Saat berkesempatan untuk liburan ke Jogja, sebagian kawan saya biasanya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mbakmi. Istilah yang merujuk pada aktivitas menikmati bakmi jawa di kedai mi favorit masing-masing. Sayangnya, warung bakmi jawa di Jogja itu biasanya baru mulai buka di sore hari. Walau demikian, ada juga sebenarnya jenis mi lokal lain yang siap santap di selatan Jogja, yang pagi-pagi sudah bisa dinikmati. Namanya mi pentil.
Mi pentil merupakan mi tradisional khas Bantul yang biasa dijual di pasar-pasar tradisional. Dua di antaranya ada di Pasar Niten dan Pasar Imogiri. Tidak seperti mi pada umumnya yang terbuat dari tepung terigu, mi pentil dibuat dari tepung singkong alias tepung tapioka. Karena itulah meski bertekstur kenyal, tetapi mi pentil termasuk jenis mi yang bebas gluten. Gluten adalah sejenis protein yang ditemukan dalam gandum, gandum hitam (rye), dan jelai (barley).
Sebenarnya bagi orang normal tidak ada pantangan untuk mengonsumsi gluten. Namun, pada orang dengan kondisi kesehatan tertentu, konsumsi gluten dapat menyebabkan reaksi yang berbeda dengan orang normal pada umumnya. Saya salah satunya. Jika dibandingkan dengan mengonsumsi mi dari gandum, perut saya cenderung lebih cocok dengan jenis mi bebas gluten, seperti mi pentil ini.
Kalaupun sedang ingin mengonsumsi roti berbahan gandum, saya lebih cocok dengan roti yang proses pembuatannya difermentasi dalam waktu yang lebih lama, yang dikenal luas dengan sebutan sourdough. Karena itulah senang rasanya mendapati kuliner lokal yang seiring jalan dengan selera perut sendiri. Apalagi sentra pembuatannya memang ada di Kabupaten Bantul, yang tidak lain merupakan domisili saya.
Bentuk Olahan Mi Pentil Khas Bantul
Sesuai namanya, salah satu mi khas Bantul ini bentuknya gilik layaknya pentil sepeda. Penyebutannya juga sama persis dengan pentil sepeda. Bukan yang lain. Di sekitar tempat tinggal saya, mi pentil biasa dijual di pagi hari. Mi jenis ini bisa ditemui di berbagai pasar tradisional di kawasan Bantul. Kalau sedang kangen dengan mi yang satu ini, biasanya saya melipir sebentar di Pasar Niten atau Pasar Imogiri. Dua pasar yang acap kali saya sambangi saat kangen mencicipi mi tradisional khas Bantul yang satu ini.
Pasar Niten merupakan pasar tradisional terdekat dari rumah, sedangkan Pasar Imogiri adalah pasar yang thiwul gurihnya merupakan jajanan favorit simbah. Jadinya kalau beli biasanya di antara dua pasar ini. Sebenarnya selain mi pentil, di Bantul sendiri ada jenis mi lokal lain yang rasanya mirip mi pentil. Namanya mides. Mides bisa dibilang “kakaknya” mi pentil. Bedanya hanya di ukuran mi yang lebih besar saja.
“Kalau mi pentil dibuatnya dengan cara digiling, sedangkan mides dengan cara diiris,” ujar Bu Ngatirah, salah satu pedagang mi pentil yang saya temui pada Senin (15/01/2023) lalu. Meski dibuat dari bahan yang sama, tetapi mi pentil dan mides biasa diolah dengan cara yang berbeda.
Mi pentil biasa dimasak dengan cara ditumis saja. Itu pun hanya diberi bumbu sederhana layaknya membuat mi pada umumnya. Bedanya, memasak mi pentil tidak diberi tambahan topping, seperti telur maupun potongan sayur, baik sawi hijau maupun kol. Paling mentok ditambahi dengan seuprit bawang merah goreng dan sambal. Kalau dilihat-lihat, wujud mi pentil itu persis mi goreng polosan. Meski terdengar sederhana, tetapi rasa mi yang tidak neko neko ini kadang ngangenin juga.
