Namanya laha bete, olahan makanan berbahan dasar ikan teri basah yang bagian kepalanya dipisahkan dan dibuang tulangnya. Di daerah saya, Sinjai, bagian timur Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 223 km dari Kota Makassar, kami menyebutnya ikan bete-bete.
Beberapa pekan lalu saya membuatnya, karena merindukan sajian segar tersebut di perantauan. Momen ini sekaligus untuk memenuhi janji pada seorang kawan, yang mengendap tiga tahun lamanya.
Saya pun berbelanja ke pasar dengan modal Rp20.000. Dari uang segitu saya berhasil membawa pulang sekantung hitam kecil ikan bete-bete, cabai rawit, kelapa parut, cuka, dan jeruk purut. Sayangnya, saya lupa membeli mangga dan daun kemangi. Meskipun dua bahan tersebut sebenarnya hanya bersifat opsional.
Berbekal ingatan mengamati para orang tua yang lihai membuat laha bete setiap kali ada hajatan di kampung, saya segera memulai eksperimen di dapur indekos.
Proses Pembuatan Laha Bete
Untuk menghasilkan sepiring laha bete, tidaklah serumit membuat coto Makassar atau konro yang menggunakan bahan rempah cukup banyak. Pun, waktu memasak dua kuliner khas itu lama, karena mesti mengolahnya di atas bara api alias kompor. Lain halnya dengan laha bete, yang tidak melalui proses pemasakan.
Awalnya, saya merasa kelelahan saat memisahkan kepala dan tulang dari badan ikan. Kami menyebut proses ini dengan nama mappangaja’ bete. Kalau sedang ada acara pernikahan, bisa satu baskom besar berisi ikan bete-bete yang mengantre untuk kami lepas kepalanya. Biasanya, sebaskom ikan ini dikumpulkan lebih dari tiga orang ibu, yang saling bekerja sama mappangaja’ bete sambil berbincang.
Jika bagian ini sudah terlewati, tahap pengolahan selanjutnya akan lebih mudah tetapi juga paling krusial. Di sinilah cuka seharga dua ribu rupiah yang sudah saya beli tadi akan berguna.
Setelah mencuci, proses selanjutnya adalah menyirami ikan dengan larutan cuka. Saya harus berhati-hati agar rasa ikan menjadi tidak terlalu asam. Selain untuk mematangkan daging ikan, penggunaan cuka juga bertujuan untuk menghilangkan bau amis. Peran cuka hampir sama saat kita membuat susyi.
Sambil membuat laha bete, saya juga bercerita ke Nu’—yang dari tadi sudah tidak sabar mencicipi kuliner khas Sinjai untuk pertama kali. Saya katakan padanya, “Sebenarnya resep membuat laha bete ini ada lagunya. Hanya saja, memang berbahasa Bugis.”
Adapun potongan lirik resepnya berbunyi: “Riteppang kaluku fura faru, Ripeccorang lemo-lemo, Ricoberang ladang-ladang pesse’, Ritellani laha bete” (diberi parutan kelapa, diberi perasan air jeruk, diberi cabai rawit pedas yang habis diulek, jadilah namanya laha bete).
Lagu itu adalah karya Muhannis, seorang pemerhati sejarah Sinjai yang meninggal beberapa hari lalu. Kemudian Masrah, yang masih berstatus sebagai pelajar SMA kala itu, menyanyikan lagu ini sekitar tahun 2006. Lagu tersebut kembali populer meski sebenarnya sudah tercipta sejak tahun 1995.
Akhirnya selesai juga eksperimen saya. Kami berdua menyambut girang. Nu’ coba mengambil sedikit, lalu mencobanya dengan ragu karena sempat curiga akan ada cita rasa ikan mentah. Namun, rupanya lidah Nu’ menyambut senang sampai laha bete ludes tak tersisa.
Tentunya, sebelum semua laha bete kami lahap habis, saya mengabadikannya dalam bidikan kamera dan mengunggahnya ke media sosial. Tak saya sangka, ada komentar menarik dari seorang kawan. Dia bilang kuliner serupa juga ada di Adonara, mereka menyebutnya belawa. Olahan yang sama persis lalu menambahkannya dengan taburan irisan bawang merah mentah melimpah.
Laha dan Lawa, Apa Bedanya?
Sebenarnya laha memiliki banyak varian, seperti halnya urap—hidangan dengan bahan dasar aneka sayuran yang direbus dan dicampur dengan kelapa muda—di Jawa. Sumatra juga punya hidangan serupa, namanya anyang. Meski ada yang menggunakan ikan maupun sayur sebagai bahan dasar, olahan kuliner ini sama-sama mengandalkan parutan kelapa muda sebagai pengunci rasa.
Nama laha bete hanya dipakai oleh orang-orang Bugis Sinjai. Beberapa penutur bahasa Bugis lainnya, seperti Bone, Sidrap, Wajo, Pinrang, dan Soppeng menyebutnya lawa bale (ikan) atau lawa bete, karena perbedaan dialek.
Entah bagaimana, hanya dialek Sinjai yang agak berbeda dari dialek Bugis lainnya. Contohnya dalam penggunaan huruf “w” di bahasa Bugis, orang berdialek Sinjai seringkali menukarnya dengan huruf “h”. Maka sebutan lawa bagi penutur bahasa Bugis lain, berubah menjadi laha jika dilafalkan oleh orang Bugis Sinjai.
Masih ada lagi. Huruf “c” dalam dialek bahasa Bugis umumnya, di Sinjai berubah menjadi “sy”. Misal, cemme’ (mandi) menjadi syemme’. Perbedaan dialek ini sudah sering jadi bahan candaan berkat komedian asal Makassar yang pernah membuat viral dialek Sinjai lewat videonya.
Kalau kebetulan saya sedang mengikuti satu kegiatan dan memperkenalkan diri sebagai orang Sinjai, biasanya saya akan mendengar sahutan “Sinjai lo”. Bukan lo atau lu yang berarti ‘kamu’ seperti yang biasa orang-orang Betawi gunakan. Dua huruf pada lafal “lo” menjadi sebuah identitas bagi orang Sinjai. Itu justru membuat saya menjadi peserta yang gampang orang lain ingat, sehingga tentu saja saya tidak pernah keberatan dengan itu.
Walaupun, ya, kadang-kadang ada saja kesalahan teknis. Beberapa orang mengira Sinjai sama seperti Binjai, kota di Sumatra Utara.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.