X: “Bawa minimal empat botol besar, ya. Yang perempuan bawa tiga aja cukup.”

Y: “Kok beda? Katanya emansipasi.”

X: “Ah, emansipasi apasih … daripada nyusahin di jalan.”


Percakapan di atas sering sekali saya dengar setiap briefing sebelum pendakian gunung; tentang jumlah air minum, pilihan jalur pendakian, waktu tempuh, tempo perjalanan, ukuran tas yang digunakan, dan perihal teknis lainnya yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin.

Apa pun tujuan percakapan yang kerap diselingi humor emansipasi dan kesetaraan gender itu—entah untuk memudahkan atau justru merendahkan peran perempuan dalam kegiatan alam bebas—yang jelas akhirnya akan berujung pada perbedaan beban yang harus ditanggung selama perjalanan.

Saya tidak akan berkicau tentang definisi dari kedua konsep itu—emansipasi dan kesetaraan gender. Celoteh berikut tentang sebagian kecil “kelakar manis” kesetaraan gender dalam pendakian gunung. Lucunya, “diskriminasi” ini ditoleransi, ditertawakan dan dinikmati, serta dianggap wajar terjadi.

lelucon-seksis
Seorang pendaki perempuan memanggul keril via pexels.com/Spencer Gurley

“Jangan berat-berat, nanti turun berok”

Informasi yang bisa sangat mudah ditemukan di Google bikin lelucon ini seperti cukup logis untuk disampaikan pada perempuan. Istilah turun berok sering diasosiasikan dengan turun peranakan, yang kemudian melekat pada kodrat perempuan.

Namun, yang sering terlupakan, kondisi medis ini juga bisa terjadi pada laki-laki. Sayangnya, logika berpikir seperti ini terlampau serius untuk sebuah gurauan sebelum pendakian. Toh, kelaziman ini juga dinikmati kaum hawa dalam pendakian. Beban keril bisa lebih ringan, ‘kan?

lelucon seksis
Menelusuri jalan setapak via pixabay.com/5598375

“Pelan banget jalannya, kayak cewek aja”

Biasanya, ucapan jenis ini disampaikan sebagai gurauan penutup lelah, ketika jalur mulai menanjak, perut lapar, tenggorokkan kering, atau matahari bersinar terlalu terik.

Perumpamaan semacam ini tidak jarang membuat kaum adam tersinggung, sedangkan perempuan cukup menikmati lelucon jenis ini. Jalan pelan, dimaklumi, bahkan diajak segera beristirahat. Yang lebih aduhai, beban keril dikurangi dan dibebankan ke pendaki yang terkesan lebih kuat.

lelucon seksis
Hiking via pixabay.com/Free-Photos

“Yang bawa tenda biar cowok, cewek urus konsumsi”

Gurauan satu ini (dianggap) masuk akal sebab tugas menyiapkan makanan (dan urusan dapur, sumur, dan kasur lainnya) secara kultural lebih sering dilimpahkan pada perempuan. Biasanya, ketika rumah pendakian (baca: tenda) sedang disiapkan, secara spontan pendaki perempuan berinisiatif membuka keril, menggelar matras, dan mulai main masak-masakan.

Lelucon satu ini jelas dinikmati perempuan, karena memasak termasuk kegiatan yang kurang melelahkan; duduk, aduk, tunggu, cicip, selesai. Selain itu, kalau lokasi tidur dekat dengan sumber air, menjadi kewajiban orang yang tidak memasak untuk mengisi penuh persediaan air. Yang satu ini tentu lebih sering dikerjakan pendaki maskulin, yang (katanya) lebih kuat dan tangguh.

lelucon seksis
Menikmati pendakian gunung via pixabay.com/Mohamed Hassan

“Cewek jalan duluan, biar enggak ketinggalan”

Kicauan macam ini biasanya disampaikan oleh pendaki yang mengatur formasi perjalanan atau mereka yang sudah paham medan pendakian. Biasanya juga, peran “penyapu jalan” (sweeper) akan diemban oleh mereka.

Seharusnya, himbauan ini tidak perlu ditujukan hanya kepada perempuan. Akan lebih bijak jika seandainya himbauan itu ditujukan pada setiap pendaki yang merasa kurang mampu memahami jalur pendakian, atau yang biasa jalan pelan dan cepat kelelahan, apa pun gendernya.

Tetapi, lelucon jenis ini juga dinikmati pendaki perempuan. ‘Kan jadi punya bodyguard, pasti ada yang jalan belakangan. Kalau jalur pendakian jadi lebih berat, (mungkin) beban keril bisa dilimpahkan ke “penyapu jalan.” Wajar ‘kan?

Tentunya masih banyak contoh lelucon kesetaraan gender yang bisa ditemukan dalam kegiatan alam bebas. Contoh yang diberikan dalam tulisan ini masih cukup positif untuk bisa dianggap wajar.

Ada banyak humor seksis lainnya yang sering dilontarkan dalam pendakian, yang lebih diskriminatif namun dianggap “Ah, cuma becanda” baik oleh laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Tapi, contoh itu tidak saya masukan dalam tulisan ini, karena terlalu sensitif, menjijikkan, dan (seharusnya) tidak dinikmati oleh para pendaki perempuan sebagai bentuk canda tawa yang wajar dan biasa saja. Seharusnya, di zaman yang makin beradab ini, lelucon seksis tidak lagi dibiarkan menjadi santapan harian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar