Tujuan perjalanan saya kali ini mencari keberadaan mausoleum (monumen makam) keluarga Van Den Engh, di Dusun Sukorejo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mausoleum keluarga Van Den Engh adalah satu-satunya makam Belanda yang tersisa di dusun tersebut. Selebihnya adalah makam Islam Jawa milik warga setempat.
Hasil yang terjadi saat telusur pertama kalinya adalah saya salah masuk desa. Setelah kira-kira satu jam keliling dua desa, terakhir saya fokus mencari Dusun Sukorejo. Saya tidak menduga, dusun ini sudah saya lalui sebelumnya. Apa daya, warga sekitar sedang sibuk beraktivitas di sawah sehingga tidak banyak yang bisa saya lakukan.
Kepastian lokasi tersebut akhirnya saya dapatkan ketika istirahat di Masjid Al Ikhlash yang berada di tengah dusun. Terdapat pemakaman umum di belakangnya. Berbekal rasa penasaran saya mencoba peruntungan. Nasib baik, saya berhasil menemukan mausoleum Van Den Engh.
Letaknya di sudut selatan pekuburan Dusun Sukorejo. Sepintas bentuknya sederhana seperti makam Islam di sekitarnya. Namun, kalau jeli melihat terdapat satu nisan berepitaf bahasa Belanda berbunyi “Van Den Engh”. Tanpa pikir panjang saya segera mendokumentasikan dan meneliti setiap sudutnya. Berharap menemukan sesuatu yang melebihi dugaan saya sebelumnya.
Lagi-lagi nasib baik. Saya melihat satu kompleks makam bergaya Islam Jawa milik keluarga Van Den Engh, tepat di depan mausoleum. Akan tetapi, daripada menduga yang tidak-tidak, saya segera mengirimkan hasil dokumentasi ke Hans Boer untuk mendapatkan informasi.
Prajurit Lintas Benua
Baru menginjakkan kaki pertama memasuki area mausoleum, mata saya tertuju pada deretan makam menjulang dengan pilar pada bagian depannya. Inilah mausoleum keluarga Van Den Engh yang saya cari. Lantas siapakah Van Den Engh?
Merujuk informasi Hans Boers, tersebutlah satu nama lebih lengkap, yakni Dirk van den Engh. Ia adalah purnawirawan prajurit militer Belanda kelahiran Dordrecht, 18 Februari 1796. Ia menjadi prajurit untuk Kerajaan Belanda yang tengah melawan kolonial Prancis di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte.
Pertempuran sengit antara dua negara adidaya kala itu, menjadikan Dirk Van Den Engh melampaui batasanya sebagai prajurit kerajaan. Ia tidak segan mengeksekusi prajurit musuh di hadapan komandannya. Dirk Van Den Engh kemudian meningkatkan kemampuan diri sebagai seorang prajurit kerajaan. Berkat keahliannya, Kerajaan Belanda menugaskan dia ke Hindia Belanda pada 30 April 1816. Tugas pertamanya adalah Maluku, yang ia jalani hingga tahun 1834. Kala itu, Dirk Van Den Engh tergabung dalam ekspedisi untuk ekspansi wilayah kolonialisme Kerajaan Belanda atas Kepulauan Maluku.
Selama hidup di Maluku, banyak suka duka menerpa. Kondisi itu tidak terlepas dari Maluku sebagai pusat perdagangan rempah dunia. Para pedagang dari Eropa dan Timur Asing melakukan ekspedisi untuk menempati wilayah, lalu turut serta memonopoli perdagangan rempah.
Ia pun harus mempertahankan tampuk kekuasaan Kerajaan Belanda di Kepulauan Maluku. Tentu terjadi banyak pertempuran dan persaingan dagang yang harus dia lalui. Berkat kepiawaiannya Kerajaan Belanda mampu mencengkeram Maluku cukup lama. Namun, di awal tahun 1835, Dirk Van Den Engh pindah tugas ke Padang. Hanya sebentar di sana, ia memutuskan pensiun pada pertengahan 1836 dan tinggal di Boyolali, Jawa Tengah.
Rekam Jejak Keluarga di Mausoleum Van Den Engh
Anggota keluarga lain yang ikut dimakamkan di mausoleum Van Den Engh adalah Mas Adjeng Van Den Engh dan Emile Eugene Van Den Engh, putra Pieter Wilhelmus Van Den Engh (wafat 25 Juni 1864) dan Maria Jacoba Van Blommestein dari Surakarta. Dirk Van Den Engh, yang saya sebut sebelumnya, tidak lain merupakan kakek dari Emile Eugene Van Den Engh.
Nisan di mausoleum itu berbunyi: Hier Rust. E.E. van den Engh. Geb. Bojolali 10 Juli 1853. Overld. Kartasoera 25 November 1909. Artinya, Emile Eugene Van Den Engh lahir 10 Juli 1853 di Boyolali dan wafat 25 November 1909 di Kartasura.
Semasa hidup, Emile Eugene Van Den Engh berprofesi sebagai pegawai Buergerlijk Openbarew Werken atau dinas pekerjaan umum di Kota Surakarta. Ia seorang yang cukup loyal dan cakap atas pekerjaannya. Tak ayal pihak instansi tempat ia bekerja memberinya sejumlah penghargaan.
Ia memiliki seorang istri bernama Mbok Saminah, perempuan Jawa yang beragama Islam. Pasca pernikahan mereka tinggal di Kartasura, hingga memiliki empat orang anak: Emma Van Den Engh, Marie Van Den Engh, Adolf Eugene Van Den Engh, dan Sophie Van Den Engh.
Dalam perjalanan waktu, suatu saat takdir akhir pasti sudah ditentukan. Bulan November 1909, instansi tempat ia bekerja mengabarkan bahwa Emile Eugene Van Den Engh wafat di usia 56 tahun. Kabar wafatnya Emile Eugene Van Den Engh cukup mengejutkan rekan sejawatnya. Pasalnya selama bekerja tidak menandakan jika ia mengidap sakit sebelumnya. Emile Eugene Van Den Engh wafat di Kartasura dan dimakamkan di kampung halaman sang istri, yakni Dusun Sukorejo, Wonosari, Klaten.
Siapa itu Mas Adjeng Van Den Engh?
Menurut Hans Boer, apabila merujuk tahun wafatnya (1945) dapat ia pastikan jika Mas Adjeng Van Den Engh adalah nama lain dari Sophie Van Den Engh. Anak keempat Emile Eugene dan Mbok Saminah. Mas Adjeng atau Sophie adalah istri dari Frederik Herman Strassners pensiunan pegawai kantor kereta api Netherlandsche Indies Spoorweg Maatschappij (NIS) Surakarta.
Ada dugaan, Frederik Herman turut dikuburkan berdampingan atau bisa juga dimakamkan di kerkop Jebres, Surakarta. Namun, yang pasti Emile Eugene Van Den Engh, Mbok Saminah, dan Sophie Van Den Engh dikubur berdampingan. Tampak pada mausoleum yang memiliki tiga ruang, tetapi hanya milik Emile Eugene Van Den Eng yang memiliki nisannya.
Julukan “Mas Adjeng” untuk Sophie Van Den Engh bukan tanpa sebab. Penyebutan tersebut lazim bagi masyarakat Jawa kala itu. Hal ini diperkuat dengan adanya makam bergaya Islam Jawa di sekeliling mausoleum. Namun, karena menggunakan huruf Jawa, tidak banyak diketahui secara pasti siapa sosok mendiang. Penggunaan huruf Jawa tidak semata-mata tertulis nama mendiang, bisa juga berisi doa.
Keluarga Emile Eugene Van Den Engh di Sukorejo, Wonosari, Klaten sangat dihormati sebagai keluarga priayi. Status ini membuat Sophie mendapat julukan “Mas Adjeng” meskipun ia seorang perempuan. Penyebutan untuk perempuan berasal dari kata Raden Mas Adjeng, sementara untuk laki-laki, Den Mas, berasal dari kata Raden Mas. Hingga saat ini, beberapa dukuh atau desa di eks Karesidenan Surakarta masih menggunakan sebutan itu sebagai bentuk penghormatan.
Mungkin bagi kalian yang sejak kecil tinggal di kota besar, tidak pernah mendengar penyebutan ini. Saya dapat memahami karena kondisi budaya setempat sudah sangat berbeda. Hal ini tak perlu jadi soal, terpenting adalah tetap menjunjung tinggi kekeluargaan dan menghormati orang yang lebih dewasa.
Kebanggaan atas Perhatian Warga
Ketika saya berkeliling desa, saya tidak menemukan jejak lain dari keluarga Van Den Engh. Bahkan kediaman pun tidak ada. Dugaan saya karena hilang atau beralih kepemilikan. Bisa jadi karena sang istri yang notabene warga Wonosari, Klaten, tentu hidup dan memiliki bentuk tempat tinggal layaknya warga dusun lainnya.
Meski memiliki kultur yang berbeda, tidak membuat mereka menjalani gaya hidup sendiri sesuai asal leluhurnya. Keempat anak yang saya sebut sebelumnya, patut disebut sebagai anak pribumi. Mereka terlahir dari orang tua dengan dua budaya berbeda dan hidup berdampingan dengan kebudayaan Jawa.
Terlepas dari status sosial keluarga Van Den Engh, setiap tahun warga rutin merawat kompleks makam secara keseluruhan. Terutama menjelang hari raya keagamaan. Saya sangat bangga, mereka menaruh perhatian terhadap mausoleum keluarga Van Den Engh, dengan cara tidak merusaknya. Sebagai bukti, monumen makam ini masih utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti.
Khususnya pada bagian nisan yang masih utuh. Dengan adanya nisan, siapa pun yang berkunjung pasti akan membaca nama seseorang yang dikuburkan di sini. Apabila nisan sudah hilang atau rusak tentu akan susah mengetahuinya, terutama jika ada keluarga yang berziarah.
Selama penelusuran dan menyaksikan secara langsung kompleks makam tersebut, saya menduga masih ada anak atau keturunannya hingga saat ini. Namun, karena keterbatasan informasi dari Hans Boer dan warga dusun, dugaan saya masih menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab sampai sekarang.
Besar harapan saya, melalui cerita dan penelusuran ini, bisa sedikit membantu keturunan Van Den Engh—di mana pun berada—mengetahui lokasi leluhur mereka tinggal. Sudah selayaknya juga kerkop atau mausoleum lain di Indonesia mendapat perhatian khusus dari pihak pemangku kepentingan (stakeholder). Tidak hanya untuk kepentingan tertentu, seperti penelitian atau lainnya, tetapi juga membantu anak dan keturunan Van Den Engh yang sekian tahun mungkin masih mencari jejak leluhur mereka. Saya yakin mereka masih terus mencari dan saya harap mereka akan menemuinya suatu saat nanti.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.