Ketika saya masih sekolah dasar (SD), guru olahraga kami sering membawa muridnya ke lapangan depan Keraton Kasepuhan. Dulu, ruang terbuka itu belum populer dengan sebutan Sangkala Buana. Baru setelah direvitalisasi oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tahun 2022, warga familiar sesuai penamaan aslinya sejak abad ke-15: Alun-alun Sangkala Buana.

Peremajaan Alun-alun Sangkala Buana menghilangkan pagar besi yang mengelilinginya. Permukaan tanahnya kini dipasangi paving blok, sehingga tak lagi becek kala hujan. Secara tampilan lebih enak dipandang. Pengendara yang lewat, pasti ingin mampir walau sejenak. Sekadar jalan berkeliling atau duduk di bangku taman, sambil mencoba aneka jajanan yang berderet.

Jumat pagi (3/1/2025), saya biarkan dua bocah perempuan masuk arena mandi bola. Tempatnya di sudut lapangan di bawah rindang pepohonan. Tiket untuk satu anak Rp10.000, bebas main sepuasnya. Termasuk di dalamnya ada ayunan, perosotan, rumah-rumahan, motor dan mobil mini.

Sirkuit hot wheels yang bisa dilintasi motor kecil, menggoda Una (5) dan Alma (3) untuk menjajalnya. Mereka naik bergantian dan kemudian tertawa begitu merasakan sensasi motor mini melaju kencang menuruni ujung sirkuit. Di satu momen, setelah mencoba kesekian kali, motor yang ditumpangi Una tergelincir keluar sirkuit dan membuat pengendaranya terguling. Eh, bukannya menangis, dia melonjak kegirangan. Ketawa-ketiwi. Senang bukan kepalang.

  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak
  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak

Hasil revitalisasi Alun-alun Sangkala Buana yang satu kawasan dengan Keraton Kasepuhan Cirebon/Mochamad Rona Anggie

Terkenang Teman SD

Anak-anak diawasi ibunya. Saya memilih mengitari lapangan. Memori di kepala lantas memutar kenangan bersama teman-teman SD Sadagori 1. Bermain bola dan kasti di alun-alun era 1991–1997. Ada Bilal Ali Akbar (asli Papua), Arie Nurdian Putra, Myrdal Gunarto, Nena Tresnawati, Fitri Nurdiyani; serta Indra Yuniar Wulandari yang di kemudian hari mengandung lima anak saya.

Terbayang lincahnya Bilal menggocek dan membuat gol. Teringat Nena yang tangkas memukul bola kasti. Terkekeh-kekeh ingat Myrdal yang terpeleset jatuh. Wah, sudah tiga dekade yang lalu rupanya.

Tentunya masing-masing sudah berkeluarga dan punya anak. Sementara Pak Mulyadi—guru olahraga kami—telah pergi jauh meninggalkan kesan mendalam bagi para muridnya. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan Pak Mul dan guru kami lainnya.

Biasanya, selesai mendampingi siswa dan siswi berolahraga, Pak Mulyadi mengajak kami masuk ke Keraton Kasepuhan. Mengenalkan sejarah singkat keraton dan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap memiliki “karomah” tertentu. Pada satu kesempatan, saya dan teman-teman sampai di area pendopo nan sakral yang dulunya disebutkan tempat semadi seorang tokoh sakti murid Sunan Gunung Jati.

Ada air memancar dari pancuran di dekat pendopo. Oleh Pak Mul dan penjaga di sana, kami disuruh berwudu sambil mengucapkan cita-cita yang diinginkan. Ada sekitar sepuluh murid lelaki waktu itu. Kami bergantian menyucikan diri, dan melafalkan cita-cita luhur yang tentunya menjadi harapan orang tua di rumah. Tak disangka, tanpa janjian sebelumnya, ternyata cita-cita yang kami mohonkan semua sama: ingin jadi pemain bola! 

