Kenapa Orang Menjelajah sampai ke Ujung Dunia?

Pernah bertanya-tanya apa yang menggerakkan para penjelajah (frontier travelers) untuk pergi ke tempat-tempat yang bagi kita tak masuk akal untuk ditelusuri—padang gurun, pegunungan salju yang jarang ditapaki manusia, samudra lepas tanpa batas, kutub utara dan kutub selatan, atau luar angkasa?

Laing dan Crouch, dalam “Lone Wolves? Isolation and Solitude within the Frontier Travel Experience” (2009), mewawancarai 37 penjelajah dan melakukan analisis isi terhadap 58 memoar dan buku harian para petualang. Mereka mengungkap motivasi-motivasi di balik “kegilaan” para penjelajah itu melakukan perjalanan-perjalanan akbar ke ujung dunia.

Jadi motivasi apa saja yang bikin mereka menjelajah?

pejalan-aras
Berdiri di pinggir tebing via pexels.com/Marius Venter

Kebebasan (freedom)

Seorang penjelajah kutub bernama Aaron mengaku bahwa ia jadi bisa menikmati kesendirian dan terlepas dari tekanan orang-orang di sekelilingnya. Ia sadar bahwa cara berpikirnya agak beda dari orang lain, dan itu sering berujung pada konflik. “Jadi Kutub Utara adalah tempat yang bagus buatku!” (hal. 332).

Terlalu banyak tekanan dan kekangan dalam kehidupan modern, entah dari orang terdekat, keluarga, atau bahkan pekerjaan. Dengan bertualang ke tempat-tempat sepi yang jauh dari peradaban, mereka bisa membebaskan diri dari tekanan-tekanan itu dan kembali pada hal-hal esensial, hal-hal paling mendasar yang menunjang kehidupan seorang manusia.

pejalan-aras
Ilustrasi perjalanan dengan balon udara via pexels.com/Bess Hamiti

Autentisitas pengalaman (the authenticity of experience)

Motivasi lain yang mendasari para penjelajah itu untuk menyambangi ujung-ujung bumi adalah keinginan untuk merasakan pengalaman yang autentik, meskipun sebenarnya mereka “hanya” mengikuti jejak-jejak “peziarahan” petualang-petualang lawas, “pahlawan-pahlawan” dari abad-abad silam.

Tapi autentisitas pengalaman ini sekarang terdisrupsi oleh kemajuan teknologi. Sarah, penjelajah Kutub Selatan, mengeluh bahwa rasa keterpencilan yang dialaminya di Kutub Selatan direnggut oleh kemudahan berkomunikasi. “Kami punya telepon satelit, PDA, kami punya semua peralatan yang menguhubungkan kami dengan dunia luar sehingga kesan bahwa kami berada di tempat terpencil tak sebesar yang pernah saya rasakan ketika saya naik gunung …” (hal. 334).

pejalan-aras
Gurun pasir via pexels.com/Pixabay

Spiritualitas (spirituality)

Berada di tempat-tempat di mana manusia cuma jadi titik kecil, butiran debu yang tak berarti, tentulah akan mempengaruhi spiritualitas para penjelajah. Spiritualitas di sini bukan hanya soal hubungan antara makhluk dan pencipta, namun juga antara manusia—para penjelajah itu—dan alam.

Di tempat-tempat yang jauh dari peradaban itu, seseorang bisa melepaskan diri dari interaksi sosial dan berfokus pada interaksi dengan alam. Menurut Bryan, seorang pendaki solo, “Interaksi sosial dapat menghalangi [keterhubungan] antara dirimu dan lingkungan. Jadi kalau kamu mengenyahkan [interaksi sosial] itu, kamu lebih fokus pada apa yang terjadi di sekelilingmu dan itu, bagiku, adalah penting …” (hal. 334).

pejalan aras
Pegunungan berpuncak salju via pexels.com/eberhard grossgasteiger

Keheningan (silence)

Sebagian penjelajah itu tergoda untuk menelusuri sudut-sudut bumi demi merasakan keheningan. Dalam kehidupan modern, apalagi urban, keheningan adalah sebuah kemewahan. Peter Hillary sang penjelajah wilayah kutub menganggap keheningan yang ia alami di ujung bumi sebagai keheningan yang mempertajam indera. “Aku menyukai keheningan mengagumkan yang datang saat angin berhenti berhembus. Itu membuatku merasa bahwa pegunungan sedang memasang telinganya padaku ….” (hal. 335).

Tapi sebagian lain menganggap keheningan itu menakutkan. Penulis Jonathan Waterman, petualang solo, cemas bahwa keheningan itu akan menjadi semacam lubang yang akan memerangkapnya dalam dunianya sendiri. Jika kebablasan, ia takut akan susah baginya, ketika pulang nanti, untuk kembali berbagi dengan partnernya, menjalani rutinitas, belanja, dan hidup dalam ruangan (hal. 335).

pejalan-aras
Menyepi di gua via pexels.com/Marius Venter

Kesempatan untuk berefleksi (opportunities for reflection)

Kesunyian yang dialami di tempat-tempat jauh itu memberi para penjelajah kesempatan untuk merefleksikan diri. Tersedia ruang yang sangat lebar untuk berpikir tentang segala hal, termasuk soal menata hidup (sampai sangat detail) sepulang dari penjelajahan, seperti yang dialami oleh Jonathan, seorang penjelajah kutub.

Saat trekking, Jonathan dan rekannya berganti peran sebagai leader setiap dua puluh menit sekali. Setiap kali ia berada di belakang, ia berpikir tentan banyak hal: “Oh … Aku baru saja memikirkan soal rencana bisnisku, [evaluasi bisnis] tahun kemarin, dan rencana-rencana apa saja untuk tahun depan dan apa yang akan aku tulis nanti malam di buku harian,” ungkapnya (hal. 335).

pejalan-aras
Batu karang dihantam ombak via pexels.com/Sebastian Voortman

Tantangan (challenge)

Keterpencilan tempat yang dijelajahi berhubungan dengan besarnya tantangan atau risiko (hal. 336). Untuk bertahan menghadapi medan, para penjelajah harus menghadapi segala tantangan dan risiko itu dengan sebaik-baiknya.

Namun, kesadaran atas tantangan atau risiko itulah yang justru memberi mereka kekuatan—terlebih ketika bertualang sendirian. “Aku belum pernah benar-benar sendiri, dan meskipun membuatku gelisah itu juga memberikan kekuatan padaku,” tulis Joe Simpson dalam Touching the Void.

pejalan aras
Jalan di tengah gurun via pexels.com/The Lazy Artist Gallery

Aktualisasi diri (self-actualization)

Pengalaman melakukan penjelajahan bisa jadi sebuah sarana untuk pengembangan diri (hal. 337). Bagaimana tidak jika dalam penjelajahan seseorang harus benar-benar bergantung pada dirinya sendiri dan berada sangat jauh dari kemudahan yang ditawarkan oleh peradaban.

Hal ini tak hanya dirasakan oleh para penjelajah kontemporer. Para penulis cum penjelajah dari beberapa abad silam seperti Thoreau, Emerson, dan Montaigne sepakat bahwa kesunyian (dalam penjelajahan) membantu kita untuk mengeksplorasi atau menemukan kembali diri kita (hal. 337).

Jadi, berminat untuk mengikuti jejak para lone wolves itu untuk menginjakkan kaki di sudut-sudut terpencil dunia
—atau alam semesta?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Leave a Comment