“Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.”

Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang dikelilingi oleh tembok dan jeruji besi khusuk bermunajat kepada Tuhan Yang Esa. Berpasrah dan mengakui lemahnya diri adalah kunci bagi kami menjalani hari yang tersiksa oleh rindu dan waktu. Bagi negara, kami adalah penjahat yang harus disadarkan. 

Kali ini doa yang kami panjatkan berbeda dengan sebelumnya. Beberapa hari ini kami mendapat rezeki yang datang jauh dari seberang pulau, Bali. Seorang teman yang punya kegiatan berbagi nasi di Bali menghubungi saya, dia mau berbagi nasi buat teman-teman yang menjalani hidup di balik jeruji.

“Penjara adalah cerminan dari suatu negara,” kalau di negara ini masih banyak yang korupsi, tidak menutup kemungkinan hak-hak napi juga dikorup. Tapi apapun makanan harian yang diterima setiap hari wajib disyukuri, meskipun di bawah data dalam anggaran yang diajukan kepada negara.

ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara (TEMPO/ Gunawan Wicaksono)

Dari donasi yang diterima, kami pun memasak bersama. Bahan mentah beserta bumbunya beli di dapur kemudian dimasak dalam kamar. Lauk yang dimasak tersebut diperuntukkan untuk malam, tentunya setelah semua kegiatan kamar selesai.

Kebaikan yang diterima tentu saja tidak terabaikan. Sebagai manusia kurungan, mendoakan segala kebaikan bagi teman-teman yang berdonasi adalah cara untuk membalasnya dan tentu saja bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Rapalan-rapalan doa mustajab mengalun indah setelah salat Magrib. Pembacaan ibu surat dari Al-Quran yaitu Al-Fatihah dilantunkan bersama seiring pengucapan nama-nama teman-teman yang berdonasi, orang tua, keluarga ataupun kekasih yang masih setia menunggu kepulangan kami. 

Kami tidak hanya menerima donasi dari yang seiman, juga dari teman-teman yang tidak seiman. Betapa indahnya Tuhan memberikan warna berbeda dalam hidup, “Mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Begitulah ajaran dari salah satu Khulafaur Rasyidin umat Islam, Ali bin Abi Thalib.

Semur ayam, gulai ayam, gulai daging, semur telor, semur daging, dan ayam balado adalah lauk yang kami masak selama beberapa hari. 

Di dalam penjara, perasaan lebih sensitif. Makanan hasil donasi terasa sangat nikmat, karena kami yakin ada keikhlasan di dalamnya. Menjadi penawar rindu yang sangat menyesakkan dada, berbagai tempaan hidup kami hadapi di sini. Dari orang tua yang meninggal, saudara dan anak yang masuk rumah sakit, diceraikan istri, hingga orang tua yang menua dan mulai lupa dengan anaknya.

“Penderitaan adalah jalan menemukan makna hidup,” mungkin itu kalimat yang tepat bagi kami. Perjalanan yang jauh ke dalam diri, perjalanan yang tidak dapat diukur oleh jarak. Jalan bagi kami untuk mulai menyayangi diri sendiri, dari menyayangi jiwa dengan ibadah, menyayangi pikiran dengan belajar dan menyayangi tubuh dengan asupan yang baik dan olahraga. 

sel di Penjara Banceuy
Sel nomor lima di situs Penjara Banceuy, Bandung, Jawa Barat. (TEMPO/Prima Mulia)

Penjara juga menjadi jalan menyelami perbedaan. Penjara adalah laboratorium manusia karena berbagai suku dan agama ada di sini. Tuhan, terima kasih untuk segala nikmat yang telah Engkau berikan. Terima kasih juga buat teman-teman yang telah berdonasi, segala kebaikan hidup selalu menyertai hidup kalian semua. 

Mengutip salah satu puisi Rendra, “Kita menyandang tugas, karena tugas adalah tugas. Bukannya demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar