Pandemi telah menimpa negeri ini, termasuk di daerahku. Dampaknya sangat terasa terhadap semua yang ada. Banyak karyawan dan pelajar melakukan WFH serta belajar daring. Sopir angkot mengeluh tak ada penumpang hingga penghasilannya berkurang dan pedagang pun merasa berjualan seperti formalitas belaka tetapi keuntungan yang didapat jauh dari harapan. Aku yang melihat kenyataan itu cukup miris tetapi tak bisa kusangkal karena semuanya proses demi menyelamatkan orang-orang untuk tidak menjadi korban COVID-19.
Bukan saja aku, warga lain pun terlihat panik dan terpukul dengan kenyataan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tetapi semua itu tak bisa dihadapi dengan cara mengeluh. Kami harus mencari cara, berusaha menggunakan segala kemampuan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu yang paling mudah agar bisa bertahan. Harus diakui, mencari solusi sendirian tak mudah. Namun jika dilakukan secara bersama, maka perlahan tapi pasti membuahkan solusi yang bermanfaat.
Itu semua realita dan harus dihadapi. Benar, pemerintah tak berpangku tangan dan telah berusaha mengatasi persoalan yang ada. Namun kita pun tak bisa menutup mata jika ada hal-hal kecil di lapangan yang tak tersentuh. Tentunya kita tak mesti menyalahkan pihak manapun. Tetapi kemudian aku tersadarkan, ini adalah momentum kebersamaan agar bisa keluar dari masalah yang terjadi karena pandemi.
Kita memang terbatasi dengan keadaan dan kemampuan, tetapi semua itu sengaja harus dibuang jauh-jauh agar mampu bergandeng tangan untuk bisa memberi yang terbaik kepada masyarakat.
Awal-awal pandemi ini (sekitar Maret, 2020) aktivitas masyarakat terbatas sehingga tak bisa keluar daerah begitu saja. Gerbang masuk gang sengaja ditutup hingga warga pun harus berputar mencari jalan jika ingin bepergian. Dan itu berlangsung tiga bulan lamanya. Tidak sembarang orang bisa masuk kawasan komplek. Begitu pula para pedagang yang berjualan. Jika ingin berjualan, pedagang harus memakai masker. Jika tidak memakai masker, kami sebagai warga menyediakan masker untuk mereka. Semuanya dilakukan karena semua harus mengikuti protokol kesehatan sesuai arahan dari pemerintah.
Wilayah kami, Gang Ciroyom III, berdekatan sekali dengan kawasan Pasar Ciroyom. Tak mengherankan, dengan adanya penutupan gang ini menjadi kebiasaan yang sesungguhnya memberatkan para pedagang. Namun pada akhirnya penutup gang akhirnya digantikan dengan pintu gerbang yang terbuat dari besi. Kemudian aku dan rekan-rekan warga menyediakan tempat cuci tangan dua buah. Tentu saja semua ini dilakukan dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Penyediaan masker pun menjadi kisah unik. Awalnya aku dan seorang rekan berpatungan uang masing-masing sepuluh ribu rupiah untuk memancing warga lain. Lalu terkumpul uang sembilan puluh ribu rupiah. Kupikir uang segitu takkan cukup untuk memenuhi kebutuhan masker bagi warga satu RT. Akhirnya aku punya inisiatif membagikan kebutuhan masker ini ke beberapa rekan. Aku bersyukur karena masker yang terkumpul mencapai 500 buah dan bisa kami bagikan kepada warga saat awal Ramadan 2020. Sementara uang yang dikumpulkan tadi hanya terpakai dua puluh lima ribu rupiah. Itu pun hanya untuk ongkos ojol saja. Di kemudian hari, bantuan masker bertambah sampai seribu buah.
Seringkali begitu ada problem terkait COVID-19 ini semuanya terkondisikan dalam sebuah gang. Sadar tidak sadar, kebersamaan pun tercipta yang dipicu oleh keadaan. Tentu saja hal itu tidak tercipta dengan sendirinya melainkan dipicu para inisiator-inisiator yang ingin memberikan sesuatu dan mampu berbuat untuk warga masyarakat.
Bukan sekedar itu, tetapi tugas yang cukup berat adalah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak karena tidak semua masyarakat memahami dan mau mengikuti protokol kesehatan ini. Tak heran jika ada dari mereka yang lalai memakai masker dan mesti diingatkan. Mereka seringkali lupa cuci tangan dan tidak jaga jarak.
Rupanya pandemi juga menimbulkan masalah di kalangan masyarakat itu sendiri tatkala bantuan dari pemerintah belum tiba. Masyarakat mulai resah saat dilakukan PSBB. Aku tak menganggapnya biasa karena semua itu terkait urusan perut. Mereka dibatasi untuk bergerak, tetapi saat itu belum ada jaminan bantuan yang bisa membantu kesulitan mereka.
Saat itu kuyakinkan bersama rekan-rekan jika bantuan akan datang pada waktunya. Beruntung pihak RW pada awal PSBB memberikan bantuan beras, mie instan, dan minyak goreng sehingga membuat tenang sebagian masyarakat. Tetapi aku dan rekan tidak tinggal diam. Kami berusaha mencarikan bantuan lain untuk warga. Jelang lebaran tahun 2020, usaha kami membuahkan hasil. Aku sungguh bersyukur karena warga mendapatkan bantuan sekitar lima kali, ditambah bantuan dari pemerintah tadi.
Ternyata pandemi tak berakhir dalam waktu singkat. Oleh sebab itu haruslah ada usaha untuk saling menguatkan. Kulihat warga yang ada tidak sepanik dulu walau jelas kesulitan-kesulitan tak bisa dipungkiri menghinggapi mereka. Aku sangat menyadari, kebersamaan yang terbangun sejak saat itu kalaupun bila dikatakan optimal tetapi buahnya mulai dapat dirasakan. Manisnya kebersamaan mulai terasa hingga selalu memunculkan solusi walaupun tak bisa dipungkiri pula masih ada pula warga lain yang tak begitu antusias di dalam membangun kebersamaan ini. Tetapi aku dan rekan-rekan mengakui bahwa semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Kami bersyukur bahwa RT yang dihuni lima ratus jiwa lebih ini selama satu tahun lebih, hanya satu orang yang terpapar COVID-19. Itupun bukan warga asli sini, melainkan pendatang. Tetapi hal itu tak mengurangi kewaspadaan kami dalam berjuang melawan pandemi, agar tidak ada warga yang terpapar. Aku semakin paham dengan bersatu maka semuanya akan kuat dan dengan bersama akan banyak mengundang solusi bagi masalah yang terjadi. Aku, rekan-rekan dan juga warga berharap pandemi ini segera berakhir agar semuanya bisa hidup secara normal.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.