Travelog

Kenangan Menapaktilasi Tembang-tembang Lord Didi

Waktu saya kecil dulu, bapak cukup sering memutar lagu-lagunya sembari melakukan pekerjaan harian. Begitu juga ketika musim mudik tiba, “Stasiun Balapan” hingga “Tanjung Mas Ninggal Janji” mengalun merdu dalam bus ekonomi yang kami tumpangi dari Ungaran menuju Madiun.

Saya nggak nyangka aja setelah lebih satu dekade berlalu tembang-tembang sang penyanyi, Didi Kempot, kembali bermunculan mewarnai dunia musik Indonesia. Dulu penggemar Didi Kempot kebanyakan kaum tua yang mengerti bahasa Jawa. Sekarang justru anak muda milenial yang menggandrunginya.

Setelah Didi Kempot meluncurkan single “Ambyar” baru-baru ini, istilah “Sobat Ambyar” muncul. Mereka ini barisan penggemar Didi Kempot yang saya rasa punya ikatan tersendiri dengan lirik-lirik dalam lagu-lagu Didi Kempot.

Tapi, sepertinya nggak cuma barisan tersakiti atau mereka yang patah hati yang bisa menikmati lagu-lagu Lord Didi, tapi juga penikmat perjalanan seperti saya. Soalnya, banyak di antara lagunya yang diberi judul nama tempat penuh kenangan, misalnya “Stasiun Balapan.”

Mengawali pagi ini, saya membayangkan kembali perjalanan beberapa tahun lalu yang mengingatkan saya pada sederet lagu Didi Kempot.

Jadi, waktu itu, berdua dengan seorang kawan saya naik kendaraan roda dua menuju Solo. Saat itu kami berencana “menculik” seorang teman yang sudah hampir setahun nggak bisa diajak pindah tidur. Tujuan kami memang bukan liburan waktu itu, hanya sekadar mau melepas rindu dan ngobrol ngalor-ngidul sampai pagi.

Sebelum siang, saya dan dua orang kawan ini akhirnya bertemu di seberang “Stasiun Balapan” sebelum melanjutkan perjalanan ke landas pacu paralayang yang terletak di salah satu sisi Pantai “Parangtritis.” Kami bermalam di sana dalam tenda dan membakar ikan kakap merah juga sate udang untuk santap malam.

Esoknya, kami memutuskan mampir sejenak ke Gunung Api Purba Nglanggeran untuk menikmati senja di sana. “Banyu Langit” sayup-sayup terdengar dari sebuah radio kecil di ujung gazebo yang secara tiba-tiba mengingatkan saya pada sang mantan. Ah, perih!

Ademe gunung merapi purba

Sing neng langgran Wonosari Yogjokarto

Janjine lungane ra nganti suwe-suwe

Senja itu begitu berwarna. Tapi sayangnya suasana hati saya nggak sebagus itu juga. Rencana menikmati “Angin Malioboro” pun kami urungkan karena ingin segera menutup hari dengan kembali ke Solo.

Matahari terbenam di Embung Nglanggeran/Istimewa

Karena kawan boncengan saya itu harus melanjutkan perjalanan ke Karanganyar, esok paginya saya kembali ke Semarang menumpang bus dari “Terminal Tirtonadi.” Kebetulan saya naik bus hijau yang terkenal lambat itu. Mungkin karena saya terlalu capek dan bus yang saya tumpangi terlalu pelan, saya terlena dan begitu bangun menemukan diri terdampar di “Terminal Terboyo.” Apes? Nggak juga. Saya malah bisa menikmati sore di “Tanjung Mas Ninggal Janji.”

Kalau dipikir-pikir, nggak hanya itu saja lagu Didi Kempot yang mengambil latar suatu tempat. Ada banyak lagu lain semisal “Pasar Klewer” (Solo), “Pantai Klayar” (Pacitan), “Telogo Biru” (Gunung Kidul), “Teluk Penyu” (Cilacap), “I Love Kebumen,” “Jembatan Suramadu,” dan “Dalan Tembus” yang menceritakan jalan terjal berliku antara Telaga Sarangan dan Cemoro Sewu. Dan sepertinya masih banyak lagi nama tempat dan kota yang dijadikan judul lagu oleh sang bapak baptis insan-insan patah hati itu.

Hari ini saya salah satu dari jutaan manusia yang berduka. Sugeng tindak, Pakde! Karyamu akan selalu menemani ruang perjalanan dan patah hati kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mauren Fitri

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *