Daratan telah dihuni oleh gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan-kendaraan berpolusi yang terkesan membosankan sekaligus melelahkan, sehingga lautan kerap kali dijadikan sebagai sisi lain bumi untuk melepas rasa lelah. Lautan juga kerap kali menjadi tempat para manusia berwisata yang katanya ingin mencari ketenangan, sebab di daratan yang ditemui cenderung hanya keramaian dan jeritan keluh yang tak berkesudahan.

Di antara biru lautan itu, terdapat fauna-fauna langka yang bisa dinikmati dengan aktivitas menyelam. Mereka adalah harta karun yang tak ternilai harganya, namun justru keberadaannya kini terancam oleh keserakahan makhluk berkaki dua yang hendak menukarnya dengan deretan angka yang tidak seberapa. Di pinggir hamparan pasir-pasir putih pantai, berhembus semilir angin yang membuat pikiran tenang, melayang-layang: tersadar bahwa hidup tak hanya sekadar cerita tentang mengumpulkan uang, tetapi juga kisah tentang keindahan alam yang perlu dikenang. Sayangnya, kini keindahan lautan itu terancam oleh keserakahan dan ketakpedulian oleh makhluk berkaki dua.

Diungkapkan oleh Lindsey Hoshaw di dalam New York Times edisi 10 November 2009, bahwa tumpukan sampah yang berserakan di Samudera Pasifik terus berlipat ganda pada setiap dekade dan dipercaya telah mencapai dua kali luas Texas. Mau diakui atau tidak, kenyataannya di tengah birunya lautan terdapat sebuah ‘pulau’ sebesar dua kali luas texas yang berupa sampah. Sialnya lagi, ‘pulau’ itu kini bisa berkali-kali lipat lebih luas dibandingkan dengan sebelas tahun yang lalu—mengingat sekarang sudah memasuki pertengahan tahun 2021. 

Lautan yang Indah
Lautan yang Indah/Akhmad Idris

Jika sudah seperti ini, ke manakah manusia akan melepas rasa lelah? Di daratan sudah terasa melelahkan sekaligus membosankan, sedang di lautan pun terasa memprihatinkan. Seyogianya jika daratan berasa di dalam neraka, maka setidaknya lautan dapat seolah menjadi surga sebagai penawarnya. Entahlah apa yang terjadi ketika di daratan dan lautan tak ada lagi bedanya. Belum lagi lautan tak hanya sekadar tempat menyegarkan pikiran, tetapi juga menjadi sumber mata pencaharian dan sumber makanan. 

Beberapa orang mengandalkan profesi nelayan untuk menghidupi anak dan istrinya yang menanti di rumah, namun ikan-ikan yang tersangkut dalam jaring maupun pancing sudah terkontaminasi oleh zat-zat kimia berbahaya yang menurut medis dapat memicu penyakit kanker. Tak hanya nelayan beserta keluarganya, beberapa hewan laut juga bergantung dengan hewan laut lainnya sebagai siklus rantai makanan yang berkelanjutan. Ikan-ikan besar memakan ikan-ikan kecil, lalu bagaimana jika semua ikan-ikan itu terkontaminasi oleh zat-zat kimia berbahaya? Bukankah sama saja mereka melakukan bunuh diri tanpa disadari?

Masih terngiang di dalam ingatan tentang kejadian penemuan bangkai ikan paus sperma sepanjang 9,5 meter dan lebar 1,85 meter di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada Senin, 19 November 2018 lalu. Bukan tentang ikan pausnya yang membuat kejadian ini membekas di dalam ingatan, tetapi tentang penemuan sampah di dalam perut ikan paus tersebut yang membuat kejadian itu begitu lekat di dalam pikiran.

Tidak tanggung-tanggung, ditemukan tumpukan sampah plastik seberat 5,9 kilogram di dalam perut ikan paus tersebut. Jenis sampahnya juga cukup ‘berwarna-warni’, mulai dari botol plastik seberat 150 gram; kantong plastik seberat 260 gram; sandal jepit seberat 270 gram; plastik keras seberat 140 gram; serpihan kayu seberat 740 gram; gelas plastik seberat 750 gram; karung nilon seberat 200 gram; dan tali rafia seberat 3.260 gram. 

Pertanyaannya sederhana saja, jika manusia akan mengalami kesakitan saat mengonsumsi sampah-sampah plastik sejenis itu (anggap saja manusia dipaksa menelan sandal jepit atau serpihan kayu), maka bagaimanakah ikan paus menanggung rasa sakit itu? Pertanyaan selanjutnya sudah jelas, siapakah yang menjadi penyebab sampah-sampah plastik itu sampai ke laut? Jawabannya juga sejatinya sudah jelas, tidak mungkin sampah-sampah plastik itu berjalan atau berenang sendiri ke laut karena sampah-sampah itu adalah benda mati. 

Artinya, ada ‘makhluk hidup’ yang membawanya ke laut, entah secara sengaja maupun secara membabi buta. Mereka yang hidup dengan egois, menganggap dirinya sebagai makhluk yang manis, padahal apatis. Mereka yang disebut ‘makhluk hidup’ itu hanya sibuk meminta dipenuhi keinginannya tanpa pernah peduli terhadap keberlangsungan alam yang memenuhi kebutuhannya. Mereka yang katanya memiliki hati, namun nyatanya hati mereka sudah lama mati, berganti dengan virus keserakahan yang terus-terusan mengembangkan diri.

Akibatnya, banyak ikan-ikan di laut dan air tawar yang dikonfirmasi telah tercemar merkuri beserta bahan-bahan kimia organik lainnya. Ironisnya lagi, ikan-ikan yang telah terkontaminasi tersebut akan berakhir di meja-meja makan untuk dikonsumsi oleh mereka yang disebut ‘makhluk hidup’. Setidaknya hubungan ini terkesan ‘adil’, mereka yang berulah dan mereka juga yang harus menanggung akibatnya. Dalam hal ini, ikan-ikan tak boleh menanggung sakit sendirian. Mereka yang disebut ‘makhluk hidup’ juga perlu merasakan rasanya sakit. 

Membersihkan sampah di laut
Membersihkan sampah di laut/Akhmad Idris

Oleh sebab itu, untuk mengakhiri hubungan yang sama-sama menyakitkan ini, dibutuhkan kesadaran bahwa keberadaan alam tak sekadar hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dilindungi. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar