Photo Essay

Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1)

Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi Cetho pada pertengahan Mei 2023, mendaki Gunung Sumbing via Banaran dua bulan setelahnya adalah perjalanan remedial. Mengobati rasa penasaran atas pendakian sebelumnya yang terhenti di separuh jalan pada Desember 2022. Saat itu saya, Rino alias Badak, Emma, dan Evelyne terpaksa membuka camp beberapa meter sebelum tebing Watu Ondo. Fisik Emma drop dan tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

Kali ini, dengan personel tetap ditambah lima kawan dari Surabaya—Lukas, Henny, Rendra, Dio, dan Livi—kami kembali ke Banaran. Dusun dengan ketinggian 1.071 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang jadi salah satu pintu masuk menuju Puncak Rajawali. Para pendaki mengenalnya Sumbing East Route. Rute timur yang sangat menantang karena tanjakan konstan, jarak yang cukup jauh (sekitar 8 km), dan harus melewati luasnya kaldera Segoro Banjaran sebelum puncak.

Dan memang itulah yang kami cari, yaitu melengkapi pengalaman. Banaran adalah jalur yang komplet. Di sinilah fisik diuji, lutut dan betis diurut, dan keringat diperas. Namun, cuaca benderang di hari pertama menghibur hati. Kami optimis pendakian dua hari satu malam ini berjalan lebih baik dari sebelumnya. Kami hanya harus bersabar meniti sedikit demi sedikit langkah di atas jalan setapak.

Awal yang baik untuk melangkah

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri: Emma (memanggul tas) yang membonceng Badak ikut melihat lautan awan dalam perjalanan menuju basecamp Banaran, Tembarak, Kabupaten Temanggung. Waktu tempuhnya 1,5 jam dari Kota Magelang. Pagi itu cuaca memang cerah dan tidak terlalu berangin. Kanan: Tampak belakang basecamp Banaran yang menempati gudang penampung hasil pertanian. Saat ini sudah ada basecamp baru yang terletak sekitar 600 meter dari basecamp lama. Letaknya lebih tinggi, searah dengan jalur makadam dan perkebunan tembakau menuju pintu hutan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Suasana di dalam basecamp lama Banaran. Evelyne (paling kiri), Emma, dan LIvi tengah bersiap sebelum berangkat ke pintu hutan dengan ojek. Biaya registrasi pendakian adalah Rp15.000 per orang (sudah termasuk asuransi), ditambah Rp10.000 per orang untuk fasilitas basecamp (toilet dan mengecas gawai), dan tarif parkir Rp10.000 per kendaraan. Pagi itu (19/08/2023) tidak terlalu ramai pendaki. Kami adalah rombongan pertama yang naik. Karena armada ojek terbatas, kami meninggalkan basecamp secara bergantian mulai pukul 08.50 WIB.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya membonceng tukang ojek yang menggunakan motor matik. Berkendara 15 menit menuju pos nol (titik penurunan ojek) sangat menantang. Setelah 600 meter membelah jalan kampung yang menanjak, sisa sekitar 1,5 km ditempuh dengan menyusuri jalan makadam yang tak kalah terjal. Pengemudi harus andal dan lihai agar motor bisa melaju tanpa kehabisan tenaga. Untuk itu tas ransel ditaruh di depan pengemudi agar saya tidak terpelanting. Sekalipun begitu, saya tetap berpegangan erat pada behel motor karena cara mengemudi bapak ini sangat ngebut. Tarif ojek dari basecamp adalah Rp25.000 per orang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Seorang petani tembakau tertawa saat saya memintanya membuka topi dan tudung jaket, sehingga terlihat rambut gondrong yang disemir kemerahan. Ia mengatakan orang-orang Banaran yang hidup di lereng Sumbing biasa menanam tembakau jenis lamsi. Karakter rajangannya keras dan tebal, tetapi rasanya manis.

Salindia ke-2: Sejumlah petani membeber hasil panen daun tembakau yang sudah menguning di area pos nol (1.487 mdpl), tempat kami turun dari ojek. Suasananya meriah, penuh guyon dan gelak tawa.

Salindia ke-3: Seorang ibu baru keluar hutan dengan memanggul batang-batang kayu untuk bahan bakar perapian di dapur. Rasanya berat tas ransel dan logistik yang kami bawa tak sebanding dengan beban kayu yang ia bawa.

