Hari, bulan, dan tahun berganti. Waktu terus berjalan tanpa kenal henti. Begitu pun dengan hasrat hati ini yang ingin terus mencari jati diri. Aku mau menjadi orang yang terus berjalan, mencari dan mencari, hingga menemukan tujuan, juga keindahan-keindahan untuk dirasakan dan dikenang.

Bulan Agustus kemarin, saat libur semester, pencarian itu membawaku ke Bandung.

Semula, perjalanan ke Kota Kembang itu hendak kulakukan bersama dua orang teman. Namun sayang sekali kedua teman dekatku itu tidak jadi berangkat. Mereka punya beberapa urusan kuliah yang mesti diselesaikan. Tentu aku kecewa.

Namun, dengan berani akhirnya aku mengambil keputusan untuk pergi liburan sendirian ke Bandung. Modal uang hasil tabungan selama satu semester kurasa cukup untuk membiayai hidup dan perjalanan ke tempat-tempat wisata selama di Bandung.

Tepat tanggal 1 bulan Agustus, aku pergi ke Stasiun Lempuyangan untuk memesan tiket kereta api. Ketika di loket, betapa kecewanya aku mendapati bahwa tiket ke Bandung untuk tanggal 3 Agustus ternyata sudah terjual habis. Tapi kucoba menahan kekecewaan dan mengalihkan energi untuk memikirkan alternatif lain.

kota bandung
Lalu lintas kendaraan di kawasan Jalan Braga, Bandung via TEMPO/Subekti

Aha! Ada mesin pemesanan tiket. Aku pun bergegas menuju ke sana. Puji Tuhan, ada tiket ke Bandung untuk keberangkatan hari Selasa jam 14.00 (tiba di Bandung jam 23.10). Langsung saja kupesan tiket pulang-pergi Bandung-Yogyakarta (Rp170.000).

Kencan pertamaku dengan Bandung pun dimulai begitu aku naik kereta menuju Kota Kembang. Inilah pertama kalinya aku berangkat liburan sendirian di tanah orang, tanpa teman atau pasangan.

Begitu jam menunjukkan pukul 23.00 lewat, saat kereta pelan-pelan menggelinding menuruni perbukitan, Kota Bandung mulai kelihatan dari balik jendela. Senang sekali rasanya tiba di tujuan dengan selamat. Di stasiun, aku dijemput oleh Selvi, saudari sekampung yang sedang kuliah di ISBI Bandung.

Keliling Bandung dari pagi sampai malam

Sekitar jam 7 pagi keesokan harinya, aku dan Selvi sudah siap-siap berangkat jalan-jalan. Kami menyewa motor sehari (Rp70.000) untuk berkendara ke beberapa tempat. Karena Selvi belum terlalu hafal Bandung, kami jalan-jalan dipandu aplikasi peta.

Pertama kami pergi ke Alun-alun Bandung dan Masjid Agung, terus kami pindah ke Balai Kota Bandung. Aku suka sekali tempat yang terakhir ini, dengan pohon-pohon besar yang menjulang dan labirin kecil yang instagenik. Langit yang cerah dan udara yang bersahabat membuat kami betah di sana.

kota bandung
Warga duduk di dekat aliran kanal dari Sungai Cikapayang dekat Balai Kota Bandung via TEMPO/Prima Mulia

Baru menjelang tengah hari kami pergi ke kosan teman tak jauh dari Balai Kota Bandung untuk makan siang dan istirahat.

Saat sudah agak sore, kami melanjutkan perjalanan ke Curug Cimahi yang ternyata lumayan jauh dari Kota Bandung. Perlu waktu satu jam bagi kami untuk berkendara ke sana.

Untuk masuk kawasan Curug Cimahi, kami menebus tiket seharga Rp20.000 per orang. Tapi sayang sekali waktu kami tiba air tidak mengalir dari curug itu. Makanya kami hanya beberapa menit di sana dan segera berlalu ke tujuan berikutnya, yakni Dusun Bambu.

Dusun Bambu hanya lima belas menit perjalanan dari Curug Cimahi dan tiket masuknya sedikit lebih mahal (Rp30.000 per orang). Di tempat ini suhu lebih rendah dan dingin air sebelas-dua belas dengan es. Tapi pemandangan di Dusun Bambu begitu indah. Banyak sekali sudut yang bagus untuk difoto.

Berjalan kaki, kami mengelilingi areal Dusun Bambu. Kami lewat rumah-rumah kayu di atas air, Taman Bunga Arimbi, taman bermain anak-anak, restoran, Rumah Kelinci, dan pojok-pojok lain yang tak kalah menarik. Lama sekali kami foto-foto di sana, sampai-sampai tak sadar bahwa hari mulai gelap. Saat pulang, kami mesti berjuang menahan dingin yang menusuk tulang.

Mampir ke Kawah Putih dan kebun teh

Capek setelah keliling-keliling seharian, keesokan harinya aku dan Selvi sepakat untuk istirahat sampai sore. Malam harinya baru kami pergi menikmati suasana Kota Bandung di malam hari. Kami sempat mampir ke Jalan Asia-Afrika untuk melihat-lihat bangunan tua, seperti Gedung Konferensi Asia-Afrika dan Gedung Merdeka.

Hari ketiga, Jumat, kami berangkat ke Kawah Putih. Perjalanan ke kawah legendaris ini lumayan jauh, melewati tanjakan dan turunan, dan menembus desa dan hutan. Sepanjang perjalanan, udara terasa sejuk dan kabut masih menyelimut.

Perkebunan Teh Gambung, Ciwidey via TEMPO/Anwar Siswadi

Setiba di parkiran Kawah Putih, kami estafet naik angkutan lain menuju puncak kawah.

Senang sekali rasanya ketika akhirnya menyaksikan dengan mata kepala sendiri wujud Kawah Putih setelah melewati perjalanan panjang. Di sana, dengan masker di mulut dan hidung untuk melindungi organ pernapasan dari belerang, kami foto-foto dan menikmati suasana selama beberapa jam.

Merasa cukup, kami pun undur diri dari Kawah Putih. Lucunya, ketika di parkiran, saat membuka aplikasi peta, kami tak sengaja menemukan lokasi perkebunan teh di daerah Ciwidey. Kami pun mengubah rencana. Sebelum kembali ke Bandung, kami mampir dulu ke perkebunan teh sekadar untuk menyantap mi rebus panas dan minuman segar.

Hari terakhir berkencan dengan Bandung

Tak terasa aku sudah empat hari saja di Bandung. Waktu kencanku dengan Parijs van Java pun hampir berakhir.

Sebelum pulang, aku menyempatkan diri mampir ke rumah keluarga di Jatinangor. Ditemani beberapa orang saudara—setelah mampir ke Gedung Sate dan Monumen Pancasila—aku ke Jatinangor naik DAMRI. Untuk ke Jatinangor, bus itu lewat jalan tol yang diapit hamparan sawah hijau. (Aku juga sempat sekelebat melihat kampus-kampus elite di Bandung, seperti Unpad dan IPDN.)

Pukul 18.00 peluit kepala stasiun melepas kepergian kereta dari Bandung ke Yogyakarta. Kota Kembang pun menjauh seolah disembunyikan senja. Aku seperti tak sanggup mengucapkan selamat tinggal pada Bandung dan kenangan-kenangannya. Tapi, apa daya, aku mesti kembali ke Kota Istimewa… demi masa depan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

Curug Ngebul, Mi Hangat, dan Jejak Gunung Api Purba 17 November 2020 - 13:05

[…] di sela-sela batuan keras sisa-sisa gunung api purba. Asal-muasal sumber airnya bisa jadi dari kawasan Ciwidey. Hal ini saya simpulkan dari salah seorang anggota Linmas Desa Celak, Gunung Halu, yang kebetulan […]

Reply

Tinggalkan Komentar