Indonesia terlalu luas, sementara cuti begitu pendek; pesawat adalah solusi.
Burung besi memang benar-benar memangkas durasi perjalanan. Sepuluh jam naik kereta dari Jakarta ke Yogyakarta menjadi kurang dari satu jam naik pesawat. Seminggu naik kapal laut ke Papua (itu pun kalau gelombang sedang jinak) dikompres jadi enam jam oleh kapal terbang.
Sejak tahun 2000-2001, ongkos pesawat “low cost carrier” benar-benar bersaing dengan tiket kereta api kelas eksekutif di akhir pekan. Maskapai-maskapai murah itu kebanyakan memang tidak menyediakan makanan gratis. Tapi menahan lapar selama satu sampai dua jam masih lebih baik ketimbang menderita duduk delapan jam di gerbong kereta.
Makanya wajar saja jika banyak orang yang bereaksi ketika harga tiket pesawat melangit naik saat libur Natal dan Tahun Baru, kemudian untuk sementara waktu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali membumi.
Dari mulai penumpang reguler, pengusaha, sampai wisatawan nusantara alias wisnus, semuanya kaget. Menurut YLKI, melansir KOMPAS.com, masyarakat syok dengan kenaikan harga tiket pesawat. “Ketika diskon diambil, ibarat koreng dicabut hansaplasnya, ya sakit,” ungkap Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI, dalam berita yang sama.
Keluhan-keluhan konsumen tentu saja tak bisa diabaikan. Meskipun fluktuasi harga pesawat sebenarnya diserahkan pada pasar, tergantung persediaan dan permintaan, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) akhirnya memutuskan untuk campur tangan. Alhasil, pada 13 Januari 2019 lalu INACA mengumumkan bahwa mereka sepakat untuk menurunkan kembali harga tiket pesawat.
Baiklah, kalau begitu. Harga tiket turun. Semua bisa mengelus dada. Tapi, apa jadinya nasib pelancong seandainya diskon benar-benar dicabut dan batas bawah harga tiket pesawat benar-benar dinaikkan?
Bagi yang mencari kenyamanan: persoalan
Pejalan yang sudah malang-melintang dan tumbuh berkembang di jalanan nusantara dan yang perjalanannya berada di luar kendali jatah cuti mungkin tak terlalu ambil pusing dengan kenaikan harga tiket pesawat. Masih banyak moda transportasi alternatif yang bisa dimanfaatkan: kendaraan pribadi, kendaraan orang lain (“hitchhiking”), bis, kereta api, kapal laut, dll. dll.
Selain lebih murah, menumpang moda-moda lain itu juga akan terasa lebih seru. Perjalanan berlangsung lebih lama, makin banyak yang bisa dilihat, bertemu dengan lebih banyak orang, dan, pada akhirnya, bisa bawa pulang lebih banyak cerita.
Tentu saja keseruan perjalanan seperti itu ekuivalen dengan penderitaan. Darah dan air mata akan jadi teman akrab, begitu juga dengan ketidakpastian dan tipu muslihat. Namun, jika dipikir-pikir lagi, bukankah darah, air mata, ketidakpastian, dan tipu muslihat yang dialami dalam perjalanan itulah yang kemudian akan membuat seorang pejalan jadi lebih dewasa?
Hanya saja, tidak semua orang siap dengan pengalaman itu. Sebagaimana ada yang berpikir bahwa traveling adalah sebuah pencarian, tentu ada juga orang yang beranggapan bahwa perjalanan adalah (sekadar) liburan. Saya punya uang, saya berangkat liburan Jumat malam, saya bayar, saya senang, dan Minggu malam saya kembali ke kamar dan gemetar menanti Senin.
Tidak ada yang salah memang. Namun, pejalan seperti itu pasti akan mengeluh saat menghadapi 11 jam naik bis dari Medan ke Banda Aceh, atau 34 jam perjalanan berganti-ganti angkutan dari Mataram di Lombok ke Sape di Sumbawa terus menyeberang ke Labuan Bajo di Flores. Mending naik pesawat.
Ketika maskapai-maskapai penerbangan bareng-bareng menaikkan harga, tentu saja mereka yang lebih nyaman liburan naik pesawat akan berpikir dua kali sebelum memesan tiket si burung besi. Bagi pihak terakhir, ini adalah sebuah persoalan. Tapi, bagi para “kritikus” dunia perjalanan yang kerap mempermasalahkan kehadiran turis secara massal di suaka margasatwa atau di lokasi-lokasi spiritual, kenaikan harga tiket pesawat tentu adalah kabar baik.
Menurunkan minat untuk traveling atau mengubah preferensi destinasi traveling?
Lalu, apa dampaknya bagi para pejalan jika ongkos pesawat benar-benar dinaikkan? Tak ada yang bisa memastikan. Kita hanya bisa mereka-reka.
Bisa jadi minat untuk traveling akan menurun. Anggaran untuk traveling akan dimanfaatkan untuk hal-hal lain, misalnya membeli properti yang harganya sebentar lagi akan mencapai “the dark side of the Moon”; investasi emas atau reksadana; menonton konser musisi internasional, dll. dsb. Untuk apa menghabiskan uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk membayar DP rumah hanya untuk merasakan pengalaman artifisial selama dua malam di sebuah destinasi wisata?
Atau, kemungkinan kedua, minat publik untuk traveling takkan berkurang, namun preferensi dalam memilih destinasi (dan gaya perjalanan) jadi berubah.
Jika sekarang destinasi domestik menjadi pilihan, mungkin selanjutnya para pejalan Indonesia akan berbondong-bondong membikin paspor dan melancong ke negara-negara Asia Tenggara yang tiket pesawat menuju ke sana tidak semahal penerbangan domestik.
(Sebagai imbas dari penurunan (atau penghilangan) jatah bagasi, barangkali akan terjadi “migrasi” besar-besaran para pejalan dari koper pada ransel besar yang lebih praktis yang bisa leluasa dibawa ke kabin. Tidak mustahil cara bepergian ultra ringkas jadi semakin populer dan ke mana-mana pejalan hanya memanggul ransel kecil.)
Kemungkinan lain, traveling ke destinasi-destinasi dekat akan jadi lebih diminati, terlebih ketika banyak ruas tol yang sudah rampung (misalnya, perjalanan Solo-Surabaya di malam hari sekarang hanya sekitar 3 jam naik mobil via tol), sehingga, mudah-mudahan, pariwisata lokal jadi lebih menggeliat.
Entahlah. Apa pun bisa terjadi jika harga tiket pesawat dinaikkan. Yang pasti, harga tiket pesawat sekarang sudah turun kembali. Tak main-main, “nyungsep” sampai 60%.