Ha-ha-ha! Saya bisa tertawa sendiri, kalau mengenang momen itu.

Kiri: Salah satu tempat persewaan mobil dan motor listrik di Alun-alun Sangkala Buana. Kanan: Anak-anak mengitari alun-alun dengan kendaraan listrik/Mochamad Rona Anggie

Rezeki Lebih di Akhir Pekan dan Musim Liburan

Wajah baru Alun-alun Sangkala Buana turut disyukuri mereka yang mengais peruntungan di sana. Selain wahana bermain anak, juga ada persewaan sepeda, motor dan mobil bertenaga listrik. Semuanya kendaraan mainan untuk anak kecil. Kalau orang dewasa, kan bisa naik motor atau mobil listrik betulan. Sekarang sudah banyak seliweran di jalan raya, tak perlu antre beli bensin lagi.

Salah satu “bos” persewaan mainan kendaraan listrik, Herman (18), bersyukur pada masa liburan sekolah dan perayaan tahun baru kemarin pendapatannya meningkat. Sebenarnya, anak sulung dari empat bersaudara itu hanya ditugasi sang ibu menunggui tempat persewaan. “Ibu saya lagi jualan bensin (eceran), jadi saya yang nungguin,” kata remaja yang sudah tak berayah itu.

Herman mengungkapkan ibunya membuka usaha persewaan mainan kendaraan listrik sejak lima tahun lalu. Bahkan sebelum revitalisasi alun-alun. Awalnya bermodalkan tiga sepeda listrik, kemudian melengkapi dengan motor dan mobil listrik. Kini, total memiliki 20 unit mainan kendaraan listrik.

Kalau pengunjung Keraton Kasepuhan membludak, lanjut Herman, semisal akhir pekan ada rombongan tiga bus, “armada”-nya akan kebanjiran penyewa. Anak-anak wisatawan mampir bermain, sementara orang tuanya ziarah ke Masjid Sang Cipta Rasa.  “Sehari itu kami bisa mengantongi sembilan ratus ribu,” sebutnya. “Tapi kalau lagi sepi, paling seratus lima puluh ribu,” imbuhnya.

Sejauh ini, dia menerangkan, membayar sewa tempat berusaha kepada pihak koordinator. Para pengusaha kecil di sana mengenalnya dengan istilah sewa lapak. Ibu Herman menyewa dua lapak seharga Rp50 ribu per hari, untuk memarkir mainan kendaraan listriknya di atas paving blok seluas tiga kali sepuluh meter. “Kalau malam minggu, setorannya beda lagi [jadi] Rp80 ribu,” ungkap Herman.

Harga sewa satu unit mainan kendaraan listrik Rp15 ribu selama 15 menit. Ada timer khusus penanda dimulai dan berakhirnya seorang anak bermain. Ia lebih senang jika penyewa datang dalam satu kelompok, sehingga perhitungan timer-nya mudah pula. “Mulai main bareng, selesainya bersamaan,” ujar pelajar yang menempuh pendidikan Kejar Paket itu.

Jika energi listrik motor habis, Herman segera mengisi ulang dengan cas yang ada. Sedangkan isi ulang listrik mobil, memakai setrum dari aki. Durasi mengecas sama, 60 menit. Tenaga listrik motor akan cepat habis, jika pemakainya sering memainkan gas. Sementara baterai mobil listrik mulai drop dalam dua kali penggunaan.

  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak
  • Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak

Sementara di sisi lain, di bawah pepohonan rindang, sejumlah pedagang kecil lainnya memanfaatkan tepian luar lapangan untuk membuka wahana media lukis bagi anak-anak. Tampak berjejer sejumlah kanvas lukis yang terbuat dari styrofoam ukuran 40×30 cm. Sketsa gambar kartun siap dilukis menggunakan cat warna yang telah disediakan.

Salah seorang penyedia media lukis, Heri (20), menawarkan harga per kanvas Rp10.000 sudah termasuk cat warna. “Melukisnya sampai selesai, kalau cat warna habis kami beri lagi,” ucapnya. 

Dia mengungkapkan selama liburan sekolah jumlah pengunjung melonjak dan pemasukannya berlipat. Terutama saat malam tahun baru dan libur tanggal merah 1 Januari 2025. “Lebih dari 50 anak gantian melukis dan membawa pulang kreasinya sebagai kenangan,” katanya semringah. 

Uji kreativitas lainnya di tempat Heri, ada mewarnai dan menghias celengan, yang juga bisa dijadikan buah tangan. “Sekalian mengajarkan anak gemar menabung sejak dini,” ujarnya seraya menyebutkan mulai membuka lapak pukul delapan pagi sampai malam. “Nah, sekarang kalau sore suka hujan, kadang kami tutup lebih awal,” tambahnya.

Retribusi untuk Kontribusi Kebersihan

Dihubungi terpisah, Patih Anom Keraton Kasepuhan Pangeran Raja (PR) Muhammad Nusantara menepis istilah sewa lapak di Alun-alun Sangkala Buana. Menurutnya, yang tepat adalah kontribusi biaya kebersihan dari para pedagang. Dipungut ketika mereka berjualan atau membuka usaha. “Kalau tidak jualan, ya, tidak (dipungut),” tegasnya.

Patih Muhammad tak menampik revitalisasi Alun-alun Sangkala Buana menambah daya tarik pelancong untuk datang. Mereka ingin tahu Keraton Kasepuhan, Masjid Sang Cipta Rasa, dan akhirnya bersantai di sekitar alun-alun. Berimbas positif pada perekonomian pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di seputar alun-alun.

Hanya saja, ia berharap ke depannya ada peran serta pemerintah daerah dalam penataan para pedagang, demi menjaga keindahan dan ketertiban kawasan Alun-alun Sangkala Buana. Sebab, sebagai “kiblat” wisata budaya dan religi di Jawa Barat, Keraton Kasepuhan—yang menaungi alun-alun tersebut—ingin ruang terbuka hijau itu tertata rapi.

“Titik parkir aman. Area pedagang nyaman. Pengunjung terkesan,” harapan adik kandung Sultan Sepuh XV Luqman Zulqaedin itu.

Alun-alun Sangkala Buana Cirebon yang Kini Ramah Anak
Pintu masuk Masjid Sang Cipta Rasa, warisan Sunan Gunung Jati yang berusia lebih dari lima abad/Mochamad Rona Anggie

Pentingnya Ruang Terbuka untuk Tumbuh Kembang Anak

Ummu Saffa, salah satu pengunjung yang membawa anaknya bermain di Alun-alun Sangkala Buana, menegaskan ketersediaan ruang terbuka hijau sebagai sesuatu yang sangat berharga. Terlebih di zaman perangkat elektronik atau gawai yang merangsek masuk ke dalam ruang privat (keluarga). Dibutuhkan kesadaran untuk menyaring setiap hal negatif di dalamnya.

“Saya ingin anak-anak tidak larut main hape. Mereka harus mengenal interaksi sosial di luar rumah,” tuturnya penuh semangat. 

Tempat paling pas, kata dia, ya, di lapangan yang terintegrasi dengan tempat tertentu. Kota Cirebon memiliki Alun-alun Kejaksan yang satu kompleks dengan Masjid Raya At-Taqwa dan Alun-alun Sangkala Buana yang satu kawasan dengan Keraton Kasepuhan. 

Ketika aktivitas anak tidak bergantung lagi dengan gawai, tambah dia, menunjukkan orang tua telah peduli pada tumbuh kembang buah hatinya. Anak-anak diarahkan melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat, seperti berenang, bermain bola, atau permainan tradisional macam gobak sodor, bentengan, dan lompat tali. 

“Gerak tubuh itu penting. Jangan sampai anak kita mojok aja di kamar main game. Bahaya!” ucapnya mengingatkan para ibu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar