Pulau Masela, yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, menyimpan kekayaan budaya yang begitu khas. Salah satunya adalah filosofi hidup “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, yang bermakna ‘susah senang kita tetap bersama-sama’. Filosofi ini tidak hanya menjadi semboyan yang dihafalkan, tetapi juga pedoman hidup yang menyatu dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat.

“Pela Gandong” menjadi dasar dari Limuk Limor Kweunun Kweamam dan pilar utama dalam menjalin hubungan antarkomunitas. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial yang diwarnai dengan semangat bahu-membahu dan rasa kepercayaan antarsesama.

Pela Gandong merupakan ikatan persaudaraan dan perjanjian damai yang dilakukan oleh masyarakat Maluku untuk menyatukan berbagai perbedaan. Dalam bahasa lokal pela berarti ikatan, relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain; sementara gandong berarti bersaudara, yang berasal dari kata kandung atau kandungan (Malisngorar dan Sugiswati, 2017). Bentuk nilai yang dihasilkan dari pela dan gandong inilah yang menjadi cikal bakal dari Limuk Limor Kweunun Kweamam sebagai bagian dari nilai kehidupan sehari-hari yang penuh kebersamaan.

Masyarakat Pulau Masela percaya bahwa kebersamaan adalah fondasi untuk menghadapi tantangan hidup. Dalam tradisi mereka, tak ada yang dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan. Sebaliknya, setiap individu adalah bagian penting dari komunitas besar yang saling menopang.

Filosofi Limuk Limor Kweunun Kweamam tercermin dalam berbagai kegiatan kolektif, mulai dari upacara adat hingga tradisi sehari-hari, seperti membantu tetangga tanpa perlu diminta. Filosofi ini seakan menjadi jantung budaya Pulau Masela, menjaga identitas dan cara hidup mereka tetap kokoh di tengah arus globalisasi.

“Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
Warga Desa Babyotang tengah bersantai di pesisir pantai

Makna Filosofis Limuk Limor Kweunun Kweamam

Dalam esai Wakim (2021), ungkapan Limuk Limor Kweunun Kweamam secara etimologis mencerminkan nilai budaya lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Masela. Limuk-Limor merujuk pada kondisi susah dan sengsara, sedangkan “Kweunun-Kweamam” menggambarkan kebersamaan yang erat dan saling mendukung. 

Filosofi Limuk Limor Kweunun Kweamam membuat setiap orang merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan bersama. Makna yang terkandung juga mengajarkan bahwa tidak ada yang ditinggalkan, terutama dalam menghadapi kesulitan. Masyarakat Pulau Masela selalu bergandengan tangan, saling mendukung, dan tidak membiarkan seorang pun merasa sendiri.

“Filosofi ini menjadi bagian dari kehidupan kami. Misalnya, jika ada warga yang membutuhkan bantuan atau masalah mendesak, biasanya masyarakat sekitar langsung berkumpul untuk membantu, tanpa harus diminta. Kebiasaan seperti ini sudah ada sejak dulu,” ungkap Tyjas Maylona, Kepala Desa Babyotang, Pulau Masela.

Sebagai bagian penting dari kearifan lokal, Limuk Limor Kweunun Kweamam mengingatkan kita betapa pentingnya kebersamaan dalam menjaga identitas budaya. Terutama di tengah kondisi dunia yang semakin terpolarisasi.

  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela

Tradisi-tradisi yang Berakar pada Limuk Limor Kweunun Kweamam

Salah satu tradisi yang paling mencolok dan berakar dari filosofi hidup masyarakat Pulau Masela adalah Tari Seka. Tarian ini melibatkan gerakan yang menggambarkan kebersamaan. Setiap penari saling bergandengan dan bergerak seirama. Tari Seka tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat untuk memperkuat solidaritas dan identitas budaya masyarakat.

Selain Tari Seka, ada juga tradisi Hela Tali, sebuah kegiatan mencari ikan secara gotong-royong oleh seluruh masyarakat desa yang sudah berlangsung turun-temurun. Hela Tali biasa dilaksanakan saat air laut surut sembari melihat kondisi cuaca, agar jarak tali dan daratan tidak terlalu jauh. 

Ikan yang ditangkap biasanya berupa baronang, kakap kuning, dan kerapu macan. Selain dijual untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, hasil tangkapan tersebut nantinya juga akan dibagi rata kepada masyarakat yang terlibat Hela Tali. Pembagian hasil tangkapan biasanya dilakukan setelah proses penangkapan selesai. 

Tradisi Hela Tali menggambarkan kesadaran ekologis yang sangat tinggi. Tercermin dari cara mereka mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai peraturan. Masyarakat memahami bahwa menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.

Lebih dari itu, masyarakat Pulau Masela juga memiliki tradisi adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan dan lahan pertanian. Ada aturan adat yang secara tegas melarang eksploitasi berlebihan atau perusakan alam.

Tari Seka dan Hela Tali bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan juga simbol nyata dari Limuk Limor Kweunun Kweamam. Masyarakat Pulau Masela mengajarkan pentingnya kebersamaan dalam menjaga kelangsungan hidup komunitas dan melestarikan alam sekitar pulau. Kekuatan sejati berasal dari kerja sama yang erat, sehingga segala tantangan dapat dihadapi. Mereka menyadari, dengan bergandengan tangan identitas budaya dan lingkungan hidup dapat terjaga sebagai warisan untuk generasi yang akan datang.

  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela

Kesadaran Kolektif dalam Memperkuat Identitas Budaya

Di tengah kemajuan zaman, nilai-nilai kebersamaan yang terkandung dalam Limuk Limor Kweunun Kweamam menjadi semakin penting. Meskipun modernisasi sering membawa pengaruh yang bisa mengikis tradisi lokal, masyarakat Pulau Masela berhasil menjaga identitas budaya mereka dengan menjadikan filosofi tersebut sebagai pedoman dalam hidup sehari-hari. Tak terkecuali dalam pelaksanaan upacara-upacara adat, seperti momen pernikahan, kelahiran, dan kematian. Seluruh masyarakat terlibat di setiap upacara, baik sebagai penyelenggara maupun pendukung.

Toni Walkim, kepala puskesmas yang saya ajak bicara dengan warga lainnya ketika di pinggir pantai, menguatkan itu. “Bahkan ketika ada warga yang sakit, masyarakat langsung menengok dan memberikan bantuan, baik berupa makanan, obat-obatan, atau sekadar dukungan moral. Hal ini membuat mereka yang sakit merasa tidak sendirian dan membantu mempercepat proses pemulihan.”

Selain itu, nilai-nilai Limuk Limor Kweunun Kweamam juga diterapkan dalam bidang pendidikan dan pembangunan. Masyarakat Pulau Masela bekerja bersama untuk mendukung anak-anak mereka agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi, meskipun terkadang menghadapi keterbatasan sumber daya.

Kiri: Memanggang ikan-ikan hasil tangkapan Hela Tali untuk makan bersama dengan masyarakat Pulau Masela. Kanan: Bincang santai dengan masyarakat Iblatmuntah, desa di ujung selatan Pulau Masela.

Semangat kolektif tersebut menunjukkan bahwa mereka percaya kemajuan bersama lebih penting daripada pencapaian individu. Upaya saling dukung bertujuan memastikan masa depan yang lebih baik untuk generasi berikutnya.

Tentu pengaruh budaya luar jadi tantangan yang harus dihadapi. Modernisasi berpotensi membawa perubahan dalam pola pikir generasi muda, yang terkadang membuat mereka kurang menghargai tradisi lokal. 

Namun, ada harapan besar bahwa nilai-nilai Limuk Limor Kweunun Kweamam akan tetap bertahan. Terutama dengan adanya usaha pelestarian budaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan pemerintah daerah. Pendidikan berbasis budaya juga menjadi salah satu cara untuk menanamkan filosofi tersebut kepada generasi muda, sehingga mereka dapat menghargai dan melestarikan warisan budaya mereka.

Nilai-nilai itu nantinya bakal menjadi pilar yang memperkuat identitas budaya masyarakat Pulau Masela. Semangat kebersamaan akan menguatkan mereka dalam menghadapi masa depan dengan penuh harapan, tanpa melupakan akar tradisi yang kaya dan bermakna.


Foto-foto oleh Alin Rahma Yuliani dan Hera Ledy Melindo.
Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB).


Referensi:

Malisngorar, J. dan Sugiswati, B. (2017). Pela Gandong sebagai Sarana Penyelesaian Konflik. Jurnal Perspektif, Vol. 22 No. 1 (2017): Edisi Januari. https://doi.org/10.30742/perspektif.v22i1.589.
Wakim, M. (2017). Pancasila Harus Dibathinkan: Membaca Ulang Konsep Limok-Limor Kweunun Kweamam, dalam Perspektif Budaya Masyarakat Masela Maluku Barat Daya. Direktorat Jenderal Kemdikbud, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw20/pancasila-harus-dibathinkan-membaca-ulang-konsep-limok-limor-kweunun-kweamam-dalam-perspektif-budaya-masyarakat-masela-maluku-barat-daya/#_ftn5.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar