Lokasi ketika tulisan ini dibuat ialah Sawangan, Depok. Dari tempat ini penulis dapat melihat puncak Gunung Gede dan Pangrango (Gede-Pangrango) bersama sahabatnya, Gunung Salak. Tapi, kesampingkan saja Kota Depok, lupakan Kecamatan Sawangan. Mari kita fokus pada gunung-gunung itu, pada salah satu titik di Gede-Pangrango, di sebuah sudut di atas awan itu, yakni Alun-alun Suryakencana.
Alun-alun Suryakencana terletak di Gunung Gede, gunung ketiga tertinggi di Jawa Barat setelah Ciremai dan Pangrango. Seperti halnya Gunung Prau di Dataran Tinggi Dieng, Gede adalah salah satu gunung hits untuk didaki. Kawasan Gunung Gede-Pangrango menjejakkan kakinya di tiga kabupaten, yaitu Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Gunung ini memiliki tiga jalur pendakian utama, yaitu Selabintana, Cibodas, dan Gunung Putri. Dua terakhir yang disebutkan merupakan jalur yang paling sering digunakan oleh para pendaki.
Saya memilih pendakian melalui Gunung Putri. Jalur ini terletak di Kabupaten Cianjur, dekat sekali dengan Istana Cipanas. Sebagai gambaran awal, Gunung Putri diyakini merupakan jalur tercepat menuju puncak dengan waktu tempuh sekitar 8 jam. Namun, kecepatan waktu tempuh juga terkadang berbanding lurus dengan sudut elevasi jalur pendakian. Cukup menguras energi anaerobik, terutama pada betis.
Namun, selain kemiringan jalur yang menguras energi, Gunung Putri ini tidak sekejam itu. Vegetasinya sangatlah rapat. Sepanjang sekitar 90 persen jalur menuju Suryakencana kita akan ditemani pohon-pohon yang menjulang tinggi sehingga perjalanan senantiasa teduh. Cocok bagi pendaki dengan perasaan sendu—inilah salah satu alasan saya memilih jalur ini. Sementara, sepuluh persen dari jalur adalah ladang pertanian warga. Berbagai macam sayur-mayur tumbuh di kaki gunung ini. Melihat hiruk pikuk petani ladang di awal pendakian tentunya akan menambah rasa syukur kita; setidaknya kita tidak akan kekurangan asupan nutrisi di negeri dongeng ini.
Memasuki pintu hutan
Ladang pertanian yang luas sepanjang mata memandang akhirnya terhenti di pintu hutan. Untuk mencapai pintu hutan dibutuhkan waktu sekitar 15-30 menit dari base camp. Pos polisi hutan berdiri di sini bersama dengan tempat pengolahan sampah pendaki.
Menurut warga desa yang saya temui kala mengolah sampah, dari sampah-sampah itu rupiah bisa dikais. Ia membongkar trashbag pendaki dan memisahkan mana sampah makanan dan botol plastik, atau dalam bahasa yang lebih modern organik dan non-organik. Melihat itu saya jadi terketuk. Manajemen sampah seharusnya sudah terpatri di pikiran para pendaki, terlebih ketika sebagian besar pendaki gunung ini ialah warga Jabodetabek yang tentulah paham mengenai sampah organik maupun non-. Semoga kita mampu mempraktikkannya dalam pendakian-pendakian yang akan datang. Amin.
Selepas berbincang dengan warga, saya melanjutkan perjalanan ke Pos 1. Perjalanan dari pintu hutan ini saya mulai pukul 07.00. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mencapai Pos 1. Vegetasi telah rapat oleh pepohonan dan trek kian curam. Di Gunung Putri memang sangat sedikit sekali bonus. Pohon-pohon menjulang menemani perjalanan. Selain meneduhkan, pohon-pohon itu juga jadi penyuplai oksigen yang tak putus-putus. Beruntung sekali kamu yang memiliki VO2 max yang tinggi, dengan kata lain kamu terbiasa olahraga selain mendaki, sehingga kapasitas paru-paru kamu mampu menyimpan oksigen yang banyak; kecil kemungkinan kamu mengalami penyakit “engap” di awal awal pendakian.
Setelah bertarung dengan engap dan trek yang curam, sampailah saya di Pos 1 Legok Leunca pada pukul 07.45. Pos ini berbentuk bangunan menyerupai jamur dengan tempat duduk di sekitarnya. Mirip payung pantai namun dengan lapisan semen dan batu. Di sini terdapat plang mengenai apa saja flora dan fauna yang terdapat di gunung ini. Kalau beruntung, kamu dapat melihat monyet tangan panjang sedang melompat di antara dahan pohon. Namun, tak seperti di Merbabu, monyet-monyet di sini cenderung menjauh dari manusia sehingga kamu hanya bisa melihat mereka dari kejauhan. Dan memang harusnya seperti itu. Bukan persoalan ramah atau tidak ramah; dengan tidak memberi makan kepada mereka, monyet-monyet itu akan senantiasa terpelihara sifat biologisnya, yaitu untuk mencari makan sendiri di dalam hutan dan tidak bergantung pada pendaki.
Pendakian saya lanjutkan menuju Pos 2. Pos ini bernama Buntut Lutung. Entah karena banyak lutungnya saya juga tak tahu—toh saya juga sudah bertemu mereka di Legok Leunca. Dari Legok Leunca hingga Buntut Lutung membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Treknya? Ya masih begitu-begitu saja, lumayan menguras tenaga. Teman perjalanan masih sama yaitu pohon-pohon namun sudah banyak tumbuhan paku-pakuan. Paku-pakuan ini juga merupakan salah satu makanan survival. Ambil saja pucuk daun mudanya dan rebus. Syukur-syukur kamu membawa bumbu racik sop sebagai penambah rasa. Teksturnya seperti daun singkong namun tidak pahit. Dari pos ini saya langsung tancap gas menuju Pos 3.
Pos 2 menuju Pos 3 membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Kawan pendakian masih sama namun kali ini banyak sekali spot yang “rebah-able,” mulai dari dataran yang tertutup rumput, pohon-pohon besar yang “nyender-esthic,” hingga pohon-pohon besar yang tumbang yang sayang sekali dilewatkan apabila kita tidak duduk manja di atasnya. Trek tetap curam namun banyak bonus. Menurut pengamatan saya mungkin banyak pendaki yang molor waktu pendakiannya karena betah di trek ini. Namun, saat saya melakukan pendakian ini, saya mempertebal iman dengan tidak menatap tempat-tempat “rebah-able” yang saya sebutkan di atas.
Sampailah di Pos 3, yaitu Lawang Seketeng. Dataran ini lumayan luas, mungkin cukup untuk 5-10 tenda dome. Di pos ini sudah ada pendaki yang mendirikan tendanya. Di pos ini juga segala masalah logistik akan teratasi, soalnya ada bedengan warung warga dengan berbagai varian rasa minuman yang berjejeran bagai tirai. Segala merek kopi gunting saya rasa ada, termasuk Kopi Liong yang semula saya pikir hanya dijual di Depok dan Parung. Selain kopi-kopian, warga juga menjual goreng-gorengan dengan size yang agak mini yang dibanderol dengan harga Rp2.000. Di pos ini saya berhenti sejenak sambil basa-basi paling basi dengan pendaki lain. Pertanyaan-pertanyaannya yang template saja, seperti asal dari mana, berapa orang, masih bujang atau sudah tak lajang—yang terakhir bohong deng.
Semangka merah lucu sebelum Suryakencana
Setelah rehat sejenak saya melanjutkan pendakian. Saya rasa pendakian sebenarnya dimulai dari Lawang Seketeng ini. Trek setelah pos ini membuat bibir kita sering berciuman mesra dengan lutut. Namun, ciuman-ciuman anggota tubuh kita ini diperhatikan oleh pohon-pohon yang mulai berlumut. Di trek ini memang suasananya lebih lembap dari sebelumnya, cocok jadi habitat daun jancukan, yaitu daun yang jika terkena kulit akan bikin gatal. Jadi hati-hati memilih tempat nyender di trek ini.
