan mereka terkabul.
Seiring berjalannya waktu, ritual itu ditinggalkan dan Telaga Biru kini menjadi salah satu destinasi wisata. Namun, bagi Bu Ratih, tempat ini tetap punya makna mendalam. Ia mengibaratkannya sebagai simbol awal kehidupan. Usai mandi atau berendam di sana, diharapkan tubuh dan jiwa kita terasa bersih dan segar, seperti bayi yang baru lahir.
Telaga Biru Cawene termasuk salah satu destinasi wisata baru di kawasan Gunung Salak Endah. Untuk mencapainya, dari pintu masuk kita harus menuruni sekitar seratus anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Meski sedikit menantang, perjalanan ini layak ditempuh.
Sebetulnya, yang disebut telaga ini adalah bagian dari aliran sungai kecil dengan sebuah air terjun mungil di ujungnya. Air terjun itu membentuk kolam alami dengan gradasi warna kebiruan yang memukau mata. Namun, saking dinginnya air, kami hanya mampu merendam kaki; kulit kami yang terbiasa dengan panasnya polusi ibu kota tak mampu bertahan lebih lama. Meski begitu, suasana tenang dan damai di tempat ini sudah cukup untuk menyegarkan jiwa.

Pertunjukan Cinta di Lembah Cawene
Saat malam tiba, kami duduk bersama di lantai kayu beralaskan karpet sederhana yang penuh kehangatan. Hidangan nasi liwet dengan telur dadar dan ikan sarden menjadi sajian malam yang terasa begitu istimewa di tengah kesederhanaan hidup Kakek dan Bu Ratih. Siapa sangka, di balik kehidupan mereka yang tenang dan jauh dari hiruk piruk duniawi, tersimpan cerita yang pernah penuh dinamika.
Kakek dulunya seorang dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia, sedangkan Bu Ratih adalah seorang seniman jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Kini, mereka memilih menjalani apa yang sering disebut dengan istilah slow living—hidup dalam ritme yang lebih lambat, menikmati setiap momen sederhana, dan bersyukur atas segala hal kecil.

Hari itu, aku belajar banyak sekali hal luar biasa. Mulai dari cara memaknai spiritualitas melalui kata “dukun”, betapa agungnya anugerah alam Lembah Cawene yang memperbarui energi raga dan jiwa, hingga kisah romantis pasangan sepuh ini yang begitu mencerminkan cinta sejati.
Bu Ratih merawat Kakek dengan penuh kelembutan hati, begitu pun Kakek yang tak pernah absen menunjukkan perhatian manis pada istrinya. Saat memijat pundak Bu Ratih, ia berseloroh ringan, “Ibu tidak sakit, kok, badannya. Cuma pengin nempel aja.”
Aku terdiam sejenak—dan jujur saja, aku merasa iri.
Mereka menjadi contoh nyata dari konsep cinta sejati yang dirumuskan oleh Robert Sternberg dalam Triangular Theory of Love—intimasi, hasrat, dan komitmen. Bahkan, mereka tampaknya hidup dalam apa yang bagi banyak orang adalah impian: sakinah, mawadah, warahmah—ketenteraman dalam kasih sayang yang tak berbatas.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.