Joglosemar adalah akronim dari “Yogyakarta, Solo, Semarang”. Singkatan ini sangat populer untuk menyebut tiga kota di bagian tengah Pulau Jawa. Ketiganya juga menyimpan khazanah kuliner yang sangat kaya. Bondan Winarno, dalam pengantar buku 100 Mak Nyus Joglosemar (2016), menyatakan bahwa secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, Semarang-Solo-Yogya adalah kota-kota yang memiliki kekayaan kuliner luar biasa.
Salah satu kuliner yang ikonis adalah sate. Hampir di setiap wilayah Joglosemar memiliki versi sate dengan ciri khusus tertentu dan cita rasa masing-masing, terutama ditinjau dari aspek bahan, bumbu, teknik pembuatan, dan pelengkapnya.
Dalam perjalanan kuliner saya, setidaknya ada tiga jenis sate terlezat di Joglosemar yang sudah masyhur dari sisi popularitas maupun kelezatannya. Menurut saya, ketiganya masing-masing “mewakili” kuliner sate di Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Saya akan coba mengulasnya satu per satu. Bagian pertama ini akan saya mulai di Yogyakarta, yang terkenal dengan sate klathaknya.
Asal Usul Sate Klathak Khas Yogyakarta
Dari sisi historis, Hamzah atau Mbah Ambyah adalah orang pertama yang mengkreasikan dan mengenalkan sate klathak sejak tahun 1940-an. Di tengah profesinya sebagai kusir andong rute Bantul-Kota Yogyakarta yang dilakoni bertahun-tahun, suatu ketika tercetus ide di kepalanya untuk berjualan sate.
Tahun 1945, Mbah Ambyah mulai berjualan sate kambing di Pasar Jejeran, Bantul, menggunakan bumbu minimalis seperti kita kenal sekarang. Ia berinisiatif menggunakan jeruji sepeda sebagai sujen sate. Pertimbangannya adalah selain tidak mudah patah saat membakar sate, jeruji adalah penghantar panas yang baik sehingga kematangan daging sate lebih merata.
Sampai sekarang terdapat dua versi penamaan “klathak” yang tumbuh di kalangan penggemar sate tersebut. Versi pertama, berasal dari suara gemeretak seperti “thak thak” saat proses pembakaran sate. Bunyi itu timbul karena bara api dari arang yang beradu dengan jeruji. Versi kedua, berasal dari kata “nglethak” yang berarti “menggigit”. Orang makan sate biasanya dengan cara nglethak daging-daging kambing yang ditusuk sujen itu.
Bagaimanapun versinya, sepertinya Mbah Ambyar tidak pernah ambil pusing dengan nomenklatur tersebut.
Karakteristik Sate Klathak Yogyakarta
Sate klathak khas Yogyakarta adalah prototipe sate kambing dengan penampilan, bumbu, dan pelengkapnya yang bisa saya bilang di luar kebiasaan sate kambing pada umumnya. Dalam buku saya yang berjudul Riwayat Kuliner Indonesia, Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi (2022), saya menyebut setidaknya ada empat karakteristik sate klathak yang membuatnya berbeda.
Pertama, tusuk sate atau sujen yang digunakan bukan berasal dari bambu pada umumnya, melainkan menggunakan jeruji sepeda. Kedua, dagingnya tidak dipotong dadu, tetapi dipotong melebar dan relatif lebih besar. Ketiga, karena potongannya besar, maka penyajian seporsi sate klathak cukup dua tusuk saja (isi 12-16 potong daging). Keempat, sate disajikan dengan kuah gulai.
Satu lagi, yaitu bumbu sate klathak tergolong sederhana. Hanya bawang putih dan garam. Teknisnya, potongan daging kambing yang sudah ditusuk sujen, direndam dalam bumbu kemudian dibakar.
Meskipun bumbunya minimal, tetapi kelezatannya maksimal. Seporsi sate klathak biasanya disajikan dengan nasi hangat dan kuah gulai. Daging satenya yang empuk sangat cocok dicocol dengan kuah gulai yang gurih.
Ketenaran sate klathak membuatnya jadi salah satu bagian penting dalam khazanah kuliner Yogyakarta. Tak hanya penting, tetapi juga dirindukan banyak orang.
