Saya berkendara dari pusat kota Sukanagara, Cianjur, ke arah selatan menuju Sukarame. Jaraknya sekitar delapan kilometer. Sukarame berada di ujung selatan Kecamatan Sukanagara, dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Desa ini pasti dilalui jika kita ingin pergi dari Sukanagara ke Sindang Barang atau Cidaun di pesisir selatan.
Matahari mulai condong ke arah barat. Angin dingin pegunungan berembus perlahan, menusuk pori-pori kulit. Beberapa kendaraan melaju cepat. Seolah berkejaran melintasi punggung-punggung bukit perkebunan teh, yang terhampar di antara Sukakarya dan Sukarame.
Sabtu petang itu (22/4/2023) saya menyengaja bertandang ke Sukarame. Tujuannya hanya satu, yaitu ingin menikmati kabut senja khas pegunungan. Walau pada akhirnya tetap gagal menikmati senja berkabut di desa ini.
Sukarame Dahulu dan Sekarang
Kedatangan pertama saya ke Sukarame sudah terjadi 30 tahun silam, untuk sebuah keperluan. Persis dua bulan setelah pemilihan umum (pemilu) yang terselenggara secara serentak pada 9 Juni 1992. Kabut tebal menyambut kedatangan saya ke desa yang sunyi kala itu. Saya juga sampai harus menginap beberapa pekan di desa tersebut.
Saya menginap di sebuah rumah panggung sederhana milik seorang warga. Berdinding bilik dan mempunyai tiga jendela. Sayangnya, seperti sebagian rumah penduduk lainnya, rumah tersebut tidak memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK). Untuk keperluan mandi, mencuci baju maupun buang hajat, saya terpaksa harus lari ke sungai yang terletak di tengah-tengah kebun teh. Atau, nebeng ke rumah tetangga yang memiliki fasilitas MCK.
Pada tahun segitu, jaringan listrik sama sekali belum tersedia di Sukarame. Untuk penerangan rumah di malam hari, warga mengandalkan lampu petromaks atau semprong. Maka saat malam hari kondisi di luar rumah benar-benar gelap, kecuali bulan sedang terang purnama. Sehabis isya, Sukarame seperti desa mati. Nyaris tak ada kehidupan.
Beberapa minggu tinggal di Sukarame membuat saya seolah benar-benar terputus dari dunia luar. Terisolasi. Meski demikian, saya menikmati kondisi itu. Lebih-lebih udara sejuk yang saya hirup saban hari, membuat badan serta pikiran lebih rileks. Hampir sepanjang hari kabut tebal turun menyapa. Nuansa pegunungan benar-benar terasa.
Dari penuturan salah seorang aparatur desa, di awal tahun 1990-an mayoritas warga Sukarame bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan. Ada juga yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Salah satu problem yang menonjol di Sukarame ketika itu adalah angka putus sekolah yang masih tinggi. Sebagian besar anak di Sukarame tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SD. Penyebabnya antara lain faktor biaya dan jarak ke sekolah yang cukup jauh.
Kini, setelah tiga dasawarsa berlalu, saya kembali menginjakkan kaki di Sukarame. Saya berhenti persis di depan SD Negeri Sukarame.
“Apakah anak-anak sekarang masih banyak yang putus sekolah setelah tamat SD? Mudah-mudahan tidak,” batin saya sembari mengamati plang sekolah yang berdekatan dengan kantor desa Sukarame.
Sementara di sepanjang jalan saya melihat tiang dan kabel listrik dan telepon berderet. Itu artinya jaringan listrik dan telekomunikasi telah masuk ke Sukarame. Desa ini tak lagi terpencil seperti saat saya datang untuk pertama kalinya. Dua menara besar milik operator seluler juga terlihat menjulang di sekitar SD Negeri Sukarame dan kantor desa.
Tak Ada Kabut Lagi di Sukarame
Bangunan-bangunan di sekitar sekolah terlihat banyak yang telah berubah. Selain itu, lalu lintas kendaraan relatif lebih ramai. Sepeda motor, yang dulu langka di desa ini, tampak berseliweran. Sebaliknya, ada satu hal yang tidak terlihat lagi di Sukarame: kabut jatuh tatkala senja.
“Kabut paling ada pagi hari. Itu juga kadang-kadang. Kalau petang, sekarang ini, tidak pernah ada lagi kabut,” kata seorang bapak yang membuka sebuah warung di teras rumahnya. Lokasinya beberapa ratus meter ke selatan dari SD Negeri Sukarame.
Mengutip Rutledge dkk (2022), kabut muncul ketika uap air, atau air dalam bentuk gas mengembun. Selama proses pengembunan, molekul uap air bergabung untuk membuat tetesan air kecil yang cair dan menggantung di udara. Disebutkan pula bahwa kabut terjadi saat cuaca sangat lembap dan harus ada banyak uap air di udara agar kabut terbentuk.
Sementara itu, Haby (2014) menjelaskan bahwa kabut cenderung lebih tebal dan bertahan lebih lama di kawasan perdesaan. Alasannya adalah suhu dan kelembapan. Kelembapan cenderung lebih tinggi di daerah perdesaan. Area dengan konsentrasi kelembapan yang lebih besar akan lebih mungkin mengalami kabut.
Berdasar informasi tersebut, saya kemudian menarik sebuah kesimpulan. Tidak adanya kabut senja di Sukarame sekarang dapat bermakna bahwa konsentrasi kelembapan di desa itu sepertinya telah berkurang secara signifikan. Rentang 30 tahun memang waktu yang lumayan panjang untuk terjadinya banyak perubahan. Termasuk soal perubahan lingkungan, seperti yang terjadi di Sukarame, yang menjadikan kabut senja menyingkir dari desa ini.
Referensi
Rutledge, K., dkk. (2022). Fog. National Geographic Society. https://education.nationalgeographic.org/resource/fog.
Haby, J. (2014). Why is Fog More Common in Rural Areas?. The Weather Prediction. https://www.theweatherprediction.com/habyhints/192.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.