Di tengah gempuran pertanyaan “Kapan lulus?” yang sayangnya semangat untuk ke sana tak seambisius itu, saya menemukan informasi ada open recruitment volunteer dari sebuah pameran seni kriya tekstil di Malang. Adalah Pameran Seni Kriya Tekstil dan Sandang yang tahun ini menginjak penyelenggaraan kedua dan lebih terkenal dengan nama Pameran Jelang Julang. Jelang artinya menyambut dan julang artinya tinggi. Jelang Julang punya makna optimisme untuk selalu berkarya.
Jelang Julang diselenggarakan oleh Fikrah Ryanda, founder Hamparan Rintik—sebuah UMKM yang bergerak di bidang sandang, khususnya pada kain batik dan shibori. Tahun ini, mereka berkolaborasi dengan Omah Gembira—sebuah komunitas pemerhati penyandang disabilitas yang bergerak di Kota Malang—untuk memeriahkan acara Jelang Julang 20222.
Jelang Julang 2022 terselenggara pada 30 September – 2 Oktober 2022 lalu di SO! Creative Hub Malang. Mengusung tema “Aku, Kamu, Kita, Setara”, Pameran Jelang Julang 2022 membawa makna bahwa semua manusia memiliki kedudukan yang setara, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Persiapan pameran berlangsung semenjak beberapa bulan sebelumnya, mulai dari pembuatan batik oleh teman-teman disabilitas yang akan dipamerkan saat acara, hingga penampilan panggung oleh teman disabilitas seperti fashion show. Lalu, ada juga dongeng dari teman tuli dan pertunjukan angklung dari teman disabilitas lainnya. Setiap penampilan menghadirkan seorang juru bahasa isyarat. Hal ini cukup efektif agar teman tuli bisa merasakan euforia acara.
Pameran Jelang Julang berlangsung dengan meriah. Sebagian besar pengunjung yang datang adalah teman-teman disabilitas beserta keluarganya. Perasaan semangat terpatri dari sorot mata mereka. Rasanya senang sekali bisa ikut andil dalam pemeran ini. Di antara sekian banyak teman disabilitas, mata saya tertuju pada satu teman daksa yang memiliki bakat istimewa.
Razan Hafidz namanya, ia menjadi teman baru yang saya kenal saat pemeran. Hafidz terkenal sebagai sosok ceria dan penuh semangat. Berbeda dari teman lainnya, Hafidz memilih menyalurkan bakatnya melalui tulisan. Ia juga memiliki blog pribadi sebagai sarana penyaluran bakat. Hafidz adalah anak yang cukup kritis dan up to date. Dalam sebuah temu wicara dia mengatakan bahwa, “Kekurangan bukanlah sebuah bencana, hal itu bukan sebuah alasan untuk menyerah. Akan ada pelangi setelah hujan,” ucapnya dengan mata berbinar.
Salah seorang narasumber lain berkata, “Kedudukan kita adalah sama di mata Tuhan, yang membedakan hanya kekurangan mereka nampak dan kita bisa melihatnya dengan jelas.”
Ada beberapa temu wicara lain yang terselenggara, beberapa di antaranya yakni mengarahkan bakat minat anak istimewa, diskusi bersama Islamic Disability Center, hingga kelas bahasa isyarat bersama BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). BISINDO merupakan bahasa isyarat yang digunakan oleh teman-teman tuli dalam situasi non formal. Pada beberapa kesempatan, teman tuli menyatakan bahwa BISINDO lebih nyaman untuk digunakan. Sebagai pemula, saya pun merasa bahwa bahasa isyarat jenis ini juga lebih mudah untuk dipelajari, karena menggunakan isyarat dua tangan. Selain itu, isyaratnya pun juga tidak berbeda jauh dari huruf abjad.
Berbeda dengan BISINDO, ada juga jenis isyarat lain yaitu SIBI yang biasa digunakan saat kegiatan formal, seperti sekolah. SIBI cenderung lebih sulit untuk dihafalkan karena isyarat ini hanya menggunakan satu tangan saja. Sehingga isyarat yang digunakan cenderung lebih rumit.
Saya mendapatkan beberapa insight baru di kelas bahasa isyarat, misalnya apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan saat berinteraksi dengan teman tuli. Dari sedikit waktu yang saya punya untuk berinteraksi dengan mereka, saya mengambil sebuah kesimpulan yakni untuk berkomunikasi dengan teman tuli, saya harus lebih ekspresif karena mereka juga cenderung ekspresif dalam berinteraksi. Pun, saat berkomunikasi juga sebaiknya tidak menggunakan masker atau penutup wajah lain agar teman tuli bisa melihat gerak bibir kita. Hal yang tak kalah penting yakni, ternyata teman tuli lebih suka dipanggil tuli daripada tuna rungu, sebab mereka merasa bahwa panggilan tuna rungu melambangkan perasaan kasihan dan sebagainya. Masyarakat cenderung menganggap bahwa julukan tuli itu kasar dan tidak sopan, padahal justru sebaliknya.
Di Jelang Julang, saya bertemu dengan banyak teman disabilitas, mereka semua memiliki semangat juang tinggi. Mereka punya seribu senyum dan tawa bahagia menyambut saya datang pagi hari itu. Banyak cerita menarik tentang mereka dalam Pameran Jelang Julang, seluruhnya penuh makna. Satu kejadian menyentuh di malam terakhir Jelang Julang adalah saat seorang Ibu dari anak tuli memeluk saya dan mengatakan, “Terima kasih ya, Nak. Semangatnya sungguh luar biasa. Saya senang melihat anak saya bersemangat.”
Untuk semua hal baik yang telah dan akan saya dapatkan, besar harapan saya agar kisah-kisah baik ini akan menjadi bekal hidup untuk lebih mengerti dan merangkul orang lain. Aku, kamu, kita, setara.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Nadya si anak bungsu dari empat bersaudara.