Interval

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan

Suatu hari saya sedang siap-siap untuk pergi ke Baduy, sebuah perkampungan adat di Banten. Sehari sebelum berangkat, seorang teman memberi cerita tentang kunjungannya ke Baduy. Hitung-hitung menambah referensi, maka saya simak kisahnya dengan serius. 

Ia memulai kisahnya dengan impresi saat pertama kali menjejaki hutan adat di Baduy tahun 2017. Ia melakukan perjalanannya secara berkelompok. Bersama teman-temannya, mereka berjalan kaki empat jam ke arah Baduy Dalam. Ketika memasuki kawasan Baduy Dalam, ia mendapat peringatan untuk tidak mengambil foto atau memotret dengan kameranya. 

Masalah bermula ketika seorang pemuda bandel mengeluarkan kameranya dan memotret di area terlarang. Namun, tak ada seorang pun yang tahu pelanggaran ini. Anehnya, ketika rombongan ini beristirahat di sebuah desa adat, seorang tokoh dari desa itu menghampiri orang yang melanggar peraturan tersebut.

Si pelanggar dan rombongannya langsung keringat dingin dan gemetar. Mereka bingung harus berbuat apa. Akhirnya, si pelanggar mendapat teguran dan konsekuensi berdasarkan aturan adat. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya, sebab rombongan tersebut tak ada yang tahu konsekuensi yang harus ditebus si pelanggar. Yang jelas, kisah ini membuat saya tidak akan melakukan hal-hal aneh ketika berada di Baduy. 

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan
Perjalanan menuju Baduy Dalam/Amos Ursia

Cerita tersebut memang cukup sering kita temui, entah soal kunjungan di situs keramat atau perkampungan adat. Kisah-kisah mistis dalam perjalanan semacam ini kerap viral, apalagi sejak munculnya kehebohan KKN di Desa Penari dan konten horor di YouTube. Dampaknya, seringkali mereka yang ingin traveling jadi bingung. Terutama jika daerah yang ingin dikunjungi memiliki tradisi dan adat yang sangat kental. 

Saking banyaknya pengalaman pejalan yang kesannya sangat mistis dan menyeramkan, saya jadi sering bertanya-tanya: bagaimana menyikapi hal ini? Apakah itu wajar dan bisa kita siasati? Lalu, bagaimana idealnya seorang pejalan menempatkan diri dalam kepercayaan lokal itu? 

Perjalanan berarti memahami dan menghormati

Indonesia adalah negara yang sangat kaya secara budaya. Tiap daerah memiliki kebudayaannya sendiri. Sistem religi dan kepercayaan pun bermacam-macam, baik yang berupa warisan leluhur maupun kepercayaan modern. Saya akan membahas bagaimana idealnya kita menyikapi adat dan kepercayaan lokal di sebuah tempat, terutama daerah yang memiliki ikatan kuat dengan hal-hal spiritual. 

Menurut saya, kita perlu mengkritisi frasa “mistis” yang sering menjadi perbincangan dan viral di media sosial. Kita perlu memaknai kepercayaan lokal sebagai sesuatu yang tidak mengancam, selama kita menanamkan niat baik dalam diri sendiri. Sebab, ketika kita mengunjungi sebuah wilayah, kita sedang masuk ke dalam ruang hidup dan budaya orang lain.

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan
Mengobrol bersama Ayah Sapri, warga Baduy/Amos Ursia

Menurut antropolog Claude Levi-Strauss (1963), mitos perlu dilihat sebagai “bahasa”, sebagai upaya sebuah masyarakat menuturkan suatu pesan. Memahami kepercayaan lokal dan mitos-mitos dalam perjalanan sebagai pesan adalah penting.

Misalnya, kepercayaan untuk larangan masuk ke hutan yang “sakral” di sebuah perkampungan adat. Pesan tentang hutan ini terhubung dengan pemeliharaan lingkungan hidup, karena di hutan jelas terdapat sumber air hingga pangan. Jika sembarang orang memasuki hutan, tentu sumber air akan rusak dan ketersediaan pangan terganggu.

Sehingga, sudah seharusnya kita mendasari sebuah perjalanan dengan rasa hormat, khususnya kepada kebudayaan yang akan kita jumpai. Rasa hormat ini sangat penting, karena menentukan cara kita berlaku dan bertindak. Yang menjadi masalah, seringkali wisatawan arus utama acuh tak acuh pada sistem kepercayaan masyarakat di daerah yang mereka datangi. 

Dari banyak kasus yang ada, penyebab terjadinya hal mistis kepada wisatawan adalah ketika mereka belum mengerti sistem kepercayaan masyarakat setempat. Jadi, tidak usah banyak bergaya ketika ingin menjelajahi sebuah daerah yang belum pernah kita kunjungi. Ikuti saja panduan dan nasihat warga lokal, sehingga tidak semata foto-foto keren untuk memajangnya di media sosial.

Pentingnya Interaksi dalam Perjalanan

Rasa hormat saja ternyata tidak cukup. Kita membutuhkan dialog atau percakapan dengan warga lokal. Perjalanan wisata arus utama seringkali hanya sebatas mengamati, jalan-jalan, dan berfoto dengan pose keren. Padahal perjalanan sejatinya adalah soal membangun relasi dengan penduduk setempat. 

Suatu hari saya pergi ke Lasem. Tepatnya ke sebuah komplek pecinan kuno di daerah Karangturi. Saya melihat sebuah rumah lawas yang menarik sekali. Sangat kuno dan suasana rumah tersebut cukup “angker”. Tadinya saya ingin langsung masuk ke dalam, melihat konstruksi dan pola bangunan rumah itu. Namun, saya memutuskan terlebih dahulu mencari sang empunya rumah dan meminta izin. 

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan
Salah satu rumah tua di Lasem/Amos Ursia

Ternyata saya tidak berhasil menjumpai sang pemilik rumah. Saya pun dihampiri warga lain di sekitar rumah itu. Mereka bahkan tidak memberi saya izin untuk sekadar masuk ke halamannya. Tentu ada beberapa alasan yang cukup bermotif spiritual. Saya juga tidak menerobos dengan sengaja untuk masuk ke rumah kuno tersebut. Melalui dialog dengan warga, saya jadi mengerti batasan-batasan dan kehati-hatian saat memasuki sebuah ruang baru. 

Namun, saya malah jadi mendapat kesempatan berbicara dan bertamu. Meski gagal melihat artefak kuno dan arsitektur rumah tua itu, saya jadi disambut, diberikan teh hangat, dan diceritakan tentang Lasem dari penuturan langsung warga lokal. 

Rasa hormat dan dialog mungkin kata kunci untuk kita pegang dalam perjalanan. Sebagai tamu sekaligus pejalan, kita perlu benar-benar tahu diri. Tamu yang baik tidak akan membuat tuan rumah terganggu. Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. 

Adanya aturan agar tidak mengambil foto sembarangan, tidak memasuki area terlarang, dan tidak melanggar aturan adat, adalah tanda dari sejauh apa dorongan untuk melakukan perjalanan. Ingin sekadar foto-foto dan memuaskan ego, atau ingin mengenal kebudayaan lain?

Lagipula, bukankah hakikat perjalanan adalah mendapat pengalaman, pandangan, dan kenalan baru? 

Referensi:

Claude Levi-Strauss. 1963. Structural Anthropology. Basic Books: New York.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Amos sehari-hari tinggal di Jakarta dan Yogyakarta. Menyukai traveling dan menulis.

Amos sehari-hari tinggal di Jakarta dan Yogyakarta. Menyukai traveling dan menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Meneropong Indonesia dari Ritual Mappalili