“Sate klathak bukan varian sate baru, melainkan asli dibikin buat memudahkan dan mengingatkan akan sesuatu yang suatu saat akan ngangeni (bikin rindu),” begitu ujaran Mbah Ambyah yang selalu terngiang di telinga Zabidi, anaknya, seperti dikutip oleh Syafaruddin Murbawono dalam bukunya yang berjudul Monggo Mampir, Mengudap Rasa Secara Jogja (2009).
Rekomendasi Warung Sate Klathak di Yogyakarta
Berdasarkan pengalaman saya, berikut saya rekomendasikan tiga warung sate klathak yang harus Anda kunjungi ketika berlibur ke Yogyakarta:
1. Sate Klathak Pak Bari, Pleret, Bantul
Sate klathak Pak Bari adalah yang paling populer dan bisa menjadi tujuan kuliner wajib yang tak terhindarkan. Termasuk saya sendiri.
Sekitar bulan Desember 2018, saya bersama istri dan dua anak perempuan saya sedang liburan di Yogyakarta. Di tengah hujan yang sedang mengguyur kota, kami memutuskan untuk menjadikan sate klathak sebagai menu makan malam.
Inginnya sih meluncur ke kawasan Pasar Jejeran, tempat dahulu Mbah Ambyah memulai usaha sate klathak. Lebih tepatnya di Pasar Wonokromo. Di sana terdapat Sate Klathak Pak Bari, generasi ketiga keluarga besar Mbah Ambyah. Sayang, karena hujan terlampau deras dan lokasinya cukup jauh dari tempat menginap, kami harus mengurungkan niat.
Jejak sejarah yang panjang dan melegenda membuat warung sate klathak Pak Bari menjadi buruan banyak orang. Termasuk seniman kawakan Butet Kartaredjasa. Tempat makan sederhana itu makin populer setelah film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 yang dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo syuting salah satu adegan di sana.
Alamat: Pasar Wonokromo, Jalan Imogiri Timur No. 5, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 18.30-00.00 WIB
2. Sate Klathak Pak JeDe, Depok, Sleman
Usai berselancar di internet dan mendapatkan beberapa alternatif, kami segera mengubah rute ke Sate Klathak Pak JeDe, Condongcatur, Sleman. Dari paviliun tempat kami menginap, kami menggunakan taksi daring menuju warung Pak JeDe.
Setibanya di lokasi, kami lekas masuk ke warung yang ternyata cukup luas. Saat itu sudah banyak pengunjung, tetapi masih ada beberapa meja yang kosong. Kami memesan beberapa porsi sate klathak. Inilah momen pertama kali saya menyantap sate klathak yang kemasyhurannya sudah lama saya ketahui.
Sate Klathak Pak Jede terhitung sebagai pendatang baru, karena baru eksis sejak tahun 2013. Letaknya memang tidak di kawasan Imogiri, Bantul, yang menjadi embrio awal kuliner ini. Namun, lokasi yang lebih dekat dengan pusat kota malah membuatnya strategis. Para pelancong tidak perlu pergi jauh ke arah selatan kota untuk menikmati sate klathak khas Jejeran.
Alamat: Jalan Nologaten No. 46, Nologaten, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 10.00-23.00 WIB
3. Sate Klathak Pak Pong, Pleret, Bantul
Namun, perburuan saya terhadap sate klathak belum berhenti. Saya masih penasaran untuk menyantap sate klathak langsung dari daerah Mbah Ambyah. Ketika saya berkesempatan melawat kembali ke Yogyakarta sekitar tahun 2019, saya manfaatkan berburu sate klathak di sekitar Pasar Jejeran. Saya memilih Sate Klathak Pak Pong Pusat, karena saya berkunjung waktu siang.
Pilihan saya tidak salah. Sate Klathak Pak Pong juga sangat dikenal kelezatannya. Kedatangan saya yang bertepatan jam makan siang, membuat saya harus rela antre cukup lama.
Namun, justru di sela-sela antre itulah saya bisa melihat dan merekam proses pembuatan sate klathak. Tentu dengan seizin pemilik warung. Saya mengabadikan beberapa tahapan, antara lain menusukkan sujen ke daging, perendaman daging ke dalam bumbu, dan pembakaran satenya.
Setelah pesanan saya tiba, saya pun menyantap dengan lahap seporsi sate klathak dan seporsi thengkleng yang memang sungguh lezat. Pantas bila pengunjungnya banyak dan rela antre.
Alamat: Jalan Sultan Agung No. 18, Jejeran II, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 09.00-23.00 WIB
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia