Antre Dua Jam demi Mencicipi Lupis Autentik Mbah Satinem

Beberapa bulan lalu, sebelum lebaran, saya kepincut serial baru di Netflix, yakni Street Food edisi Asia. Bisa ditebak dari judulnya, serial itu mengulas makanan pinggir jalan di berbagai kota di Asia. Menariknya, salah satu di antara sembilan episode dalam volume pertama mengulas kuliner-kuliner pinggir jalan Yogyakarta.

Maka, sehabis mudik lebaran ke Gunung Kidul kemarin, saya tak buru-buru kembali ke Jakarta. Saya turun dulu ke Kota Yogyakarta, menginap di hostel selama beberapa hari, dan menapaktilasi penelusuran Street Food edisi Asia.

Tempat yang pertama kali saya datangi ialah lapak jajan pasar legendaris Mbah Satinem.

mbah satinem
Pelanggan berkumpul di lapak jajan pasar Mbah Satinem/Dewi Rachmanita Syiam

Saat saya tiba jam enam pagi, para pelanggan sudah mengerumuni lapak sederhana Mbah Satinem di Jalan Bumijo, Jetis, sebelah Hotel Pesona.

Saya diarahkan beberapa orang ibu-ibu untuk mengambil nomor antrean yang cuma berupa potongan kertas merah sederhana bertuliskan nomor dari 1 sampai 50. Nomor antrean yang saya dapat adalah 30.

Ternyata banyak yang lebih militan dari saya. Selidik punya selidik, beberapa orang pelanggan bahkan ada yang sudah datang sebelum jam setengah enam pagi, sebelum Mbah Satinem dan anaknya tiba naik skuter matik.

Sambil menunggu giliran, saya perhatikan bagaimana Mbah Satinem meracik jajan pasar yang dipesan para pelanggan.

mbah satinem
Pelangan rela antre berjam-jam demi seporsi jajan pasar/Dewi Rachmanita Syiam

Pertunjukan seni meracik jajan pasar ala Mbah Satinem

Sebelum menceritakan bagaimana sang wanita sepuh meracik jajan pasar, ada baiknya saya deskripsikan dulu semesta lapak Mbah Satinem.

Di atas meja kecil hadir beberapa mangkuk berisi aneka jajan pasar—cenil, ketan, tiwul, dan lupis yang jadi andalan. Komponen-komponen itu ditemani gula bubuk, gula semut, dan gula aren cair. Di bawah meja tersembunyi plastik-plastik berisi puluhan lupis yang masih terbungkus daun pisang.

Mbah Satinem tentu saja sudah hafal di luar kepala tata letak lapaknya. Dari mangkuk, ia ambil sepotong lupis berselimut daun pisang. Dengan gerakan pasti, ia buka bungkus lupis. (Lupis Mbah Satinem, tak seperti lopis Padang yang segetiga, berbentuk seperti lontong.) Lalu, dengan benang panjang yang dililitkan ke jari, ia potong lupis itu menjadi segmen-segmen kecil.

Kemudian dimulailah adegan yang membuat rongga mulut para pelanggan basah tiba-tiba: ia taburkan parutan kelapa dan ia sirami potongan-potongan lupis itu dengan lelehan gula aren yang kental.

mbah satinem
Menyirami lupis dengan lelehan gua aren/Dewi Rachmanita Syiam

Pesanan yang sudah diracik itu kemudian dipindahtangankan Mbah Satinem pada anaknya yang dengan cekatan membungkus terus melayani transaksi dengan pelanggan.

Pertunjukan Mbah Satinem itu begitu memukau sampai-sampai saya tak sadar bahwa saya sudah bertambah tua dua jam.

Rasa yang benar-benar autentik

Setelah menunggu dua jam, akhirnya seporsi lupis berbungkus daun pisang berada di tangan saya. Saya serahkan Rp5.000 kepada anak Mbah Satinem sebelum tancap gas kembali ke hostel naik ojol.

Dengan jantung berdebar-debar, saya buka bungkus lupis yang sudah agak lengket terkena gula aren. Wangi daun pisang seketika menguar.

Saya coba segigit—damn!

mbah satinem
Lupis lezat siap untuk disantap/Dewi Rachmanita Syiam

Ini lupis terenak yang perna saya makan. Tekstur, tingkat kematangannya, taburan kelapanya, gula arennya, semua benar-benar tak ada duanya, autentik. Rasa gurih dan manisnya seimbang, bahu-membahu menstimulasi indra pengecap saya.

Waktu makan lupis Mbah Satinem, entah kenapa saya teringat sepenggal tulisan Eddward S. Kennedy dalam “Berpamitan dengan Mojok.” Katanya, “Hidup di Jogja seperti berkubang dengan gulali: kamu akan selalu dibuat lengket olehnya. Entah kenapa.” Mungkin karena jajan pasar lezat seperti yang dijual Mbah Satinem?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar