Ibu Zazilah, akrab dipanggil Ibu Zie, pindah ke Kampung Malon tahun 2010 lalu mendirikan Zie Batik. Sebelum itu, sejak 2006 perempuan asal Tegal ini mengembangkan batik di Kota Semarang. Ia bahkan juga pernah tinggal dan mengajar di Kampung Batik Bubakan.

Kala itu, Kampung Malon yang berada di kaki Gunung Ungaran belum terlalu dikenal. Meskipun masih dalam Kota Semarang, belum banyak yang tahu soal kampung berhawa sejuk ini. Lampu sorot publikasi tentu saja tak begitu tertarik dengan wilayah yang mayoritas penduduknya bertani dan beternak.

kampung malon
Ibu Zazilah atau Ibu Zie/Istimewa

Dengan modal yang ia miliki, Ibu Zie lalu melatih ibu-ibu Kampung Malon untuk membatik. Kebetulan pula saat itu Pemerintah Kota Semarang sedang menjalankan Program Kampung Tematik. Harapannya, masyarakat Malon bisa berkarya dengan membuat batik khas dari Kampung Malon.

“Kami ingin masyarakat juga ikut merasakan efek yang baik dan dapat mengangkat taraf hidup mereka,” ujar Ibu Zie.

Memperkenalkan pewarna-pewarna alami pada perajin batik Malon

Menurut Ibu Zie, Kampung Malon adalah salah satu kawasan “sabuk hijau” dengan lingkungan yang masih asri. Di sini, kamu akan menemukan jalanan yang masih belum diaspal atau dibeton. Saat memasuki kawasan Kampung Malon, kamu akan disambut pepohonan rindang yang menjulang ke langit. Rumah-rumah warga pun dipagari tanaman teh-tehan (Acalypha siamensis).

batik malon
Kain baik dan mangkuk berisi bahan-bahan pewarna alami/Mauren Fitri

Namun ternyata bukan hanya lingkungan Malon saja yang “hijau,” batiknya juga. Berbeda dari batik kebanyakan, batik Kampung Malon menggunakan warna-warna alami yang diekstraksi—direbus atau difermentasi—dari bahan-bahan seperti indigofera, secang, tingi, jelawe, tegeran, dan limbah mangrove.

Hampir semuanya dibudidayakan di kebun milik masyarakat Kampung Malon, kecuali limbah mangrove tentunya. Untuk limbah mangrove, Ibu Zie mengambil dari beberapa kawasan pesisir sekitar Semarang.

malon
Penggunaan pewarna alami sekarang menjadi ciri khas batik Malon/Mauren Fitri

Meskipun sekarang penggunaan pewarna alami menjadi ciri khas batik Malon, menurut Ibu Zie tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat untuk mewarnai membatik dengan bahan-bahan yang diperoleh dari alam. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai antusias. Untuk mendukung penggunaan warna alami, Ibu Zie pun mendorong petani untuk menanam tanaman seperti indigofera sehingga perajin tak perlu membeli dari luar.

Bangga dengan perkembangan positif Kampung Malon

Proses panjang yang dilalui Ibu Zie mulai membuahkan hasil. Kini, taraf perekonomian masyarakat sudah mulai meningkat sebab mereka sudah bisa menambah pemasukan dari membatik, entah batik cap, tulis, maupun kombinasi. Perubahan positif ini tentu saja membuat Ibu Zie sangat bangga.

kain batik
Batik Malon yang dihiasi dengan warna-warna cerah/Mauren Fitri

Kekhasan batik Malon membuat para penggemar batik tak ragu-ragu mengeluarkan uang antara Rp150.000 dan Rp2.000.000 untuk membawa pulang kain tradisional khas Jawa tersebut.

Namun, Ibu Zie sempat bertutur pula bahwa masih ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi perajin batik Malon, misalnya proses pewarnaan yang masih begitu bergantung pada cuaca dan bahan baku produksi (seperti kain dan malam) yang masih harus didatangkan dari luar kota semisal Pekalongan, Jogja, dan Solo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar