Kami keluar dari hutan. Perlahan, cahaya tak lagi tertutup kanopi. Di batas ini, vegetasi berubah drastis. Tiada lagi pohon-pohon besar, tak ada lagi liana. Bentang alam kini didominasi punggung-punggung bukit, bebatuan, paku-pakuan, dan pandan-pandan raksasa.
Kami melewati tenda para pendaki. Sebuah warung di sisi kanan jalan menjual makanan ringan dan kopi untuk para wisatawan. Saya baru ingat, Bukit Kaba memiliki dua jalur, satu menembus hutan—yang kami lewati—sedangkan rute lainnya lebih landai dan bisa dilintasi sepeda motor. Barangkali para pedagang lewat jalan itu.
Tanah terus menanjak. Udara terasa lebih dingin karena tempat ini terbuka. Angin dengan bebas memukul kulit. Kami terus naik, mencari tanah datar untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat yang cocok, kami berhenti. Tenda dibentang, kompor dinyalakan, air dijerang, kami pun selonjoran.
Kami berada di ketinggian Curup. Dari atas sini, Danau Mas Harun Bastari tampak kecil di bawah sana. Kabut merayap. Gumpalan asap putih bangkit perlahan dari kawah. Ia tengah menghembuskan napasnya.
Kami kembali melangkah, menapaki kerikil yang berserakan. Daun-daun pandan menari dipukul angin. Bunga-bunga senggani menjelma titik-titik putih di tengah lanskap hijau. Suhu udara turun, bisa saya rasakan perubahannya yang menggigit. Saya kenakan jaket yang sejak tadi tersimpan dalam ransel.
Bukit Kaba memiliki beberapa tempat menarik di puncaknya. Ada kawah hidup, kawah mati, dan Bukit Gajah. Ada pula danau yang menjadi tempat favorit para pendaki mendirikan tenda. Sayang sekali, karena kaki kami masih harus berjuang turun nanti sore, rasanya kami hanya bisa mengunjungi kawah hidup. Jalur terus menanjak hingga kami tiba di tangga sewu.
Entah bagaimana, tapi orang lokal memang menyebutnya demikian. Sewu adalah bahasa Jawa yang artinya “seribu.” Sejenak saya berpikir apakah benar saya sedang berada di Sumatra?—kelak saya tahu bahwa warga sekitar Bukit Kaba banyak berasal dari Jawa. Saya makin yakin karena desa di sekitar kaki gunung bernama Sumber Urip.
Tangga itu menjulang di hadapan kami, layaknya stairway to heaven. Kami menitinya untuk mencapai bibir kawah. Seorang teman menceritakan kisah bahwa jumlah anak tangga itu akan selalu berubah ketika dihitung saat naik dan turun. “Coba saja hitung,” katanya. Saya hanya tersenyum. Cerita soal jumlah anak tangga yang berubah-ubah sudah berulang kali saya dengar di berbagai tempat.
Sesekali kami berhenti. Angin bertiup. Beruntung aroma belerang tak menyerang. Baunya samar-samar. Sesekali kami berhenti. Merokok, minum, dan makan camilan. Kami melangkah lagi hingga tiba di anak tangga terakhir. Kami tiba di bibir kawah. Sebaris pagar membatasi para pengunjung agar tak terlalu dekat dengan kaldera vulkanik itu.
Di dasar lubang, gumpalan asap putih naik ke udara. Kawah itu hidup. Demikian pula mite yang melingkupinya. Legenda yang hingga kini masih diyakini orang-orang. Kisah-kisah tak lazim, yang menjaga manusia tetap takzim kepada alam.
Seperti gunung-gunung pada umumnya, tempat ini juga tak lepas dari mite. Beberapa orang sesekali melakukan ritual bayar nazar di puncaknya. Mereka percaya itu mustajab. Jika janji tersebut terwujud, mereka akan membayarnya dengan melepas sepasang burung dara atau menyembelih kambing sebagai persembahan.
Dalam berbagai kebudayaan, gunung memang seringkali dikaitkan dengan tempat suci. Seperti orang Jawa mengenal Mahameru sebagai singgasana para dewa. Suku Masai di Afrika menyebut puncak Kilimanjaro sebagai ngaje ngai yang berarti “rumah tuhan”. Musa bertemu Tuhan di Gunung Sinai. Begitu juga Zeus yang bertahta di Olympus. Gunung tampaknya selalu diasosiasikan dengan entitas tertinggi, tuhan, dewa, hyang, atau apa pun sebutannya.
Bukit Kaba dianggap mistis. Bahkan, ada yang meyakininya sebagai tempat paling angker di Bengkulu. Selain menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan, gunung ini kabarnya juga dihuni makhluk tak kasat mata. Bangsa lelembut diyakini mendiami puncaknya. Malim Bagus dan Elang Berantai adalah dua sosok penunggu puncak Bukit Kaba. Beredar pula mite Muning Raib—konon adalah Malim Bagus—yang hingga kini masih menjadi momok bagi warga Dusun Curup, salah satu daerah di sekitar bukit.
Legenda Muning Raib adalah cerita hilangnya Muning, seorang bujang asal Dusun Curup, di Bukit Kaba. Dikisahkan, pemuda itu bersemedi di puncak bukit. Layaknya Arjuna yang didatangi bidadari saat bertapa, ia juga dihampiri sosok dewi tak kasat mata. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa anak muda itu bandel hingga diusir ayahnya dan minggat ke Bukit Kaba dengan membawa seruling kesayangannya. Di bukit itu, ia duduk dan memainkan serulingnya. Meniupnya dengan sepenuh hati. Melodi-melodi indah pun terdengar oleh sang dewi. Singkat cerita, mereka berdua akhirnya jatuh cinta.
Suatu saat, si pemuda hendak kembali ke kampungnya. Sang dewi mengizinkannya, namun dengan satu syarat, yaitu orang-orang dusun tidak boleh memasak lema—makanan tradisional suku Rejang, terbuat dari rebung yang difermentasi—dan pakis saat hajatan. Muning mengiyakan permintaan kekasihnya. Ia pun pulang, kembali menjalani hidup seperti sedia kala. Setidaknya sampai hari itu tiba.
Sebuah hajatan digelar, orang-orang lupa. Mereka memasak lema dan pakis, lalai terhadap pantangan itu. Seperti janjinya, sang dewi datang dan membawa Muning kembali ke Bukit Kaba. Orang-orang dusun menyusulnya ke sana, mencarinya ke mana-mana. Namun tak ada gunanya mereka meneriakkan nama, pemuda itu telah pindah dunia. Muning telah raib—muning dalam Bahasa Rejang berarti “buyut.”
Hawa semakin dingin seiring dengan tergelincirnya matahari ke sisi barat. Sesekali, angin bertiup kencang. Selagi teman-teman mengobrol, saya menengok ke sekeliling, kalau-kalau saya melihat sesuatu yang tak biasa. Akan tetapi, tak ada sang dewi, Muning, atau Elang Berantai. Tentu saja, mereka tak kasat mata. Namun, saya berharap, dalam eksistensinya sebagai entitas maupun mite, mereka tetap menjaga tempat ini. Melindunginya dari keserakahan manusia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.