Travelog

Niatnya Kamping di I’AMpelgading Homeland, Malah Berubah Serasa Uji Nyali

Mayoritas orang pasti akan melakukan perjalanan wisata pada hari libur kerja, seperti hari sabtu minggu. Namun, berbeda dengan saya yang mencoba mengunjungi tempat wisata pada hari aktif kerja. 

Bukan tanpa alasan mengapa saya memilih hari aktif untuk berwisata. Saya saat ini yang masih seorang penikmat pengangguran, menganggap bahwa semua hari bagi saya itu sama, hari libur semua adalah salah satu alasannya. Setelah merampungkan tugas akhir hingga sidang munaqosah di salah satu perguruan tinggi di Semarang, saya menjalankan hari-hari hanya dengan tidur, rebahan, bangun, ibadah, makan, mandi, sesekali menulis, tidur lagi, main PlayStation (PS). Hampir bisa dipastikan apa yang saya lakukan itu bisa dinilai oleh khalayak sebagai kegiatan yang unfaedah banget. Dan saya mengamininya. 

Mungkin dari deretan kegiatan unfaedah yang saya lakukan di atas, berwisata pada hari aktif kerja merupakan kegiatan yang masih berfaedah menurut saya.

l'Ampelgading Homeland
Suasana wisata I’Ampelgading saat sepi/Mohammad Iqbal Shukri

Saya merencanakan dan mengambil keputusan dalam waktu satu hari. Tiba-tiba muncul niat untuk berwisata, tapi tidak tahu mau menentukan wisata apa, yang bagaimana, seperti apa, dan di mana. Saya ambil dan nyalakan handphone, buka aplikasi Instagram menuju kotak pencarian, saya ketik kata kunci wisata di Semarang. Saya pilah-pilih, scroll dari atas ke bawah. Tidak ada yang menarik. Saya mengetik kata kunci lagi, hingga akhirnya mata ini tertuju pada akun instagram wisata I’AMpelgading Homeland. Saya lihat postingannya terlihat menarik dari pemandangannya yang ada deretan gunung-gunung, hingga hamparan rawa pening pun nampak. Menarik menurut saya kala itu. Niat saya kuatkan dan tekad pun saya bulatkan. 

Selanjutnya saya tentukan hari keberangkatan yang jatuh setelah dua hari penentuan itu. Singkat, padat, niat, dan tekad. Memang saat itu, musim penghujan. Tapi, ya begitulah namanya juga sudah niat. Pada hari keberangkatan berwisata, pagi harinya hujan, kemudian reda sebentar. Dan siang sekitar jam 12, hujan turun lagi meskipun tidak lebat, namun jika digunakan untuk perjalanan dari kos saya hingga tempat wisata tujuan, minimal basah kuyup lah. Tapi meski hujan datang, saya tetap jalan. Untung saja teman saya punya jas hujan. 

Sialnya, saya yang menyetir motor. Bukan karena takut basah, tapi helm yang saya gunakan tidak ada kaca pelindung wajahnya. Lantas, meskipun hujan rintik disertai angin yang lumayan kencang itu membuat mata saya berasa pedih. Ya sudahlah, nikmati saja, sambil nyetir pelan-pelan, dan menyipitkan mata hanya untuk melihat jarak pandang. Itu saya lakukan sekitar nyaris setengah perjalanan dari jarak kos hingga tempat wisata tujuan. Setengah perjalanan lagi, hujannya reda, kabut putih pun datang, menutupi pemandangan alam dan jarak pandang saya saat menyetir. 

Lika-liku jalan daerah Limbangan – Sumowono – Bandungan yang naik, turun dan menikung ditambah berkabut itu menguji saya untuk sabar dan sadar. Meskipun pelan, dan sesekali berhenti sejenak untuk istirahat dan melihat google map di handphone, akhirnya sampai tujuan tanpa tersesat. Tapi tetap capek. Manusiawi. 

Sepi dan Kabut Putih Menyambut

Sampai lokasi, saya parkir motor. Dan membayar tiket masuk untuk camp. Per Orang harga tiketnya dua puluh ribu rupiah,  parkirnya satu motor lima ribu rupiah. Jika hanya niat wisata saja, biaya masuk hanya sepuluh ribu rupiah per orang. 

Perasaan saya mulai tidak enak, karena suasana sepi sekali, hanya terdengar mesin pemotong rumput dan terlihat hanya dua motor yang sedang parkir. 

Saya langkahkan kaki menuju area camp. Sambil melihat, ada deretan warung, di mana setiap warung meletakkan kursi duduk di atas tempat meja makan, dengan posisi kursi terbalik, tanpa ada makanan, dan penjualnya. Ya, semua warung di situ tutup. “Mungkin para penjualnya hanya buka warung saat hari libur saja,” pikirku. 

Sampai di area camp, saya hanya bisa melihat, petugas yang sedang memotong rumput dengan mesin, beberapa gazebo kecil, tulisan nama tempat wisata I’AMpelgading Homeland, dan selebihnya pemandangan kabut putih yang menutupi objek sekitar. Tidak ada wisatawan sama sekali, nihil. Perasaan dag dig dug dor, terus menghinggapi hati dan pikiran saya, tapi masih bisa tertawa, dan terus bertanya-tanya. “Apa memang benar hanya kita sendiri?” 

Sambil mencari jawaban sendiri, “Mungkin ini konsekuensi, dari pilihan kita memilih berwisata pada hari aktif kerja.” Jawabku dalam batin dan pikiran yang sudah campur aduk. 

l'Ampelgading Homeland
Proses pendirian tenda/Mohammad Iqbal Shukri

Sudahlah,  langsung saja kami putuskan untuk mendirikan tenda. Beberapa menit kemudian tenda kami berhasil terpasang. Mendekati magrib, kami melihat ada wisatawan yang berjalan dan membawa perlengkapan camp, dan mereka bergerak mendirikan tenda. Pikiran saya lumayan tidak was-was,Syukur, ada temannya,” batinku, sembari menghela nafas. 

Setelah magrib, kami memasak mie instan dan sosis bekal persediaan makanan yang telah kami bawa. Perut kenyang, dilanjut ngobrol sebentar, kemudian kami putuskan untuk tidur, sebab saya melihat pemandangan di luar tenda masih terselimuti oleh kabut. Harapannya, besok pagi cuaca bersahabat dan kami bisa menikmati pemandangan. 

Belum sampai pagi, saya terbangun dan ingin buang air kecil. Hal yang tidak terduga terjadi. Tempat wisata itu gelap tanpa ada lampu yang menyala, padahal sore itu saat mendirikan tenda, saya sempat melihat di setiap gazebo dilengkapi lampu. Tapi malamnya saat saya terbangun suasana gelap gulita. Saat menuju ke toilet, dan melihat loket masuk tempat berkumpulnya petugas wisata itu, sepi tidak ada orang. Dan melihat ke gerbang wisata, portal telah terkunci dan menghalangi jalur masuk dan keluar wisata. Kami terkunci di dalam area wisata, tanpa ada petugas yang menjaga. 

Kami bertanya-tanya, dan mencoba menebak-nebak, “Mungkin karena hanya sedikit wisatawan, maka lampu atau listrik tidak dinyalakan, dan petugas berhak pulang. Keamanan diserahkan pada portal yang telah dikunci petugas” ucapku dengan rasa sedikit jengkel dan kecewa. 

Setelah kembali ke tenda, kami berusaha tidur kembali. Saya khususnya, setelah melihat area wisata yang gelap, tanpa ada petugas yang menjaga, malah timbul pikiran yang negatif dan hati was-was kembali. Berusaha memejamkan mata, tapi tetap tidak bisa tidur. Namun apa boleh buat hanya itu solusinya. Dan saya harus dipaksa menikmatinya hingga pagi. Saya memejamkan mata tapi saya sadar tidak tidur. Dalam keheningan malam itu, saya mendengar tiupan angin kencang, yang sesekali menerpa tenda kami. Suara hewan-hewan di sekitar juga tak mau kalah untuk meramaikan malam yang sunyi itu, seperti jangkrik, belalang, dan suara hewan lainnya. 

Batin dan pikiran saya berharap supaya secepatnya malam berlalu, berganti pagi hari.

Menikmati Keindahan Alam yang Disuguhkan  Tuhan

l'Ampelgading Homeland
Suasana wisata berkabut/Mohammad Iqbal Shukri

Adzan subuh tiba, angin-angin yang sepanjang malam riuh itu, seketika berhenti dan seolah hilang tak terdengar. Adzan subuh yang bersumber dari pengeras suara itu adalah sebuah tanda. Sebuah pertanda bahwa pagi telah tiba, batin yang was-was juga seketika ikut mereda, terpenjara tidak bisa tidur akhirnya usai. Setelah saya buka pintu tenda, kabut putih itu sudah tidak terlalu tebal, dan pemandangan alam seperti rawa pening, gunung-gunung dengan gagahnya menampakkan diri. 

Hingga saya merasa bahwa uji nyali kami terbayar dengan tuntas. Segala rasa capek, rasa was-was, dan segala ketegangan, tergantikan dengan cuaca yang mendukung, di mana kami bisa menikmati keindahan alam, suguhan dari sang Pencipta. Kami bisa berswafoto dengan riang dan gembira. Jalan-jalan, kemudian duduk dari satu gazebo berukuran dua setengah meter itu, menuju gazebo lainnya. 

Setelah kami merasa puas, dan memutuskan untuk pulang ke kos, di sepanjang jalan, kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa, petani yang sedang beraktivitas di ladangnya masing-masing, sawah-sawah yang ditumbuhi padi hijau, gemericik air yang mengalir ke area sawah, dan pohon-pohon rindang di sepanjang  pinggir jalan yang membersamai perjalanan kami pulang dapat terlihat, tanpa tertutup kabut seperti saat perjalanan berangkat ke lokasi wisata. 

Saya sangat bersyukur karena masih bisa menikmati pemandangan alam yang indah itu. 

Saya tidak bisa membayangkan, jika seandainya hanya kami saja yang kemping di situ. Ditambah jika cuaca terus tidak mendukung. Apa yang akan terjadi? Entahlah, mungkin hanya kekecewaan yang bersemayam.

Mohammad Iqbal Shukri tinggal di Semarang, kesehariannya sibuk berproses untuk menjadi pembelajar yang baik, dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Selebihnya suka menikmati kehidupan, hidupku, hidupmu, hidup mereka, dan selalu mengingat terhadap yang menghidupkan kita.

Mohammad Iqbal Shukri tinggal di Semarang, kesehariannya sibuk berproses untuk menjadi pembelajar yang baik, dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Selebihnya suka menikmati kehidupan, hidupku, hidupmu, hidup mereka, dan selalu mengingat terhadap yang menghidupkan kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *