Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya merevitalisasi dan mengembangkan aset Lokananta, yang berada di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta, yang sempat terkenal sebagai perusahaan piringan hitam dan salah satu perusahaan rekaman terdepan di Indonesia ini kini menjadi ruang kreativitas bagi para musisi, seniman, hingga UMKM. Dengan revitalisasi, Lokananta kini memiliki lima pilar bisnis utama, yakni museum, studio rekaman, arena pertunjukan, area kuliner, dan galeri UMKM.
Revitalisasi menjadi langkah tepat. Bagaimanapun, Lokananta merupakan salah satu aset berharga. Tempat ini menyimpan puluhan ribu piringan hitam musik nasional dari berbagai genre. Termasuk ribuan master rekaman yang memang perlu perawatan dan pelestarian.
Melihat Lokananta
Bagi saya pribadi, Lokananta bukan nama yang asing. Sejak kecil, saya sudah akrab dengan perusahaan rekaman ini dari koleksi album-album keroncong dan karawitan Jawa milik ayah saya. Meski demikian, baru pada Juli tahun 2010 lampau, saya memiliki kesempatan melihat langsung Lokananta. Saya terdorong rasa penasaran ingin mengetahui hal ihwal perusahaan rekaman ini.
Tatkala memasuki halaman depan kompleks gedung Lokananta yang berada di Jalan Jenderal Achmad Yani 379, Surakarta, Jawa Tengah, 13 tahun yang silam, saya seolah memasuki sebuah kompleks gedung mati yang tidak berpenghuni. Suasana tampak lengang, hampir tidak terlihat aktivitas apa pun.
“Ya, beginilah keadaan Lokananta saat ini. Ibaratnya hidup segan, mati tak mampu,” guyon Titik Sugiyanti, staf humas Lokananta yang menyambut kedatangan saya, di salah satu sudut di ruang belakang Gedung Lokananta, kala itu.
Titik kemudian menceritakan sekilas sejarah Lokananta. Inti ceritanya yaitu R Maladi, beserta beberapa rekan seperjuangannya, berinisiatif dengan swadaya mendirikan pabrik piringan hitam pada tahun 1950-an dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan siaran radio, khususnya Radio Republik Indonesia (RRI).
Menurut Titik, fungsi utama Lokananta di masa itu adalah memproduksi dan menggandakan piringan hitam untuk keperluan bahan-bahan siaran bagi 27 stasiun RRI di seluruh Indonesia.
Seperangkat Gamelan
Nama Lokananta sendiri berasal dari cerita dalam khazanah pewayangan yang merujuk kepada nama seperangkat gamelan dari Suralaya, yaitu istana dewa-dewa di khayangan. Menurut legenda, konon, perangkat gamelan ini dapat berbunyi sendiri tanpa ditabuh.
Saat peresmian oleh Menteri Penerangan RI, Soedibjo, tanggal 29 Oktober 1956, Lokananta berstatus sebagai jawatan. Empat tahun kemudian, status Lokananta berubah menjadi perusahaan negara berdasarkan PP No 215 Tahun 1960. Tujuan perubahan agar cakupan kerja Lokananta tidak hanya melayani kebutuhan bahan siaran RRI, tetapi juga mengemban misi menggali, membina, melestarikan, serta menyebarluaskan kesenian dan kebudayaan nasional.
Karenanya, Lokananta kemudian memperluas fungsinya dengan menjadi studio rekaman. Rekaman pertama hasil produksi Lokananta adalah album gendhing Jawa dan keroncong.
“Sebagian besar album rekaman Lokananta di masa-masa awal adalah gendhing Jawa dan keroncong,” papar Titik.
Pada perkembangan selanjutnya, genre musik di luar gendhing dan keroncong mulai ikut direkam di Lokananta, termasuk lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia dan musik jazz. Musisi jazz Bubi Chen pernah merekam albumnya di sini.
“Empat album pertama Bubi Chen direkam di Lokananta,” jelas Titik.
Lahirnya era kaset di awal tahun 1970-an dan mulai menjamurnya perusahaan-perusahaan rekaman komersial di Indonesia rupanya mempengaruhi putaran roda bisnis Lokananta. Akibatnya, tahun 1972, Lokananta memutuskan untuk berhenti memproduksi piringan hitam.
Agar mampu bersaing dengan industri rekaman komersial, status Lokananta lantas berubah menjadi BUMN Departemen Penerangan berdasarkan Keputusan Presiden No 13 Tahun 1983. Dengan status tersebut, Lokananta mendapat kepercayaan sebagai pusat penggandaan video bersama dengan TVRI dan PPFN.
Pembubaran Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat nasib Lokananta semakin tidak menentu. Dalam masa transisi dan di ambang kolaps, atas perjuangan mantan Dirjen PPG Deppen, Subrata, pada tahun 2004, status Lokananta berganti. Lokananta menjadi cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan berada di bawah Kementerian BUMN. Cakupan tugasnya sebagai salah satu pusat multimedia, rekaman (kaset dan CD), remastering, dan pengembangan percetakan serta jasa grafika.
Jejak Musik
Sebagai studio rekaman pertama di Indonesia sudah barang tentu Lokananta mempunyai aneka master rekaman penting terkait dengan jejak perkembangan musik di Indonesia. Lokananta, misalnya, masih menyimpan master asli lagu “Indonesia Raya” versi tiga stanza. Kemudian “Terang Bulan”—yang mirip dengan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku”—serta “Rasa Sayange”—yang pernah digunakan untuk promosi pariwisata Malaysia dan memicu kontroversi.
Terkait lagu “Terang Bulan”, lagu ini diproduksi tahun 1956 oleh RRI Jakarta dan kemudian diperbanyak oleh Lokananta pada tahun 1965. Sedangkan lagu “Rasa Sayange” diproduksi tahun 1962 untuk keperluan suvenir Asian Games IV di Jakarta.
Di samping menyimpan master rekaman musik berbagai genre, wayang, ketoprak dan dagelan, Lokananta juga menyimpan master rekaman pidato-pidato penting Bung Karno, seperti pidato Bung Karno pada saat pembukaan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Saat berkunjung ke Lokananta pada tahun 2010 itu, saya berkesempatan pula bersua dengan Bemby Ananto. Saat itu, ia menjabat sebagai penanggungjawab bagian remastering Lokananta. Di meja kerjanya, saya melihat beberapa piringan hitam lawas yang isinya sedang melalui proses alih digital. Bemby menyampaikan bahwa Lokananta menyimpan sedikitnya 5.000 master rekaman dalam bentuk tape reel. Di samping berbagai master rekaman, tambah Bemby, Lokananta mengoleksi pula hampir 40.000 piringan hitam musik.
Museum rekaman
Di luar koleksi master rekaman dan piringan hitam, Lokananta juga mengoleksi aneka peralatan rekaman dari berbagai masa dari mulai master recorder, mikrofon, alat pengganda kaset, gramofon hingga bahan pembuat piringan hitam.
Baik Titik maupun Bemby waktu itu sepakat, bahwa Lokananta berpotensi besar menjadi sebuah museum rekaman dan perpustakaan musik nasional. Lokananta telah berkontribusi penting dalam kancah industri rekaman di Indonesia. Termasuk di dalamnya berbagai koleksi master rekaman, piringan hitam serta berbagai peralatan rekaman dari masa ke masa yang dimiliki.
Kini, potensi besar tersebut tampaknya telah mulai terwujud. Revitalisasi meneguhkan peran Lokananta sebagai sentra kreativitas bagi para musisi, seniman, hingga UMKM, dengan lima pilar bisnis utamanya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.