Pilihan EditorTravelog

Kampung Todo’, Hujan, dan Cerita Perjalanannya (2)

Hujan mulai reda setelah setengah jam menunggu di Compang Todo. Sebelum memasuki daerah wisata, kami menerima sedikit arahan dari Pak Daniel terkait rangkaian tur singkat nanti. Sebelum masuk, kami juga terlebih dahulu memakai sarung tenun Kampung Todo’, syal, dan ikat kepala.

Selain mengenakan kain khas manggarai, kami juga membayar biaya retribusi sebesar Rp45.000 per orang, sudah termasuk tiket masuk ke lokasi wisata, penyewaan kain adat, serta pemandu selama tur wisata nanti. 

Tradisi-Tradisi Unik Kampung Todo’ 

Rumah adat Todo
Rumah adat Todo/Nawa Jamil

Kami ditemani Pak Daniel selama tur mengelilingi Kampung Adat Todo’. Kampung ini dibangun membentuk lingkaran, dengan rumah utama di tengah-tengah. Semua rumah mengarah ke dalam, di area dalam, dapat ditemukan batu-batu menhir. Kata Pak Daniel, batu-batu tersebut merupakan tanda pemakaman nenek moyang di kampung ini. Walaupun bentuknya sama dengan beberapa Niang Mbaru yang ada di Manggarai, Niang Todo’ dengan bentuk atap kerucut dari jerami, dan bangunan yang berbentuk bundar. 

Jalan-jalan sekitar kampung dibangun dari batu-batu kali pipih yang besar yang tampak sudah sangat tua, dengan lima meriam peninggalan Belanda yang kami temui saat sebelum menaiki jalan-jalan batu di sekitar kampung ini. 

Faktanya, Kampung Todo’ yang kami kunjungi ini merupakan berawal peradaban Minangkabau. Selain itu, sebelum kerajaan Manggarai berpindah ke Ruteng, Kampung Todo’ ini merupakan pusat kerajaan Manggarai pertama, yang berpusat di Niang Mbowang, atau rumah induk. Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil di Todo, sebagaimana lokasi kerajaan tersebut. Namun, karena topografinya yang kurang baik mengingat Kampung Todo’ terletak di daerah pegunungan dengan kemiringan tanah yang beragam, pusat kekuasaan sipil pun pindah ke Puni, Ruteng. 

Tampak dalam rumah adat Todo
Tampak dalam rumah adat Todo/Nawa Jamil

Niang Todo’ ini terbilang unik dari segi sejarahnya. Dari kejauhan, kita bisa membedakan bentuk antara Niang Mbowang dengan rumah lainnya. Selain bentuknya yang lebih besar, di bagian puncak rumah juga terdapat terdapat ornamen yang disebut periuk, yang membedakan rumah ini dengan lainnya. selain itu, terdapat berbagai motif hias pada area sekitar pintu bangunan rumah adat ini serta bagian atasnya. Terdapat dua rumah adat pada sisi timur bangunan induk, yakni Niang Rato dan Niang Lodok. Selain itu ada juga dua rumah adat lainnya pada  sisi baratnya, yakni Niang Wa atau Keka dan Niang Teruk. Sedangkan di bagian depan bangunan induk terdapat Waruga. 

Begitu masuk, seorang pria tua telah duduk bersila, bersandar pada dinding kayu pembatas yang terletak di tengah-tengah rumah. Tidak seperti rumah utama di Wae Rebo yang ramai dan hidup, Niang Mbowang disini terlihat kosong dan sepi. Pak Daniel lalu mengarahkan kami berempat untuk duduk pada tikar anyaman khas Manggarai di sisi kanan pria tua tersebut, sementara Pak Daniel duduk persis di samping pria tersebut. 

Beliau memperkenalkan diri sebagai ketua adat kampung ini, Pak Agustinus namanya. Sore itu, beliau memimpin acara penyambutan kami berempat, dengan merapalkan berbagai doa-doa dalam bahasa manggarai yang diterjemahkan seperlunya oleh Pak Daniel. Setelah selesai, kami pun dipersilahkan bertanya dan menjelajahi rumah utama tersebut. Dahulu saat masih ditinggali, di dalam rumah ini dibangun bilik-bilik yang ditinggali per kepala keluarga. Kini, bilik kamar tersebut hanya tersisa satu yang ditinggali oleh anak Pak Agustinus. Meski tampak kosong, beberapa ornamen-ornamen yang terlihat penuh cerita dapat ditemui di sekitar rumah, seperti gendang, pedang, ukiran kayu, juga berbagai benda-benda yang hanya dikeluarkan saat ada acara-acara tertentu, seperti pernikahan.  

Di bagian belakang rumah terdapat satu tangga yang menghubungkan dengan kolong rumah. bagian rumah ini ternyata memiliki filosofi tersendiri. 

Tampak dalam rumah adat Todo (5)
Salah satu ruangan dalam rumah adat Todo/Nawa Jamil

“Kolong itu digunakan bagi ibu-ibu atau kaum perempuan yang hendak datang bekerja di bagian dapur saat akan diadakan acara di rumah utama ini, agar tidak melewati pintu utama dan mengganggu tamu yang hadir,” tutur Pak Agustinus. 

Tidak hanya sebagai jalur lewat saat acara tertentu, kolong, atau “lewat kolong” memiliki makna tersendiri saat pernikahan, khususnya saat menentukan mahar yang diberikan. Bagi perempuan di kampung Todo’, menikah dengan lelaki di luar Kampung Todo’ berarti memutus hubungan dengan keluarganya di kampung ini secara adat. 

Tampak ukiran unik di pintu rumah adat Todo/Nawa Jamil

Sekitar lima buah ukiran di bagian atap pintu masuk rumah mengisyaratkan bahwa anak-anak perempuan tersebut akan ditanyai hingga lima kali sebelum benar-benar mengambil keputusan pernikahannya, sebab, mereka yang menikah dengan orang luar tidak lagi berhak atas warisan yang ditinggalkan keluarganya, meskipun mereka tetap boleh berkunjung ke rumah orang tuanya di Kampung Todo’ ini. Saat sang pria datang melamar dengan jumlah mahar dan seserahan yang telah disepakati, istilah “kami masuk kesini lewat kolong” meskipun mereka secara harfiah memasuki rumah utama lewat pintu depan berarti mereka datang dengan mahar dibawah dari kesepakatan sebelumnya. 

Sayangnya, selain waktu kunjungan yang tidak begitu lama sebab kami baru mulai masuk saat sore, serta tujuan melihat gendang dari kulit manusia yang sudah pupus. Saya sempat bertanya kepada Pak Agustinus terkait gendang itu, tetapi beliau menolak bahkan untuk menceritakannya sebab katanya perlu diadakan upacara khusus sebelum mengeluarkan benda tersebut dari tempat penyimpanannya di rumah utama ini. 

Kain Tenun Manggarai 

Kampung ini merupakan sentra tenun khas Manggarai. Dapat terlihat begitu kami keluar dari rumah utama, banyak ibu-ibu dan anak-anak perempuan mereka yang telah siap menjajakan tenun hasil kerajinan mereka di sebuah rumah berbentuk persegi panjang yang terletak di samping rumah utama. Tenun-tenun berwarna warni dengan beragam corak tersebut terlihat sangat hidup dan kontras dari bangunan-bangunan di sekitarnya. 

Harganya pun cukup bersaing, mulai dari Rp200.000-Rp1.000.000 lebih per kainnya tergantung kualitas benang dan motifnya. Selain itu, mereka juga menjual produk tenun lain dengan harga yang lebih murah seperti ikat kepala dan syal, mulai dari Rp50.000 per kainnya. Harga ini tentu jauh lebih murah dibanding tenun yang kami temui di Wae Rebo tempo hari. 

Perjalanan Pulang

Setelah selesai dari Kampung Adat Todo’ dan melepas kain adat yang kami kenakan di Compang Todo, kami pun berpamitan dengan Pak Daniel dan Ibu Maria sebelum memulai perjalanan pulang. Tantangan kami temui sewaktu jalan pulang, sebab penerangan yang sangat minim, hanya berupa lampu kendaraan saja dengan medan yang cukup rusak menyebabkan ban motor kami pecah. Untung saja, ada warung terdekat yang buka malam itu. Beberapa pria baik hati menawarkan untuk membawa motor tersebut ke bengkel di desa terdekat, serta menawari kami tempat untuk beristirahat sejenak. 

Kami tiba di Lembor sekitar pukul 22.00. Kami beruntung mendapati satu warung nasi padang yang masih buka. Setelah selesai makan dan beristirahat selama sejam, perjalanan pulang ke Labuan Bajo kembali berlanjut dan segera selesai ketika lampu-lampu malam tersebut mulai terlihat, pemandangan lampu-lampu kapal pinisi yang bersandar di laut sekitar Labuan Bajo. Tepat tengah malam kami tiba di penginapan kami. Tidur lelap menjadi hadiah yang pantas untuk petualangan hari itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Membelah Laut Flores dari Makassar Menuju Labuan Bajo