Mi pentil matang biasanya ditempatkan di atas tampah yang dialasi daun pisang. Sampai saat ini belum pernah saya dapati mi pentil yang dimasak dengan cara direbus. Pun tidak pernah menemukan kedai khusus yang menjual mi pentil. Saya hanya menemukannya dijual matengan di berbagai pasar tradisional di sekitar Bantul. Berbeda dengan mides yang biasa diolah dengan cara digoreng maupun direbus dadakan sesuai pesanan.
Selain bisa ditemui di berbagai pasar tradisional di Bantul, mi pentil juga kadang bisa ditemukan di warung sayur rumahan. Orang sini biasa menyebutnya dengan istilah warung tetangga. Pembeda keduanya hanya porsi mi pentil yang bisa dibeli saja. Kalau beli langsung di pasar sistemnya bisa minta berdasarkan porsi atau timbangan. Namun, jika beli di warung tetangga biasanya dijual per porsi kecil dengan harga mulai dua ribuan rupiah.
Saya sendiri lebih suka beli mi pentil langsung di pasar karena bisa pakai sistem timbangan atau atur harga sesuai kebutuhan, seperti beli lima atau sepuluh ribu rupiah. Kemarin seperempat mi pentil dibanderol dengan harga Rp7.000 saja. Selain porsi belinya bisa lebih banyak, jajan di pasar tradisional itu bisa sekalian bawa pulang aneka jajanan enak lainnya. Beda jauh kalau beli di warung tetangga yang satu atau dua kali lahap saja mi-nya sudah “lenyap”.
Tertambat Thiwul Bu Rustanganah di Pasar Imogiri
Di antara dua pasar tradisional yang pernah saya sambangi, yakni Pasar Niten dan Pasar Imogiri, pada Pasar Imogiri-lah hati ini kerap tertambat lagi dan lagi. Soalnya tepat di samping ruko tempat jualan mi pentil, saya juga menemukan ibu-ibu yang jualan aneka olahan singkong mulai dari kicak, thiwul, gatot, hingga sego jagung yang enak. Bu Rustanganah namanya. Thiwul di sini memang sesuai selera saya. Gurih manisnya enak jadi nggak bikin enek di mulut.
Spesialnya lagi, Bu Rustanganah juga menyediakan thiwul gurih tanpa gula. Biasanya dijual dengan pendamping berupa sambal terong dan daun pepaya rebus yang nggak pahit-pahit amat. Kebetulan thiwul gurih di sini merupakan salah satu jajanan favoritnya simbah saya. Jadi, kalau menyempatkan ke sana, biasanya saya langsung njujug di dua ruko tersebut. Kalau ada yang penasaran ingin mencicip mi di Pasar Imogiri, teman-teman bisa masuk lewat pintu depan pasar lalu belok kiri sampai menjumpai gapura bercat cokelat muda. Nanti kios keduanya berada di sisi kiri jalan.
Tidak seperti mi pada umumnya yang dijual dengan warna senada, mi pentil menawarkan dua pilihan warna yang perbedaannya terbilang mencolok. Ada yang berwarna kuning dan ada pula yang yang putih. Soal rasa tidak ada bedanya, kok. Sebab cara pengolahannya sama-sama ditumis dengan bumbu minimalis. Biasanya dalam setampah mi yang dijual di pasar, setengahnya berwarna putih, setengah lainnya berwarna kuning. Tinggal pilih sesuai selera saja.
Yang bikin mi pentil di Pasar Imogiri itu tambah spesial adalah karena mi di sini biasa dibungkus dengan daun jati, bukan mika atau plastik bening yang kini jamak dipakai oleh sebagian pedagang makanan. Sayangnya, sampai saat ini saya belum pernah menemukan mie pentil dalam kondisi mentah. Dari dulu nemu-nya, ya, mi pentil matang bercita rasa gurih yang hanya diberi topping seuprit sambal dan bawang merah goreng. Beda dengan mides yang dijual pula dalam kondisi mentah. Meski demikian, saya tidak pernah bosan dengan mi lokal dari Bantul ini. Soalnya selain enak dan murah, makan mi pentil tidak membuat perut saya terasa begah.
Bagi yang penasaran dengan rasanya, jangan lupa mencoba juga saat berkesempatan liburan di Jogja, ya! Apalagi kalau ada agenda jalan-jalan ke Imogiri. Bisalah mampir sebentar di Pasar Imogiri buat mencicipi salah satu ikon kuliner khas Bantul yang satu ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.