Tak perlu menggerutu di jalur berdebu

Trek ini bernama tangga eskalator. Salah satu ikon jalur Banaran. Dinamakan demikian karena bentuknya seperti eskalator di mal-mal, hanya saja tidak dijalankan mesin secara otomatis. Kami tetap harus berjalan manual. Mengangkat tinggi kaki melewati satu per satu trap anak tangga sepanjang setengah kilometer lebih sedikit. Dimulai dari Warung Ganesari (1.725 mdpl) hingga sepertiga jalan antara Pos 1 Seklenteng (1.880 mdpl) dan Pos 2 Siwel-Iwel (2.1.27 mdpl). Tak ada cara lain untuk melewatinya selain terus berjalan dengan sabar dan hapus segala keluh. Saat kemarau, jalur akan kering dan berdebu. Kontras dengan kondisi di musim hujan yang sangat licin dan agak berlumpur.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Pukul 12.10, berhenti agak lama di Pos 2 Siwel-Iwel untuk istirahat dan makan siang. Menunya nasi bungkus berisi nasi, sayur tumis, dan lauk telur dadar. Kami tertinggal cukup jauh di belakang Lukas, Henny, Rendra, dan Dio yang berjalan lebih cepat.

Salindia ke-2: Berurutan dari belakang, Badak, Emma, dan Evelyne sedang berhenti sejenak mengatur napas di tengah jalur. Tampak bekas batang pohon tumbang yang dipangkas dan tergeletak begitu saja di atas semak-semak. Kami menemukan banyak pohon tumbang di sepanjang jalur menuju Pos 3 Punthuk Barah, yang menunjukkan jejak badai hebat pada puncak musim hujan lalu.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Kawasan hutan mlanding yang tumbuh agak rapat. Ada bonus berupa trek datar saat melewati jalur ini, sebelum akhirnya agak menanjak mendekati Pos 3 Punthuk Barah.

Salindia ke-2: Kembali menyempatkan rehat sebentar di Pos 3 Punthuk Barah (2.411 mdpl). Jaraknya kira-kira 650 meter atau 1—1,5 jam perjalanan. Pos ini kadang jadi alternatif mendirikan tenda karena lahan datar cukup memadai. Biasanya digunakan pendaki berkemah jika fisik sudah tidak memungkinkan lanjut ke Pos 4 Watu Ondho, batas akhir camp. Namun, tidak ada sumber air di sini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya menyebutnya Pos Darurat (2.638 mdpl). Daerah terbuka di punggungan yang berjarak sekitar 500 meter dari Pos 3 Punthuk Barah. Di tempat datar sempit inilah kami membuka tenda pada Desember 2022 lalu. Saat itu sudah petang. Gerimis turun sehingga memaksa kami harus berhenti. Padahal tebing vertikal Watu Ondho sudah terlihat, sedikit lagi kami sampai di pos yang lebih nyaman untuk camp. Namun, keselamatan dan kesehatan lebih penting. Jika selepas Pos 3 terpaksa bikin camp darurat, ada tempat yang lebih layak. Letaknya di ketinggian 2.585 mdpl, 350 meter dari Pos 3.

Berjalan lebih jauh dari tebing cadas itu

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kabut sempat turun menyelimuti ujung punggungan bukit. Lukas dan kawan-kawan sepertinya telah tiba di Pos 4 Watu Ondho dan kelar bangun tenda. Sementara saya bersama Badak, Emma, Evelyne, dan Livi masih harus melalui tantangan terakhir, yaitu tebing Watu Ondho itu sendiri. Kami harus bergegas sebelum petang datang, karena masih ada tugas mengambil air di sumber yang cukup jauh dari camp.

