Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong.
“Lah, kenapa tidak dimakamkan di ereveld, tapi malah di kerkhof?” pikir saya. Ereveld dan kerkhof artinya sama yakni pemakaman. Hanya berbeda fungsi.
Ereveld makam pahlawan bagi pejuang berdarah Belanda di Indonesia. Kerkhof makam elit warga Belanda di halaman gereja. Memang tidak semua prajurit Belanda di Indonesia yang gugur dimakamkan di ereveld. Tergantung keluarga, dikebumikan di ereveld, kerkhof, atau kremasi.
Biasanya prajurit yang dikebumikan di luar ereveld, atas kehendak keluarga atau mendiang sendiri karena merasa terikat batin dengan wilayah setempat. Seperti beberapa makam yang saya abadikan kali ini. Menariknya makamnya berbaur dengan milik orang Belanda lain di Kerkhof Gombong.
Makam C.F.H Campen
“Wah, nama depan disingkat, terus siapa beliau?”
Pada nisan, tertulis nama C.F.H. Campen. Karena rasanya tidak mungkin menerka-nerka, pilihan terakhir untuk mengetahui nama lengkapnya adalah saya menghubungi Hans Boers. Tidak lama, saya mendapatkan balasan petunjuk pembuka dari Hans Boers.
“Orang militer ini Mas, apa mungkin dahulu bekerja di Benteng Gombong?”
“Kemungkinan pak, 1e Luit. der Inf. Ridder. M.W.O. Tidak ada keterangan lain.” Kami sama-sama bingung sejadinya. Tidak lama, masuk pesan singkat kembali dari Hans Boers.
“Mas, makam ini milik instruktur sekolah siswa militer di Gombong!” Akhirnya mulai terbuka siapa orang di balik nisan tua ini. Saya dan Hans Boers sempat bercanda, “Coba bayangkan, namamu disingkat, terus kamu aku kenalkan dengan nama singkatanmu. Enak didengar tidak?” Kami hanya bisa saling menertawakan.
Sembari menunggu kabar lebih lanjut, saya putuskan untuk mengabadikan lebih jauh nisan lain yang tersisa di Kerkhof Gombong. Tiba-tiba Hans Boers mengirim pesan kembali mengenai C.F.H. Campen. Dalam pesan singkatnya, berikut detail mengenai C.F.H. Campen.
Letnan 1 Prajurit Infanteri C.F.H. Campen, Instruktur Sekolah Siswa militer Gombong. Kala itu, bernama Militaire Pupillen School Gombong. Inisiatif dari Institusi Pendidikan Angkatan Darat Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Sekolah Militer Gombong, didirikan untuk melatih anak-anak terlantar menjadi prajurit KNIL.
Sekolah militer Gombong pertama kali dibangun tahun 1835 atas perintah Mayor Jenderal Hubert de Steurs. Kala itu sekolah militer masih menempati rumah sang mayor. Barulah di tahun 1848 dibangunkan sebuah gedung permanen di Kedong–Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lutzow. Sekolah Militer dari Kedong–Kebo kemudian dipindahkan menuju Gombong, dan menempati areal di Benteng Van Der Wijck.
Sebelum bernama Van Der Wijck, benteng itu bernama Fort Cochius. Letnan Campen adalah Instruktur Sekolah Militer Gombong, ketika sekolah berada di Benteng Van Der Wijck. Namun sayang, C.F.H. Campen tidak berumur panjang. Hans Boers menambahkan, “Campen terbunuh dengan cara ditusuk belati oleh seorang pribumi, tidak diketahui motifnya apa.”
Letnan Campen dikenal aktif menulis mengenai perkembangan Sekolah Siswa Militer Gombong. Karena pentingnya karya tulis Letnan Campen mengenai sekolah militer Gombong, pihak pemerintah Belanda menggandakan sebanyak 1000 eksemplar dan diberikan secara cuma-cuma ke warga sekitar sekolah. Salah satu judul artikelnya yakni Het Korps Pupillen te Gombong.
Sebelum tugas di Gombong, Letnan Campen diketahui dirotasi bersama beberapa prajurit lain dari Surabaya. Letnan Campen wafat usia 33 tahun pada 24 Januari 1886, pemakaman dihadiri Asisten Residen Kebumen, Kepala Distrik Kebumen dan Gombong, seluruh warga Gombong dan siswa Sekolah Militer Gombong.
H. Heffelaar, Makam Prajurit lain di Kerkhof Gombong
Puas mengabadikan detail nisan makam dan mendapat informasi mengenai Letnan C.F.H. Campen, langkah saya berikutnya berhenti di makam milik H. Heffelaar. Nisan masih utuh, tapi kalau tidak jeli membaca hurufnya seakan berbunyi “HFFFFLPPP”.
Informasi siapa Haffelaar, masih saya dapatkan dari Hans Boers. Makam ini milik Hermanus Heffelaar lahir di Rotterdam 6 Maret 1881, dan wafat di Gombong 29 April 1924 usia 43 tahun. Sang istri bernama Nyonya Painam, pernikahanya digelar di Kotaraja 25 Mei 1916.
“Nikah di Kotaraja, jauh sekali, Pak?”
“Iya. Karena, Hermanus Haffelaar, prajurit militer KNIL tugas akhir di Gombong!”
H. Heffelaar anak dari Johannes Bernardus Heffelaar dan Anna van Hoewijk. Hermanus Heffelaar, dan Poepaart satu kesatuan di militer Angkatan Darat. Tapi, H. Heffelaar lebih banyak di KNIL-nya, begitu informasi yang saya dapat dari Hans Boers.
Pantas mereka dimakamkan di Kerkhof Gombong, dekat Benteng Van Der Wijck dan Kamp militer Gombong tempat Heffelaar dan Poepaart bekerja. Nisan milik H. Heffelaar bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Lieve Man en Vader H. Heffelaar in Der Ouderdom Van 41 Jaaren. R.I.P.”.
Artinya “Di sini Beristirahat. Ayah sekaligus pria yang kami sayang, Hermanus Heffelaar di Umur 41 Tahun”.
Nisan K. Emor, Makam Tersembunyi di Balik Pohon
Makam berikutnya setelah Poepaart dan Heffelaar yang saya datangi ini pria kelahiran Manado tinggal di Gombong. Makamnya ditumbuhi pohon liar setinggi orang dewasa yang menyembunyikan batu nisannya.
Sebelum melihat nama mendiang lebih jauh, saya dikejutkan suara si bapak juru kunci. “Ini Mas nisannya, saya bersihkan dulu. Semoga kelihatan. Soalnya pohon ini tumbuh liar ini Mas, jadi makamnya rusak.”
Makam ini rusak bukan karena nisan marmer yang dicuri, tapi oleh pohon liar, yang menurut saya salah satu faktornya adalah karena tidak diziarahi dan dibersihkan secara rutin.
Inskripsi pada nisan, berbunyi “Hier Rust onze Innig Geleiefde Vader K. Emor, Overleden 19 September 1899 in den Ouderdom van 74 jaar”. K. Emor wafat usia 74 tahun pada 19 September 1899. Hanya saja tidak diketahui apa yang menyebabkannya wafat. Bahkan untuk siapa keluarga K. Emor, tidak banyak informasi.
Hans Boers, merujuk satu nama yakni Karel Emor. “Susah Mas, karena ada beberapa orang yang menyandang nama Karel Emor tapi tidak ada satupun yang cocok dengan keterangan nisannya.”
“Juga ada seorang dokter dari Jawa yang terkenal bernama Jan Emor, lahir di Tana Kwangkot, Kecamatan Tombari, Minahasa, Manado; dan pada tahun 1711, dan seorang perempuan bernama Ida Emor (nama Yahudi) dibaptis di Belanda.”
“Saya sendiri memiliki gagasan kuat kalau Karel Emor adalah orang kelahiran Manado dan dia pegawai militer KNIL,” lanjutnya. Karel Emor diketahui wafat di Karanganyar Kebumen di usia 74.
“Adakah keluarganya, Pak?” tanya saya penasaran.
Menurut Hans ada; yakni, Johanna Antoinette Emor meninggal 4 Oktober 1959 di Zwollerkerspel pada usia 75, lahir sekitar tahun 1884. Mungkinkah dia putri Karel Emor?
“Saya belum menemukan data lebih jauh mengenai hubungan keduanya.” Alhasil, informasi mengenai keluarga K. Emor di Gombong hanya sebatas praduga, bahwa K. Emor bernama asli Karel Emor seorang perwira militer KNIL di Gombong.
Yang Tersisa dari Kerkhof Gombong
Sebelum mengakhiri penelusuran di Kerkhof Gombong, saya mengabadikan beberapa makam lain yang kondisinya rusak parah. Kerkhof Gombong, menurut saya sejatinya sudah selayaknya diselamatkan dan dilestarikan. Miris rasanya melihat berbagai nisan teronggok begitu saja tanpa terawat.
Kerkhof Gombong bagi saya, adalah saksi bisu Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, dari waktu ke waktu. Jelas, di balik orang Belanda dalam mengembangkan Gombong, tidak lepas juga dari peran warga Gombong sendiri.
Situs peninggalan di Gombong sangat banyak. Selain kerkhof, ada juga ngebong atau areal pemakaman warga Tionghoa yang tidak kalah menarik untuk kami telusuri. Belum lagi, Benteng Van Der Wijck, Pabrik Rokok Klembak Menyan, satu lagi Rumah Martha Tilaar, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Oiya, saya hampir kelupaan. Tidak semua orang Belanda di Gombong yang wafat dikebumikan di Kerkhof Gombong. Ada juga yang di luar kota, atau mungkin kembali ke keluarga di Belanda.
Sekarang, bukan saatnya menyalahkan mana yang benar dan yang salah. Tapi, bagaimana cara untuk menghargai apa yang telah diwariskan generasi sebelum kita.
Seperti Kerkhof Gombong ini, bukti masa lalu untuk pelajaran hidup di masa depan. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman penelusuran Kerkhof Gombong, teman-teman di Rumah Martha Tilaar yang setia menemani dan menerima kritikan dan saran saya, dan mohon maaf tidak bisa saya sebut semuanya.
Perjalanan ke Kerkhof Gombong berakhir dengan semua memori di kamera. Satu minggu tidaklah cukup untuk mengenal Gombong lebih jauh, suatu saat pasti kembali. “Sekarang, saatnya kembali ke Solo, dan buka bersama di kereta!”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.