Pesisir Lampuuk yang tenang sama sekali tak menyiratkan bahwa wilayah itu pernah dilanda bencana, yakni tsunami dahsyat di akhir 2004.
Nyiur terus saja melambai dipermainkan angin. Suara-suara alam lebih dominan dibandingkan bunyi-bunyian yang diproduksi peradaban. Mentari menawan datang dan pergi, tak digubris. Kehidupan seperti stagnan, di situ-situ saja, tak ada tambahan dan, sebaliknya, tiada yang berkurang. Cantik tapi tanpa gejolak—membosankan.
Kamu boleh-boleh saja berpikir begitu. Nyatanya, penyu tak bosan-bosan kembali ke sana untuk bertelur, membiarkannya dierami hangatnya pasir, sampai akhirnya menetas sebagai tukik yang siap menghadapi ganasnya dunia.
Menurut Adon, seorang aktivis sekaligus peselancar di Pantai Lampuuk, induk penyu sudah naik untuk bertelur di sana jauh sebelum pariwisata daerah itu mulai berkembang. (Adon juga menuturkan bahwa ada seekor penyu belimbing berusia sekitar 100 tahun, yang tempurungnya seukuran Honda Jazz, yang sampai sekarang masih bertelur di Pantai Langee, dekat Lampuuk.)
Pesisir Lampuuk memang cocok sekali jadi tempat para induk penyu menetaskan telurnya. Perairannya yang tenang, ketiadaan karang penghalang, arealnya yang luas, landai, dan berpasir, membuat pantai ini mudah dijangkau oleh induk-induk penyu yang dalam perutnya terkandung telur-telur mungil seperti bola pingpong.
Sayangnya, tidak sedikit dari telur-telur penyu itu yang akhirnya malah berakhir di lambung manusia alih-alih menetas dan melahirkan tukik yang bakal berenang menjelajahi dunia.
Telur penyu diincar manusia karena dianggap mengandung berbagai khasiat, salah satunya adalah untuk meningkatkan libido. Karena itulah harga sebutir telur penyu bisa jauh lebih mahal dibandingkan sebutir telur ayam ras. Tak main-main, mencapai Rp 5.000 per butir.
Gerakan penyelamatan yang bermula dari kegelisahan
Sebuah warung di pinggir pantai menjadi saksi bisu berdirinya Konservasi Penyu Lampuuk (Lampuuk Sea Turtles Conservation). Di warung itu sekelompok anak muda memang sudah biasa berkumpul dan berbagi cerita tentang kegiatan mereka—memancing atau berselancar. Entah kenapa, lama-lama oborolan mereka malah mengarah ke kegelisahan soal maraknya perburuan telur penyu di Lampuuk.
Hati mereka pun tergerak untuk berbuat sesuatu. Mereka segera mencari cara supaya dapat menyelamatkan dan menetaskan telur-telur penyu yang ditimbun induk-induk kura-kura laut itu di Lampuuk.
Lalu pada bulan November 2011, dibantu oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal jaringan dari Kuala (Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh), Konservasi Penyu Lampuuk dibentuk.
Setiap musim induk penyu naik dan bertelur (November-April), Konservasi Penyu Lampuuk selalu melakukan pemantauan di areal pantai, mengevakuasi telur-telur penyu di Pantai Langee—satu jam perjalanan melewati perbukitan dari Pantai Lampuuk—ke tempat relokasi yang lebih aman di Pantai Lampuuk, pendataan, inkubasi telur (menetaskan), merawat tukik selama karantina, mencari kelompok atau komunitas yang mau memberi donasi sekaligus melepaskan tukik, dan menyiapkan acara pelepasan tukik. Tak lupa, kelompok lokal ini juga mendokumentasikan tahap demi tahap upaya konservasi penyu yang mereka lakukan.
Setelah mengalami perjalanan panjang, tahun 2017 kemarin Konservasi Penyu Lampuuk pun akhirnya dinaungi payung hukum, yakni Surat Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh Nomor: 523/2315/2/2017 tentang Tim Pengelola Kawasan Konservasi Penyu Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.
Mengajak warga lokal untuk ikut menyelamatkan penyu
Ketika rombongan tukik pertama dilepas, warga sekitar heran dan bertanya-tanya kenapa telur-telur tersebut sampai ditetaskan dan dilepaskan ke lautan. Terkungkung dalam paradigma fatalistik, mereka menganggap bahwa kehidupan penyu tak usah dijaga. Jalan hidup penyu memang begitu, sudah ditentukan oleh Sang Pencipta, juga bisa diambil telurnya untuk dimakan—itu adalah rezeki.
Padahal penyu juga punya peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem—keseimbangan yang pada akhirnya juga akan mencipratkan keuntungan pada manusia.
Laman profauna.net melansir bahwa penyu hijau punya kontribusi yang besar dalam “mengatur” populasi lamun. Penyu hijau menjadi “tukang kebun” yang menjaga potongan lamun agar tidak terlalu rimbun sehingga menghalangi cahaya matahari menembus laut. Jika terlalu rimbun, pembusukan akan terjadi di pangkal lamun—muncullah jamur.
Cerita tentang kontribusi penyu belimbing terhadap laut lain lagi. Penyu petualang ini tidak butuh paspor dan visa untuk keliling dunia, mereka hanya perlu ubur-ubur. Selama ada ubur-ubur untuk dimakan, mereka akan punya energi untuk mengarungi tujuh samudra. Karena panjang badannya mencapai 2,7 meter, penyu belimbing memiliki perut yang bisa memuat sampai 200 ekor ubur-ubur! Jadi penyu belimbing punya peran penting dalam mengontrol populasi ubur-ubur.
Lalu, jika jumlah penyu belimbing semakin berkurang dan populasi ubur-ubur bertambah efeknya apa? Efeknya, kamu akan jadi jarang makan ikan, sebab ubur-ubur memangsa telur dan larva ikan. Tapi, masih menurut laman profauna.net, ternyata tak cuma penyu belimbing saja yang doyan ubur-ubur, penyu hijau dan penyu tempayan juga.
Untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya menjaga penyu, Konservasi Penyu Lampuuk menggandeng kalangan muda. Mereka mengajak anak-anak Lampuuk, khususnya mereka yang tergabung dalam Opemal (Organisasi Pelajar Mahasiswa Lampuuk) untuk berkegiatan. Sesekali mereka juga melibatkan anak-anak dan pemuda dari daerah-daerah lain di Aceh. Para mahasiswa dari berbagai kampus di Aceh juga banyak yang menjadi relawan.
Meskipun sudah dianggap mandiri, Konservasi Penyu Lampuuk masih butuh donasi
Selama dua tahun pertama, Konservasi Penyu Lampuuk masih menerima bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Aceh.
Dari bantuan itu, Konservasi berhasil membangun areal relokasi telur dan bak penampungan tukik yang menetas. Namun, setelah berjalan dua tahun, organisasi swadaya itu dinilai sudah mandiri. Konsekuensinya, pendanaan dihentikan.
https://www.youtube.com/watch?v=7VAAw3l2wX0
Selepas itu, Konservasi Penyu Lampuuk terpaksa melanjutkan hidup dengan mengandalkan donasi—personal maupun kelompok yang berpartisipasi dalam pelepasan tukik—untuk menutupi biaya operasional bulanan. (Biaya operasional Rp 2 juta per bulan habis untuk kegiatan pemantauan, perawatan tempat penetasan telur, konsumsi relawan, dan mengganti jerih payah pemburu yang memberikan telur penyu pada Konservasi.)
Mencari dana Rp 2 juta per bulan di lokasi yang jauh dari ibukota seperti Lampuuk bukan perkara mudah. Di musim liburan, atau saat banyak telur yang menetas, tidak masalah bagi Konservasi Penyu Lampuuk untuk mencari biaya operasional. Mereka bisa menggalang dana dari partisipan pelepasan tukik. Namun kalau musimnya tidak terlalu baik, Konservasi mesti rela bergerak dalam segala keterbatasan.
Sampai sekarang pun Konservasi Penyu Lampuuk masih terus mencari relawan dan donasi demi meneruskan aktivitas konservasi. Barangkali kamu berminat jadi relawan dan memberikan donasi?
Kalau mau tahu lebih banyak tentang Konservasi Penyu Lampuuk, kamu bisa datang langsung ke Babah Dua, Pantai Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar. Kamu juga bisa mengontak Adon (0813-6041-8440) atau Yudi (0813-6045-8045) atau intip akun Instagram @konservasipenyu_lampuuk.
Reporter: Syukron
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
Sangat baik sekali. Semoga masyarakat sekitar dapat menerima. Aku punya teman dari luar pulau Jawa, katanya disana memang telur itu dikonsumsi, bahkan ada dendeng penyu. Mereka menganggap penyu itu melimpah dan tidak pernah habis. ?
Semoga, Kak. Kita doakan dan support sama-sama ya gerakan ini. 🙂