Pos 4 Simpang Meleber sudah mendekat. Namun yang tampak bukan pos, melainkan warung bedeng yang sama seperti di Pos 3. Warung ini menjual semangka. Saya akhinya membelinya. Bukan karena saya haus, tapi karena warna merahnya yang lucu-lucu banget dan sayang sekali kalau tidak dikunyah. Di pos ini memang tidak terdapat bangunan seperti di pos-pos lainnya. Tapi, semangka di pos ini saya jamin paling lucu dibanding semangka-semangka di pos-pos sebelumnya.
Perjalanan dilanjutkan. Setengah trek berupa trek cium lutut dan setengahnya berupa landai berbatu. Jika sudah sampai di trek ini pertanda Pos 5 atau yang disebut Alun-alun Suryakencana sudah dekat. Hal ini membuat saya mempercepat langkah karena sudah tidak sabar melepas rindu di alun-alun itu, alun-alun yang berada di gunung bukan di kota, yang meski tanpa ayunan menggantung tetap memiliki banyak cerita.
Tepat pukul 11.30 sampailah saya di gerbang Alun-alun Suryakencana, langsung disambut meriah oleh edelweiss yang meriah dengan background punggungan bukit serta kabut tipis yang berjalan pelan mengikuti arah angin berembus. Meski sampai di siang hari, tak saya rasakan panas di alun-alun ini, berbeda dengan alun-alun kota tempat tinggalmu. Meski berkali-kali mengunjungi alun-alun, tak saya rasakan bosan setiap kali memandangnya; salah satu lokasi dongeng di negeri dongeng di Indonesia.
Saya berjalan menuju arah barat menyusuri hamparan sabana Suryakencana. Edelweiss kanan-kiri seakan mengajak saya untuk mendirikan tenda di situ saja. Namun saya hanya balas senyum dan tetap berjalan menuju arah barat agar dekat ke puncak. Setengah jam berjalan, saya mendirikan tenda di sekitar trek menuju puncak. Karena masih siang, maka saya laksanakanlah salah satu rukun indie, yaitu membuat segelas kopi lalu duduk manja di depan tenda.
Perasaan sendu kala di kota rasanya terobati saat melihat elang membelah angkasa.
Ya, ada elang di alun-alun ini. Ia terbang sendiri tanpa koloni, mengepak sayap sesekali untuk menjaga jarak ketinggian. Memerhatikan elang tersebut membuat saya termenung. Elang adalah burung yang terbang tanpa koloni yang berarti ia merupakan single fighter. Ia tak mengepak sayap terlalu banyak, hanya menukak dan menukik agar ketinggiannya terjaga. Pada sesap kopi yang keempat, saya menyadari bahwasannya kita hidup terkadang harus seperti elang: fokus terhadap tujuan dan bertindaklah dengan efektif. Apabila elang tidak fokus, tak akan bertahanlah ia di gunung ini. Dengan fokus pada mangsanya ia akan senantiasa bertahan hidup, setidaknya sampai ia tak lagi mengepakkan sayapnya.
Bunga edelweiss masih tampak bernyanyi mengikuti playlist lagu dari smartphone. Punggungan bukit hijau tak jua saya bosan memandangnya, tak ada perubahan signifikan, tetap hijau dan menyejukkan. Kabut tipis yang konvoi tidak merusak pemandangan di alun-alun ini, meskipun ada kalanya kabut itu menyulitkan. Namun kali ini saya maafkan, seraya berpikir kadang masalah sama seperti kabut. Emosi kita saat melihat kabut itulah yang menentukan bagaimana tindakan kita saat melihat sang halimun.
Sudah. Tulisan ini saya tutup dengan mengutip kata-kata dari M.A.W. Brouwer: “Bumi Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.” See you!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
[…] sudah sampai Suryakencana, nih. Saatnya menanggalkan keril dan siap-siap mendirikan tenda. Tapi jangan buru-buru. Ada […]