November 2016, untuk kedua kalinya saya kembali ke kawasan Taman Nasional Karimunjawa (TNKj). Di Pelabuhan Karimunjawa saya dijemput oleh Bapak Sutris Haryanta, Kepala SPTN Wilayah II Karimunjawa, Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKj).
Berbeda dari kedatangan saya terdahulu, kali ini, selain untuk membuat beberapa konten perjalanan di kawasan TNKj, saya dan beberapa rekan akan ikut para ranger BTNKj melakukan patroli penertiban bangunan dalam kawasan, baik yang tidak berizin maupun yang tak sesuai dengan zonasi taman nasional.
Pulau Menjangan Besar
Pagi itu cuaca cukup terik ketika Elang Laut 2 melaju untuk patroli. Bersama Pak Sutris Haryanta (Kepala SPTN Wilayah II Karimunjawa), Pak Iwan Setiawan (Kepala SPTN Wilayah I Kemujan), dan beberapa ranger BTNKj, kami menuju Pulau Menjangan Besar.
Sesuai dengan pesan yang disampaikan Pak Sutris ketika apel pagi sebelum keberangkatan, para ranger akan melakukan penertiban bangunan di kawasan TNKj. Bangunan pertama yang menjadi “sasaran operasi” adalah bangunan yang sebelumnya sudah diperiksa ranger BTNKj bersama Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara. Letaknya di Pulau Menjangan Besar. Di sana, beberapa penginapan apung berdiri, juga kolam-kolam “pemeliharaan” hiu—yang kini sudah ditutup.
Ada pelebaran bangunan ke arah barat dengan bahan cor beton. Namun, pihak taman nasional belum mendapatkan pemberitahuan dari pengelola terkait pelebaran bangunan ini.
“Karena ada pelebaran bangunan, kita akan ambil tindakan pencegahan (dihentikan pembangunannya),” kata Pak Sutris.
Sebelum keberangkatan, Pak Sutris dan Pak Iwan memastikan beberapa hal, seperti peralatan yang harus dibawa oleh para ranger dan juga pembagian tugas masing-masing personel. Meskipun saya dan teman-teman dari Semarang tidak mendapatkan tugas apa-apa, kami diperbolehkan untuk mengambil dokumentasi kegiatan.
Ketika para ranger sibuk dengan kegiatan patroli, saya sibuk dengan diri saya sendiri mencari tahu hal-hal yang “menarik” dan “aneh” di mata saya. Lirikan mata ini langsung tertuju pada ujung barat wisma apung, pada bongkahan batu dan semen yang menumpuk. Ternyata pihak pengelola sedang membangun kamar-kamar tambahan.
Fondasi beton baru sudah berdiri kokoh di atas perairan. Saya berdiri di atasnya lalu menengok ke bawah; bulu babi memenuhi dasar perairan. Saking banyaknya, saya jijik melihatnya. Bulatan hitam dengan duri-duri yang panjang itu tak ada lucu-lucunya jika bergerombol.
Dari sini, saya tahu, bahwa di kawasan konservasi seperti taman nasional tidak diperbolehkan membuat bangunan permanen (semen dan beton) di atas laut meskipun bangunan tersebut berada dalam zona pemanfaatan wisata. (Saya baru tahu pula bahwa bulu babi menandakan kerusakan.)
Pak Sutris dan beberapa ranger kemudian berkeliling wisma untuk melihat apa saja yang “aneh” di sini. Lalu mereka lanjut mengecek surat-surat dan dokumen izin pembangunan wisma apung. Seorang pemuda, anak sang pemilik wisma apung, dan Pak Sutris tampak berbincang serius. Dari kejauhan saya hanya memperhatikan gerak-gerik keduanya. Pemuda ini tampak berkerut dahinya. Sepertinya ia mendapatkan cukup banyak “PR” untuk diselesaikan. Para ranger BTNKj, sementara itu, tampak biasa-biasa saja; pekerjaan pertama hari itu lancar.
“Jetty” di tengah laut
Meski patroli pertama sudah usai, rasa penasaran saya belum tuntas. Di dalam kapal saya bertanya kepada Pak Iwan tentang apa saja yang dilakukan saat patroli di laut.
“Kegiatan patroli perairan biasanya kita ke keramba, kita cek apakah ada biota laut yang dilindungi atau tidak. Sekaligus [kita melakukan] pembinaan kepada pemilik/masyarakat untuk tidak memelihara apalagi memperjualbelikan biota laut yang dilindungi,” demikian tuturnya.
Bergeser ke arah timur, ada satu bangunan kecil yang sedang dibangun. Tampak dari jauh, bangunan itu seperti gazebo di tengah hamparan laut Karimunjawa yang jernih. Bayangan saya, itu semacam tempat untuk bersantai menikmati hilir mudik kapal-kapal wisata. Ternyata saya keliru.
Bangunan itu adalah jetty, yakni dermaga bagi kapal untuk bersandar. Sayang sekali saat para ranger tiba pemilik jetty tidak berada di lokasi. Kami hanya mendapati seorang pekerja yang sedang menggarap bangunan kayu beratap dedaunan kering itu.
Saya tak berani mendekat. Dari kejauhan, saya lihat terjadi diskusi yang cukup “alot” antara Pak Sutris dan pekerja itu. Cukup lama, namun sepertinya mereka mencapai kata sepakat. Untuk sementara, pembangunan jetty harus dihentikan dan sang pemilik harus segera mengurus izin pembangunan.
Perlu diketahui bahwa kawasan TNKj terdiri dari sembilan zona, yakni Zona Inti; Zona Rimba; Zona Perlindungan Bahari; Zona Pemanfaatan Darat; Zona Pemanfaatan Wisata Bahari; Zona Budidaya Bahari; Zona Religi, Budaya, dan Sejarah; Zona Rehabilitasi; dan Zona Tradisional Perikanan. Jadi, meskipun terdapat bangunan atau areal wisata di dalam zona pemanfaatan wisata, izin pengembangan dan regulasi harus tetap ditaati semua pihak. Mereka yang ingin membangun atau mengembangkan harus mengantongi izin dari BTNKj serta aparat terkait.
Menurut informasi yang saya dapatkan dari Pak Sutris, petugas yang akan menindak pelanggaran-pelanggaran seperti ini adalah Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) yang berkantor pusat di Surabaya. Sementara itu, tugas BTNKj sendiri adalah melakukan melakukan patroli rutin demi menghindari terjadinya pelanggaran.
Sebelum kami meninggalkan jetty untuk menuju Pulau Tengah, pekerja tadi mempersilakan kami minum terlebih dulu. Lalu, kami berbincang dengan lebih santai. Awal hari yang tadinya saya kira cukup berat berangsur mencair.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.