Tebing Watu Ondho (2.690 mdpl). Tebing vertikal setinggi 6—8 meter. Satu-satunya jalan naik menuju Pos 4 Watu Ondho. Melihat batu cadas hitam keabu-abuan tersebut, jelas sekali jika saat hujan akan sangat licin dan berbahaya. Kanan-kirinya hanya jurang dalam menganga. Hidup bergantung pada uluran tali webbing dan seutas rantai yang menjuntai, terikat pada pasak-pasak besi yang tertancap di permukaan batuan. Kunci agar berhasil melewati tebing ini adalah kekompakan tim dan rasa percaya pada setiap pijakan kaki. Foto paling kanan dipotret saat turun gunung, yang lebih menantang dan sulit dibanding naik.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Jurang dalam di sisi kiri tebing. Sekali saja lengah dan kehilangan fokus, ya, sudah. Livi, kawan kami, sempat ingin menyerah tidak mau lanjut karena merasa takut dan tidak sanggup memanjat. Kami berusaha menenangkannya dan meyakinkan bahwa dia bisa. Soal bagaimana turunnya nanti, itu dipikir saat pulang besok.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Setibanya di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl) pukul 16.30, kami segera berbagi tugas. Lukas dan kawan-kawan yang sudah datang lebih dulu membantu mendirikan dua tenda yang dibawa saya dan Badak. Saya mengajak Badak mengambil air ke sumber air Semelik (2.791 mdpl), sementara Emma, Evelyne, dan Livi bergegas memasukkan barang serta menyiapkan logistik untuk makan malam. Rute ke mata air berjarak sekitar 300 meter. Naik sedikit lalu belok kanan melipir jalur antarpunggungan yang sangat terbuka tanpa naungan apa pun. Lokasinya memang tersembunyi, di celah lembah dan berupa kolam jernih di aliran sungai kecil. Menurut pengelola basecamp Banaran, mata air ini tersedia sepanjang tahun. Berbeda dengan pipa air di Pos 1 Seklenteng yang tidak mengalir saat kemarau.

Petang yang berkerabat dengan malam

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Lukas (kiri) dan Henny, kawan asal Surabaya. Selain naik gunung, Lukas dan Henny hobi bersepeda jarak jauh antarkota dengan komunitasnya saat akhir pekan. Tak heran di setiap kesempatan pendakian bersama dua orang ini, jalannya sangat cepat. Fisiknya terlatih. Saya awalnya keteter mengikuti ritme langkah keduanya. Namun, pada akhirnya yang sering terjadi adalah membiarkan mereka berjalan dulu di depan, sementara saya santai saja di belakang.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tampak Dio (baju hitam) berjalan di antara tenda-tenda kami di areal camp Pos 4 Watu Ondho. Karena berada di punggungan yang terbuka, akan terasa bila terjadi angin kencang atau badai. Pasak tenda harus ditancap kencang-kencang di tanah. Tempat datar di pos ini memang tidak terlalu luas. Jika penuh—biasanya akhir pekan—pendaki bisa naik sekitar 50-100 meter dan akan menemukan satu-dua petak tanah yang memadai untuk mendirikan tenda.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tenda putih milik Rendra berkapasitas satu orang dengan latar guratan langit senja. Cuaca cerah hari itu masih mewarnai Pos 4 Watu Ondho sampai malam datang. Kami tidak bisa melihat jelas momen matahari terbenam, karena terhalang punggungan gunung. Pos ini memang pas untuk menikmati panorama matahari terbit, jika tidak ingin ke puncak lebih awal.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Emma (paling kiri), Evelyne, dan Badak masak bersama untuk menyiapkan makan malam. Kadang-kadang saya ikut membantu. Cuaca cerah dan tidak terlalu berangin, sehingga kami leluasa memasak di luar tenda. Sementara rombongan Surabaya sudah selesai makan karena membawa logistik sendiri. Sembari menunggu matang, saya bergegas keluar tenda dan menyiapkan peralatan fotografi. Atmosfer malam itu benar-benar nyaris bersih, memberi ruang bagi benda-benda langit menampakkan diri.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing
Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Ini adalah alasan terbesar saya mengatur jadwal mendaki di pertengahan Agustus 2023. Saat itu sedang dalam fase new moon atau bulan baru. Saya biasa menyebutnya bulan mati. Posisi bulan berada paling dekat antara bumi dan matahari, sehingga bayangan bulan redup atau tidak terlihat. Setidaknya sampai fase bulan Di masa tersebut bintang-bintang akan terlihat lebih jelas dan tampak gugusan milky way seperti foto ini.

(Bersambung)


Foto sampul:
Pemandangan sore tatkala gulungan awan menyelimuti Gunung Merapi (kanan) dan Merbabu. Dipotret dari Pos 4 Watu Ondho/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)